Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Sekolah Hutan Sangong Tak Selalu Dibuka

Written By imran rusli on Wednesday, February 25, 2009 | 2:20 AM



Sekolah hutan adalah program Divisi Pendidikan YCM (Yayasan Citra Mandiri) yang banyak diapresiasi masyarakat adat Mentawai, karena telah membuka kesempatan bagi masyarakat Mentawai yang terpencil di pedalaman untuk tetap mendapatkan pendidikan. Tapi dibutuhkan tenaga pengajar yang berdedikasi tinggi untuk menjaga kesinambungannya, karena tantangannya memang sangat berat.

Oleh Imran Rusli

Letaknya sungguh jauh di pedalaman Sila’oinan, tepatnya di Sangong, Dusun Salappa’, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan. Dari pusat dusun Salappa’, Sekolah Hutan Sangong bisa dicapai dalam setengah jam dengan pompong. “Itu kalau air pasang, kalau air surut waktu tempuh baru bisa mencapai 1,5 jam, bahkan dua jam, karena banyaknya rintangan berupa tunggul kayu, batang pohon yang hanyut, pohon rebah, gosong pasir dan beragam sampah lainnya. Sungai yang dangkal semacam ini sangat tidak nyaman ditempuh.

“Kalau dengan sampan tanpa mesin bisa setengah hari,” kata Timatheus Salaisek, kooperator pompong Puailiggoubat dalam perjalanan ke Sangong Rabu (11/2).
2:20 AM | 4 komentar

Tantangan Perekonomian Salappa'

Dusun Salappa’, seperti juga daerah-daerah lain di pedalaman Siberut Selatan kaya dengan aneka tanaman pertanian seperti kelapa, pisang, keladi, durian, duku, coklat, nilam, rotan, manau, rambutan, kluwih, sukun, dan sebagainya. Saat ini harga-harga berbagai komoditi itu sedang buruk. Coklat Rp 24 ribu per kilogram. Nilam Rp300 rb, manau ukuran 18 Rp500, 26 Rp1.500, 31 Rp3.500, 36 Rp7.000, rotan kecil (sasa) tidak laku, tak ada permintaan dari pedagang pengumpul. Kelapa, keladi, pisang, rambutan, dan lain-lain tidak dijual, untuk dikonsumsi sendiri.

“Padahal tanah di seberang dusun masih terbuka lebar, masih kosong, jadi kalau kita punya kelompok tani bisa dibikin macam-macam. Kita kan sudah cukup banyak belajar di Perpustakaan Palingen tentang penanaman dan pemeliharaan bermacam tanaman yang memiliki nilai ekonomi,” ujar Tulutogok Tasiripoula, Kepala Desa Muntei terpilih yang kebetulan suami Mariani.

Meski sedang kerepotan, karena warga Salappa’ memiliki banyak anggota keluarga yang melanjutkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Padang, Pariaman, Lubuak Aluang, Bukiktinggi, Payokumbuah, Solok dan Pekanbaru, sehingga membutuhkan banyak biaya di luar biaya kebutuhan sehari-hari, mereka benar-benar harus mengupayakan penghasilan tambahan yang tak memerlukan modal besar. Dan tampaknya Mariani sudah melihatnya dalam beraneka tanaman subsisten di sekitar rumah mereka.

Pisang dan keladi, misalnya, adalah dua jenis tanaman yang berpotensi ekonomi tinggi, kalau tahu cara mengolahnya. Pengalaman AMA-PM di Lampung tentang pembuatan keripik pisang tentunya bisa dibagi ke Salappa’. Begitu pula cara pembuatan minyak goreng dari kelapa yang sudah menjadi pengetahuan umum orang Pariaman sejak dulu, pasti dengan mdah diajarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Keripik dari keladi kan tinggal meniru keripik pisang saja.

Rasanya kita bisa ikut melihat mimpi Mariani, tentang kesibukan wanita kampungnya mengolah pisang dan keladi menjadi camilan bergizi, serta pompong yang bolak-balik Salappa’ – Muara Siberut membawa bungkusan-bungkusan besar keripik pisnag dan keladi untuk dijual di pasar mingguan, atau kalau rutin pasti akan ada saja pedagang pengumpul yang mencium bau keuntungan yang dikandung makanan tersebut bila dibawa ke Padang.

Hmm sungguh sebuah mimpi yang pantas diwujudkan. ran.
2:05 AM | 0 komentar

Wanita Salappa’, Bergerak

Karena keterpinggiran yang begitu lama wanita Salappa’ hampir-hampir tidak terdeteksi di permukaan. Semua dinamika mereka tenggelam di balik keterisolasian. Terpilihnya seorang warga Salappa’ sebagai Kepala Desa Muntei bagaimanapun telah memberikan sepercik harapan yang membuat wanita Salappa’ mulai menggeliat dan menatap masa depan dengan mata yang terbuka.

Oleh Imran Rusli

Cahaya berbinar di mata Mariani Satoinong (25). Istri Kepala Desa Muntei terpilih Tulutogok Tasiripoula ini merasakan semacam dorongan untuk berbuat, dorongan untuk mengkolidasikan semua potensi wanita Salappa’ guna mencapai kemajuan.

Ketika diajak berbincang tentang apa yang mungkin bisa diperbuat wanita Salappa’ ke depan, wanita yang sebenarnya masih berusia 20-an ini terlihat bersemangat. “Banyak sekali Pak, kami bisa belajar merajut, menyulam, membuat aneka makanan dari pisang atau keladi, segala sesuatu yang bisa membantu meningkatkan ekonomi keluarga,” katanya pada Puailiggoubat di Salappa’, Rabu (12/2).

Sebagai perempuan Mentawai, Mariani tampaknya sadar beban kaumnya dalam struktur kebudayaan Mentawai sangat berat. Sebagai kepunyaan uma suami kewajibannya jelas: mencari ikan atau lokan ke sungai, mengurus ladang keladi, mengurus ladang nilam, menyiapkan segala keperluan rumah tangga,mengurus suami dan anak-anak, juga mertua dan ipar-ipar, itu berarti mencuci, memasak, memandikan anak, memberi makan ayam dan babi, semua kegiatan yang bermula sejak subuh buta sampai tengah malam. Tak henti-hentinya.

Tapi semua itu tak memberi pembenaran untuk mengeluh. Tradisi biarlah begitu. Bagi Mariani mensiasati posisi kaumnya dalam budaya jauh lebih penting. “Itu sudah jelas, tanggungjawab kita wanita Mentawai, tapi bukan berarti tak bisa melakukan yang lain,” katanya enteng.

Posyandu
Menurut Mariani di Salappa’ ada kegiatan Posyandu, bahkan kegiatannya teratur setiap bulan. “Pada minggu-minggu pertama atau kedua setiap bulan,” katanya. Bagaimana kalau ada yang melahirkan? “Tak masalah, di sini ada 4 dukun bayi, semuanya terlatih, juga ada 5 kader Posyandu yang siap dilatih untuk membantu-bantu kalau nanti Pustu sudah bisa beroperasi dengan tenaga medis dari kabupaten,” katanya.

Mariani menegaskan memang ada sedikit masalah dengan kader-kader kesehatan dusun yang berusia tua, soalnya mereka selalu kesulitan dalam mengikuti pelatihan-pelatihan kesehatan. “Pelatihan umumnya kan berbahasa Indonesia, mereka kesulitan, maklum orang tua, akhirnya banyak yang mengundurkan diri, tapi yang baru-baru dan muda-muda masih banyak, asal rajin mengikuti pelatihan saya rasa takkan ada masalah,” katanya optimis.

Sekarang, menurut Mariani, ada 35 balita dan ibu hamil yang rutin ke Posyandu. “Mereka sudah sadar bahwa kesehatan kandungan dan balita itu sangat penting dan harus selalu dipantau,” ujar perempuan yang tak sempat menamatkan pendidikan di SMP ini, tapi terkenal cerdas dan pernah menjadi ketua OSIS di sekolahnya SMPN 1 Muara Siberut.

Menyulam
Merajut, menyulam, menenun semuanya adalah pekerjaan asing untuk wanita Mentawai, termasuk wanita Mentawai di Salappa’. Keahlian mereka adalah menganyam dan menjahit. Rotan, kulit rotan, bambu, pelepah sagu bisa mereka anyam dan jahit menjadi jaragjag (tikar rotan), opa (keranjang rotan), bakhulu (tas kerja kerei), balokbok (tempayan sagu), tapri (wadah tempat menyimpan tepung sagu). Tapi kalau harus merajut renda, menenun kain atau menyulam mereka menyerah.

“Bukan tak bisa tapi tak biasa, jadi kalau rajin belajar kami pasti bisa,” kata Maryani. Dan dia melihat kesempatan dan pentingnya belajar ketrampilan-ketrampilan tersebut. “Mentawai punya motif-motif yang berbeda dan unik, kalau ada yang mengajari kami mengubahnya menjadi cendera mata cantik, saya yakin kami akan memiliki sumber mata pencarian sampingan baru yang kalau diseriusi akan sangat membantu ekonomi keluarga,” katanya lagi.

Kuliner
Peluang serupa serupa juga dilihatnya di bidang makanan (kuliner), meski dalam bentuk yang sangat sederhana. “Wanita di sini bisa membuat keripik dari pisang dan keladi, masalahnya sama saja, tidak biasa, bukan tidak bisa,” katanya.

Dia tidak mempersoalkan pasar dan pemasaran. “Setiap Selasa kan ada pasar mingguan di Muara Siberut. Pisang dan keladi banyak sekali di sini, sementara minyak goreng bisa dibuat dari kelapa. Kuali penggorengnya juga tak kurang. Ajari kami, lalu para suami bisa membawa olahan kami itu setiap Selasa dengan pompong ke Muara,” ujar dia yakin.

Mariani tahu cemilan semacam itu harus dikemas dengan kemasan yang baik, sehat dan cantik. “Kita sudah sering melihat contohnya di Muara, tak masalah,” katanya lagi. “Plastik bening pun cukup.”
2:02 AM | 0 komentar

Kepala Desa Magang

Joel Salaisek tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya. Sepulang dari Musrenbang tingkat desa di Muntei dia lebih banyak berdiam diri. Ternyata—setelah ditanya--Ketua Dewan Adat Dusun Salappa’ itu masgul karena sedih melihat nasib kepala desanya, Tulutogok Tasiripoula.

“Dalam Musrenbang kemarin Pak Kades seperti magang saja, yang dominan bicara tetap kepala desa lama Pak Viktor Sagari, bagaimana ini?” keluhnya.

Menurut Joel, tak sepantasnya hal tersebut berlaku. “Ini sudah hampir habis empat bulan setelah Talud terpilih sebagai Kepala Desa Muntei, seharusnya kan tiga bulan setelah terpilih dia harus sudah dilantik,” imbuh mantan anggota P4KD (Panitia Pencalonan dan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa) Muntei tersebut.

Kerisauan yang sama diperlihatkan tokoh masyarakat yang lain seperti Anselmus Sadodolu, Markus Sabailati, dan lain-lain. “Ini tidak bisa dibenarkan, tak ada alasan sebenarnya untuk menunda-nunda pelantikan,” kata Anselmus yang diiyakan Markus. “BPD (Badan Perwakilan Desa) harus mencari kejelasan persoalannya, dan mendesak pelantikan, kalau perlu sampai ke Tuapeijat,” kata Anselmus.

Menurut mereka kalau kepala desa terpilih tidak bisa menjalankan roda pemerintahan desa, bisa terjadi kerancuan kepemimpinan. “Ini berarti sama saja dengan menjadikan proses pemilihan November lalu itu sia-sia,” tambah dia. ran
2:01 AM | 0 komentar

Kepala Desa Terganjal SK



Semangat boleh menggebu, tapi legalitas tetap perlu. Itulah yang terjadi di Salappa’, tak kunjung dilantiknya Kepala Desa Muntei, yang membawahi Dusun Salappa’, Muntei dan Puro II, membuat semua aktivitas pembangunan terganggu.

Oleh Imran Rusli

Kepala Desa Muntei telah terpilih sejak 3 November tahun lalu, Tulutogok Tasiripoula, belum juga dilantik, padahal kalau menurut Peraturan Bupati Kepulauan Mentawai seharusnya pelantikan dilakukan paling lambat tiga bulan setelah terpilih. Tapi nyatanya, janankan dilantik SK-nya pun belum pernah dilihat Tulut.

“Katanya SK saya sudah turun, tapi entah siapa yang pegang, saya belum pernah melihat,” ujarnya ketika ditemui Puailligoubat Rabu (11/2) di tempatnya mengajar,SD Filial Santa Maria, Salappa’. Dia mengaku tidak mengerti kenapa harus seperti itu. “Saya dengar pelantikan baru akan dilakukan setelah pemilu,” katanya lagi.

Belum dilantiknya kepala desa membuat warga Salappa’ resah. “Soalnya alasannya tidak kuat sementara masalah yang ditimbulkannya banyak,” ujar Anselmus Sadodolu, pengurus PS3 (Parurukat Siberikabaga Siberut Selatan) Kecamatan Siberut Selatan yang juga tokoh masyarakat Salappa’.

Masalah itu antara lain program-program dusun tidak bisa dirancang dan dijalankan, karena tidak bisa dilepaskan dari kebijakan desa. Masalah lainnya terjadi kerancuan gaji kepala desa. “Gara-gara belum dilantik kepala desa baru belum bisa menjalankan operasional pemerintahan sepenuhnya, sebaliknya kepala desa lama seperti tidak bisa melepaskan posisinya di pemerintahan, gaji mereka juga harus dibagi dua, misalnya gaji Desember 2008 dan Januari 2009, ini kan bikin bingung masyarakat seperti kapal yang dinakhodai dua orang,” ungkap Joel Salaisek, Ketua Dewan Adat Salappa’.

Usai Pemilu
Tak puas dengan belum berfungsi penuhnya kepala desa, warga Salappa’ pernah menanyakan masalahnya ke kecamatan. Jawabnya, pelantikan setelah pemilu bulan April,” ujar Kepala Dusun Salappa’ Markus. Jawaban ini membuat masyarakat makin bingung dan berprasangka macam-macam.

“Yang sibuk pemilu kan KPU, bukan bupati. Lagipula ini peraturan bupati sendiri, bahwa tiga bulan paling lama setelah kepala desa terpilih dia harus sudah dilantik, nah ini faktanya sudah mau habis 4 bulan, kapan kepala desa akan bekerja?” kata Joel Salaisek.

Menang Mutlak
Tulutogok Tasiripoula memenangkan pemilihan Kepala Desa Muntei 3 November 2008. Dari 4 kandidat kepala desa yang maju, yakni Tulutogok Tasiripoula dari Dusun Salappa’, Agustinus Sagari dari Dusun Muntei, Viktor Sagari dari Dusun Muntei dan Stephanus Nahung dari Beikeluk, Tulut meraih 170 suara. Sisanya, sekitar 300 suara, diperoleh 3 kandidat lainnya.

“Saya menang karena warga Salappa’ dan Beikeluk kompak memberikan suara mereka kepada saya, saya sungguh salut dan berterima kasih,” kata Tulut yang selain menjadi guru pernah menjadi pengelola Perpustakaan Palingen yang didirikan YCM (Yayasan Citra Mandiri) di Salappa’ tahun 2006.

Kelompok Tani
Tapi karena belum dilantik Tulut yang memilih tetap bertempat tinggal di Salappa’ meski tiap hari turun ke Muntei, tak bisa sepenuhnya menjalankan tugas. Padahal di kepalanya sudah banyak program yang minta segera diimplementasikan. Misalnya peningkatan ekonomi masyarakat.

“Kami di Salappa’ ini punya problem mata pencarian,” katanya. Sumber ekonomi cukup banyak tapi tak ada yang bisa difokuskan. Dalam bahasa Kepala Dusun Salappa’, warga tidak bisa fokus menjalankan perekonomiannya karena tidak ada komoditi yang menghasilkan secara berkesinambungan.

Sumber ekonomi itu sendiri cukup banyak, misalnya nilam, coklat, kelapa, pinang, keladi, pisang, sagu, manau, sasa (rotan), tapi semuanya insidentil sifatnya. “Harga tak pernah stabil, selalu naik turun, sementara biaya yang kita keluarkan untuk berproduksi tak pernah turun, selalu naik, akibatnya kita tak pernah fokus dengan satu sumber ekonomi,” kata Markus.

Karena Tulut, sebagai Kepala Desa Muntei yang baru, mempunyai program khusus untuk Salappa’, yakni pertanian terpadu lewat pembentukan kelompok tani. “Misalnya coklat, selama ini masyarakat berkebun coklat secara terpisah-pisah, akibatnya tanaman mereka gampang rusak diserang hama. Kalau bersama-sama kan bisa kita pecahkan bersama masalahnya,” kata Tulut.

Menurut Tulut warga Salappa sudah cukupmelihat pengalaman petani di daerah lain, seperti di Muntei atau Puro. Dari pengalaman itu mereka sudah tahu, keberhasilan takkan bisa dicapai sendiri-sendiri. “Tikus, tupai, musang, kelelawar, semut bisa dihadapi bersama dengan mengatur masa tanam, kita bisa menjaga kebun bersama-sama dan meningkatkan produksi, tentu saja bimbingan PPL (petugas penyuluhan lapangan) sangat kita butuhkan, PPL yang tak sekedar minta tanda tangan kepala desa maksud saya,” katanya sambil tersenyum menyindir (Puailiggoubat pernah memberitakan tentang PPL yang kerjanya cuma minta tandatangan kepala desa, tidak bekerja sebagaimana mestinya).

“Saya juga akan mendorong pembukaan kebun coklat tanpa merusak lahan sagu, karena sagu itu basis pangan kami, tidak boleh dirusak,” tegasnya.
1:57 AM | 0 komentar

Dari 350 Meter Jadi 600 Meter



Proyek PNPM Mandiri yang masuk ke Salappa’ tahun lalu adalah jalan rabat beton sepanjang 350 meter. Jalan selebar 2 meter dengan ketebalan 12 meter itu menelan biaya Rp 225.918.500, sudah termasuk operasional UPK (Unit Pengelola Kecamatan) sebesar 2 persen atau Rp4.518.400, operasional TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) sebesar 3 persen atau Rp6.777.500 dan biaya fisik Rp214.622.600.

Saking antusiasnya jalan yang semula direncanakan sepanjang 350 meter itu bertambah menjadi 600 meter ditambah sebuah jembatan kayu sepanjang 5 meter yang terlihat kokoh, berkat swadaya masyarakat. “Mungkin karena baru dan memang merasakan kebutuhannya, masyarakat sangat bersemangat,” ujar Anselmus Sadodolu, Ketua TPK PNPM Mandiri Salappa’.

Swadaya di sini bukan berarti masyarakat menyumbangkan material atau uang, tapi bersedia menerima upah yang lebih sedikit atau mengurangi biaya transportasi material, seperti semen dari Muara Siberut. “Karena swadaya tersebut kami masih kelebihan 127 sak semen, yang bisa digunakan untuk membangun jalan sepanjang 150 meter lagi, tapi tentunya setelah ada komunikasi dan koordinasi dengan UPK di Muara Siberut,” ujar Anselmus lebih jauh.

Sebetulnya tahun 2001-2002 Salappa’ sudah dapat paket P2D, tapi gagal direalisasikan oleh OMS (Organisasi Masyarakat Setempat) dan dialihkan ke dusun lain. “Kontraktor berdalih tak ada material, nyatanya dengan PNPM tak ada masalah, proyeknya terealisasi dengan biaya yang justru jauh lebih murah,” timpal Tulutogok Tasiripoula.ran.
1:56 AM | 0 komentar

Geliat Salappa

Dusun Salappa’, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan adalah dusun bentukan Departemen Sosial yang dibangun tahun 1979 dan mulai dihuni tahun 1981. Tapi sejak dibangun sampai tahun 2008 mereka tidak pernah merasakan program pemerintah, sampai akhirnya program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri masuk. Maka mata masyarakatpun terbuka. Salappa’ bukannya tak bisa diapa-apakan, dan sangat berhak mendapat sentuhan pembangunan.


Oleh Imran Rusli

“Sebelum tahun 2008 kami betul-betul buta akan hak kami, jadi dusun kami dilewati saja, tak pernah mendapat sentuhan pembangunan, ada saja alasannya , biaya mahal lah, material susahlah, tapi setelah PNPM Mandiri masuk terbukti semua itu omong kosong saja, infrastruktur di dusun kami bisa dibangun sama mudahnya dengan di tempat lain,” ujar Markus Sabailati, Kepala Dusun Salappa’ Selasa (10/1) malam.

Perbincangan dalam gelap itu—benar-benar gelap, Puailiggoubat tidak bisa mengenali wajahnya—benar-benar mengesankan karena meski sangat membutuhkan penerangan, kepala dusun mengatakan penerangan belum menjadi prioritas di Salappa’. “Kami lebih butuh jalan, jembatan, air bersih, gedung TK, sekolah negeri, rumah ibadah, tenaga medis Pustu dan MCK, kalau itu semua sudah ada baru kami berpikir tentang penerangan,” kata Markus. Soalnya, tambah Markus, kalau penerangan didahulukan jalan dan lain-lain bisa terabaikan karena masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan lain yang kurang produktif. Misalnya nonton sinetron di televisi.

“Lagipula penerangan itu pasti kita dapatkan, karena pemerintah kabupaten tidak mungkin membiarkan kami selamanya dalam kegelapan,” katanya. “Apalagi kami tahu sudah ada dusun yang mendapatkannya, yakni Rogdog dan Madobag, serta Ugai yang kebagian limpahannya,” ujar Markus lebih jauh.

Dusun berpenduduk 79 KK atau sekitar 400 jiwa yang terdiri dari 9 suku besar dengan luas sekitar 360 hektar ini memang tergolong malang. Meski termasuk dalam wilayah administratif Desa Muntei, selama 27 tahun mereka seperti dianggap tidak ada. “Setelah PNPM Mandiri masuk, baru kami dapat jatah Pustu (Puskesmas Pembantu), dan pejabat dari Bappeda sudah dua kali ke sini. Tahun depan kami dengar jatah P2D (Pembangunan Prasarana Desa) akan masuk ke sini, padahal dulu banyak sekali alasannya,” kata Markus pula.

Dulu, imbuh Markus, kalau masyarakat sakit mereka sangat kesulitan karena harus ke Muara Siberut yang kalau pakai sampan dayung bisa makan waktu seharian. “Paling tidak untuk berobat kami harus sedia Rp500 ribu. Untuk bekal di jalan, untuk biaya menginap di Muara, dan untuk biaya dokter, jadi kalau sakit kami sering membiarkan saja sampai sembuh sendiri, atau paling jauh minta bantuan kerei, saya sendiri sampai minggu lalu masih menggunakan jasa kerei, karena Pustu—meski telah selesai dibangun tahun lalu--belum diserahterimakan dan petugas medisnya belum ada,” ungkapnya.

Sebenarnya, imbuh Tulutogok Tasiripoula, kepala desa yang baru terpilih, Pustu itu jatah desa, tapi Kepala Desa Muntei lama—yang sampai sekarang masih berfungsi karena kepala desa yang baru belum dilantik—Viktor Sagari menyarankan agar dibangun di Salappa’ saja, mengingat Salappa’ masih belum punya sarana tersebut. “Kita berterima kasih pada Pak Viktor untuk kebijakannya itu,” kata Tulud.

Musrenbang Desa
Kesadaran untuk meminta hak itu makin menguat ketika salah satu warga Salappa’, Tulutogok Tasiripoula tadi, memenangkan pemilihan kepala desa 3 November tahun lalu. “Ini membuat semangat kami bertambah untuk memunculkan lebih banyak kebutuhan dalam Musrenbang tingkat desa besok di Muntei,” kata Joel Salaisek, Ketua Dewan Adat Salappa’, pada malam yang sama.

Sebelumnya, kata Joel, masyarakat tidak tahu bahwa banyak sekali pos anggaran di APBD yang merupakan hak masyarakat, seperti dana ormas, bantuan untuk rumah ibadah, jalan, jembatan, sarana air bersih, listrik, sekolah. “Kita tidak tahu bahwa semua itu memang hak kita, bukan belas kasihan pemerintah kabupaten,” ujar Joel.

Rabu tanggal 11 Februari dari Salappa’ berangkat 6 orang yakni kepala desa terpilih, kepala dusun, 2 anggota BPD (Badan Perwakilan Desa) dan 2 orang tokoh masyarakat, salah satunya Joel. “Kami berangkat pagi-pagi sekali agar bisa pulang sebelum malam,” kata Joel.

Hasilnya pada Musrenbang yang dihadiri 19 orang itu, antara lain 6 dari Salappa’, 12 dari Dusun Muntei dan 1 orang dari Puro II, utusan Salappa’ mengusulkan item-tem yang telah disebutkan di atas tadi. “Kalau misalnya P2D jadi masuk, itu pasti jalan, nah kita bisa usulkan yang lain untuk PNPM, mungkin air bersih, atau yang lain, yang penting kita sekarang lebih tahu prosedurnya,” kata Markus.

Menurut Kepala Desa Muntei terpilih yang juga warga Salappa’, Tulutogok Tasiripoula, hasil Musrenbang tingkat desa itu sudah diawali dengan Musrenbang tingkat dusun, lalu akan dilanjutkan dengan Musrenbang tingkat kecamatan dan seterusnya Musrenbang tingkat kabupaten. “Di situ akan dilihat prioritasnya, kita harapkan permohonan Salappa’ diprioritaskan mengingat sekian lama dia diabaikan,” katanya.

Tulut menambahkan masyarakat Salappa’ memang lebih memprioritaskan pembangunan gedung-gedung, seperti gedung TK,sekolah negeri, rumah ibadah dan kantor dusun. “Soalnya gedung-gedung itu bisa multifungsi, tidak berdiri sendiri,” jelasnya. Dia sepakat dengan Markus. “Penerangan bisa menyusul.”
1:50 AM | 0 komentar

Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Alfitri, Partner in Progress, Kunci Keberhasilan Hakiki

Written By imran rusli on Sunday, February 8, 2009 | 11:46 PM

Alfitri adalah sosok fenomenal dalam khasanah inteletual kita. Kalau orang lain takkan sudi ditulis namanya tanpa gelar akademik yang sudah susah-susah digapainya dan mahal pula, maka Alfitri menganggap hal itu tak begitu prinsip. “Biarkan saja, biarkan orang berpikir Pak Alfitri ini sudah profesor belum ya?’ kata pemegang gelar Drs dan MS ini sembari tertawa. Ada baiknya kita mengenal lebih jauh sosok intelektual bersahaja ini, berikut perbincangannya dengan Imran Rusli dari Puailiggoubat.

Puailiggoubat (P): Katanya Anda mengembangkan konsep baru di Fisip, apa sih?
Alfitri (A): Sebetulnya bukan baru, cuma belum punya nama saja. Sekarang pun saya sangat berhati-hati menjawab pertanyaan ini, maklum menyangkut kredibilitas pribadi, Dekan Fisip dan institusi Fisip Unand itu sendiri he he.

P: Jadi apa sebenarnya partner in progress itu?
A: Partner in progress kalau diterjemahkan secara harafiah yang mitra dalam kemajuan, atau mitra untuk mencapai kemajuan. Kita tak mungkin bisa membuat kemajuan tanpa mitra di samping kita. Tak ada keberhasilan tanpa mitra yang berkontribusi membantu kita, baik langsung atau tidak langsung.

P: Konkritnya seperti apa?
A: Bertanya memang lebih enak dibanding menjawab, tapi baiklah akan saya jelaskan. Konsep ini mengarah ke luar dan ke dalam. Ke luar berarti bermitra dengan semua kalangan yang paling tidak memiliki persepsi, visi dan misi yang sama dengan kita yakni menjadikan Fisip Unand sebagai lembaga perguruan tinggi yang bergengsi, prestisius, kredibel, dan mumpuni dalam perannya sebagai pencetak SDM berkualitas di Sumatera. Nah mitra ini bisa berupa sesama Fisip dari semua perguruan tinggi yang ada di Sumatera seperti Syiah Kuala (Aceh), Universitas Sumatera Utara (Sumut), Universitas Riau (Riau), Universitas Jambi (Jambi), Universitas Sriwijaya (Sumsel), Universitas Bengkulu (Bengkulu), Universitas Lampung (Lampung), bahkan juga dengan beberapa universitas di Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Kalimantan. Namun mitra ini bukan hanya perguruan tinggi, lembaga-lembaga tertentu, bahkan media massa juga kitra rangkul, karena itu tadi kita tak kan bisa mencapai keberhasilan atau kemajuan sendirian, perlu mitra, aliansi strategis, sinergi dan semacam itu.

P: Perguruan tinggi di luar negeri juga? Dan lembaga-lembaga penelitian, funding?
A: Ya lah, termasuk itu. Malaysia, Singapore, Filipina dan Australia misalnya sudah menjalin kemitraan yang baik dengan kita. Kita bisa menempatkan SDM kita di sana untuk meningkatkan kualitas akademik. Sebagian besar SDM kita kini tengah menuntut pasca sarjana untuk mendapatkan gelar master dan doktor di sana. Kemitraan dengan berapa lembaga penelitian terus kita lakukan, juga lembaga-lembaga analisis politik dan sosial ekonomi. Funding? Jelas kita jugaakan mengarah ke situ, karena memang kita butuhkan, sebaliknya lembaga-lembaga donor seperti itu juga membutuhkan kita sebagai mitra agar dana mereka bisa tersalur secara efektif (tepat guna). Mereka ada didalam dan di luar negeri.

P: Kalau ke dalam?
A: Ini yang lebih penting. Kemitraan ke dalam sangat signifikan relevansinya. Para dosen, staf tata usah administrasi, dekanat, rektorat, sesama fakultas yang tergabung di Unand, mahasiswa adalah mitra sejati kita, yang berinteraksi dengan kita setiap hari. Tanpa kemitraan dengan mereka kita akan nyelonong sendirian. Tidak bagus, tidak sehat dan tidak diharapkan terjadi.

P: Jadi, secara eksplisit kosep ini belum diterapkan?
A: Memang belum, tapi secara implisit sudah berjalan. Istilahnya sudah dijalankan, cuma belum punya nama, karena sebenarnya kita semua sudah menyadari krusialnya konsep ini dan sudah menjalankannya dengan baik karena menyadari manfaatnya. Nah sekarang saya ingin membakukannya dalam sebuah konsep, legkap dengan langkah-langkah penjabarannya yang bisa diukur. Jadi bisa dievaluasi dalam kurun waktu tertentu.

P: Apa sih keurangan Fisip Unand dibanding UI misalnya?
A; Wah pertanyaannya! Begini. Kalau di Fisip UI, dosennya tak susah lagi memberi kuliah. Ibaratnya lemparkan saja buku, suruh pelajari dan analisis, mahasiswanya tak kan kesulitan sama sekali karena mereka memang berasal dari sekolah-sekolah menengah terbaik. Sumber mereka juga bukan hanya buku atau dosen, tapi internet, buku-buku berbahasa asing, diskusi intensif, di Jakarta itu sudah menjadi budaya mahasiswa. Artinya inputnya dudah excelent, tapi Fisip Unand masih perlu kerja ekstra keras. Inputnya mungkin terbaik dari seluruh sekolah menengah di Sumatera Barat, Jambi dan Riau, tapi belum sebaik yang masuk ke Fisip UI. Budaya belajarnya masih kurang. Mereka terbiasa menerima apa yang diberikan guru saja, belum terbiasa mencari sendiri, jadinya tidak kreatif. Akibatnya dosen harus giat menstilumasi, mem-push mereka agar mau sedikit berusaha. Ini mengutarakan pendapat dalam forum saja masih longok kiri kanan, mencari orang lain yang bisa dan mau.

P: Apa program studi baru yang akan dikembangkan di Fisip Unand?
A: Ada dua sebenarnya. Komunikasi, Hubungan Internasional dan Pariwisata. Ini program studi masa depan menurut saya.

P: Maksudnya?
A: Indonesia sekarang sangat membutuhkan SDM handal di bidang ilmu komunikasi. Pesatnya perkembangan media massa, kehidupan politik, dan makin intensnya hubungan internasional tak bisa tidak adalah lahan subur bagi tenaga-tenaga komunikasi. Kita tak lagi hidup di zaman telepon engkol atau televisi hitam putih, tapi sudah berada di era internet, telepon 3G, MP4, tele conference dan seterusnya, kalau tenaganya tak disiapkan dari sekarang kita bisa ketinggalan. Kemudian pariwisata, sebagai perguruan tinggi yang berada di Sumbar, kita paling berkepentingan menyiapkan tenaga-tenaga ahli di sektor ini, karena pariwisata bisa dikatakan sebagai masa depan Sumatera Barat. Sumber daya alam kita minim, tingggal SDM, pariwisata dan tentu saja aka (akal), modal dasar orang Minang sejak lama.

P: Apa peran yangbisa dimainkan Fisip Unand untuk dunia perpolitikan nasional?
A: Saya kira kita lebih tepat berkontribusi terhadap dunia perpolitikan nasional dengan berkonsentrasi pada dunia perpolitikan lokal, karena itulah kompetensi kita yang sebenarnya. Kalau kita bisa berkontribusi maksimal dalam perpolitikan lokal, maka itu berarti sudah merupakan kontribusi yang berarti bagi perpolitikan nasional, karena memang di ceruk inilah seharusnya kita bermain.

P: Maksudnya?
A: Ya, apa gunanya kita membahas konflik Muhaimin dan Gus Dur atau menduga-duga alasan mundurnya Jimly dari Mahkamah Konstitusi, bukankah itu lebih tepat dibahas dan diselesaikan oleh intelektual-intelektual NU di Jawa Timur atau pakar-pakar konflik dan konstitusi di Jakarta? Sementara berbagai permasalahan yang terjadi di Sumbar tak ada yang membahas dan memberikan solusi. Di sinilah harusnya kita bermain, di ranah yang lebih pas dan sesuai dengan kompetensi kita.

P: Misalnya?
A: Misalnya permasalahan transportasi di Kota Padang, kita kan bisa berkontribusi bagaimana mengatasinya dan bagaimana solusinya. Masalah pertanian, perikanan, peternakan, politik, sosial ekonomi lainnya, banyak sekali kan?

P: Bagaimana bentuk kontribusinya?
A: Macam-macam, salah satunya dengan menyebarluaskan buah pikiran dan ide-ide dari para SDM kita melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi lokal. Khusus untuk mediaonline kami sudah bermitra dengan www.padangmedia.com, nanti akan ada kolom khusus yang disi secara teratur oleh pakar dan pengamat dari Fisip Unand, istilahnya suara dari Bukik Karamuntiang (kampus Unand terletak di Bukik Karamuntiang, Limau Manih—red). Tentu saja bukan sembarang suara yang kami suarakan, tetapi suaranya para intelektual yang peduli nagari ini.

Cat. Tapi kok sampai sekarang belum muncul juga? Maaf Pak Pit, teknis bana masalahnyo, malu ambo.
11:46 PM | 0 komentar

Menikmati Senja di Pantai Mapaddegat

Pantai Mapaddegat, Kecamatan Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah oase bagi penghuni ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tuapeijat. Meski hanya menyajikan pantai dan ombak tok, ratusan orang memadatinya setiap minggu, termasuk para pegawai negeri yang bertugas di Mentawai dan keluarga mereka yang kebetulan berkunjung.


Hari libur, Sabtu dan Minggu, tatkala sore dan senja menjelang matahari terbenam adalah waktu terfavorit bagi para pengunjung untuk datang ke Pantai Mapaddegat. Mereka datang secara per orangan atau berkelompok. Jalan kaki, bersepeda motor atau mengendarai mobil dan menumpang angdes (angkutan pedesaan). Tua, muda, remaja, sampai anak-anak, lelaki perempuan senang sekali ke pantai ini. Mereka lalu mengambil tempat di pasir pantai yang lembut. Ada yang duduk memandang laut, ada yang bermain pasir, ada yang berbaring menikmati hembusan angin semilir, ada pula yang langsung buka baju dan menceburkan diri ke air laut yang tenang.

“Airnya bikin kita tergila-gila, begitu tenang dan menghangatkan,” ujar Dewi, 23 tahun, anggota keluarga PNS yang bekerja di salah satu instansi. Dewi dan temannya Diana hanya mengunjungi saudaranya di Tuapeijat, tapi begitu melihat Mapaddegat mereka langsung kepincut.

“Nggak nyangka pantainya sebagus ini, padahal dulu bayangan saya tentang Mentawai ini aduuuh, pokoknya serba ketinggalan lah,” katanya lagi.

“Pantai Tuapeijat juga bagus, tapi sayang masyarakat sekitar tidak menjaga kebersihannya, bahkan ada yang membuat kakus di pantai, sayang sekali padahal pasirnya jauh lebih halus dan bersih dibanding Pantai Mapaddegat,” ujar Diana, 24 tahun, menambahkan. Tanpa segan-segan keduanya mengakui dibanding Pantai Padang (Taplau) Pantai Mapaddegat jauh lebih cantik.

“Kurangnya kan sarana kuliner dan akomodasi saja, selebihnya Mapaddegat toplah,” kata Dewi.

Tak ada kata lain selain kata indah, cantik, mempesona ketika berkunjung. melihat dan menikmatinya. Ibaratnya Pantai Mapaddegat itu umpama gadis cantik alami, begitu indah dan anggun. Tanpa BB (bau badan) tentunya!

Pantai yang landai, berpasir halus, teluk yang tenang beriak kecil-kecil, deretan pohon kelapa yang menjadi pagar alami, membuat pengunjung betah. “Hari Minggu rasanya kurang lengkap bila tidak ke Pantai Mapaddegat”, kata Ana (18 th), seorang remaja yang hampir tiap minggu sore nongkrong di pantai tersebut.

Sunset, Selancar, Voli Pantai dan Pacaran
Salah satu pesona Pantai Mapaddegat adalah sunset. Matahari yang berubah jingga lalu merah dan perlahan-lahan hilang di balik horizon adalah pemandangan yang tak puas-puasnya dinikmati pengunjung. Padahal sunset itu juga ada di pantai-pantai lain, cuma cara menikmatinya tak bisa disamakan dengan yang di Pantai Mapaddegat. “Bisa sambil tiduran sambil minum air kelapa muda,” kata Ida dari Yayasan Citra Mandiri (YCM).

Pasangan muda juga suka sekali menelusuri pantai sambil mengikat janji. Mereka akan berjalan menyusuri garis pantai menuju ke utara. Di batu karang besar atau di pokok kelapa mereka berbagi pose, gantian berfotoria. Tapi karena bagian pantai yang itu sangat sepi banyak juga yang menggelincirkan diri, bermesraan tak terkendali. Sampai-sampai Mateus Samalinggai, artis Mentawai, mengeluh.

Concaik begini nih yang bikin rusak pantai ini,” katanya. Concaik adalah istilah yang dipopulerkan Mateus. Tapi yang namanya anak muda, susah melarangnya. Kerimbunan semak di bibir pantai itu benar-benar menggoda untuk dimanfaatkan. Seperti hotel gratis saja yang siap melayani pemadu cinta. Untuk mengatasi hal ini Plt Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Mentawai, Drs M Tamba, mengatakan akan mengadakan semacam tim patroli pantai, yang akan merazia pantai secara berkala.

Banyaknya surfer (peselancar) yang datang untuk menikmati ombak Mentawai yang katanya nomor dua terbaik di dunia, telah menimbulkan virus surfing ke anak-anak setempat. Maklum, salah satu ombak favorit para surfer ada di lepas Pantai Mapaddegat, namanya teleskop. Panjangnya sekitar 100 meeter. Sepanjang sore di hari Minggu atau hari libur lainnya, para surfer lokal ini memadati muara Sungai Mapaddegat, berselancar di sana. Suaranya riuh rendah penuh gelak tawa dan keriangan bocah-bocah. Peselancar yang remaja lebih suka bermain di ombak yang kadang-kadang membesar saat pantai diterpa badai atau angin kencang.

Jaraknya yang tidak jauh dari pusat ibukota kabupaten, yakni sekitar 6 kilometer membuat Pantai Mapaddegat sangat mudah dicapai. Jalannya juga bagus karena sudah dirabat beton selebar kurang lebih 4 meter.

Bagi warga Dusun Mapaddegat, keindahan pantai ini sempat menimbulkan harapan, karena tahun 2006 Pemkab sempat membangun home stay seharga hampir Rp6 milyar, yang terus dibangun sampai tahun 2008, tapi kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban yang jelas, sehingga sekarang menjadi tempat favorit bagi sapi dan kambing untuk berkencan. Gabriela Sapitini dan Martina Kambing Meringis sering terlihat dibawa pacar masing-masing ke sana, karena di situ ada lapangan tenis yang sangat representatif untuk para tamu ekslusif dari mancanegara atau ibukota.

“Harapan kami sirna, karena Pemda lebih suka mengorupsi proyek tersebut,” ujar seorang wara Mapaddegat yang mengaku bernama Martinus.

Seperti ingin menebus kesalahan, Drs Tamba mengatakan, berbagai upaya akan tetap dilakukan Pemkab untuk menambah daya tarik Pantai Mapaddegat. “Kita akan selenggarakan berbagai iven di pantai, seperti voli pantai, surfing contest, di samping patroli wisata dan penjaga pantai (baywatch). Itu sudah menjadi program dinas tahun ini,” katanya.

Abrasi
Sayangnya ada satu warung di pantai tersebut. Itupun sederhana sekali. Makanan yang dijual tidak beragam dan tampak kurang memenuhi standar higienis.

Selain itu warga terus mengambil pasir pantai untuk dijual sebagai material bangunan. Lama-lama pantai tersebut dikuatirkan bisa rusak tak berbentuk dan masyarakat setempat akan kehilangan sumber ekonomi yang jauh lebih besar dibanding hanya sekedar pasir pantai. Ingat Pantai Gandoriah di Pariaman. Sekarang warga sekitar pantai itu sudah banyak yang kaya karena menjual nasi sek, bukan menjual pasir pantai.(imran rusli dan bambang sagurung).
11:36 PM | 0 komentar

Bumen Terancam?

Salah satu yang bergeser dalam perubahan SOTK 19 Januari lalu adalah pos-pos di Dinas Pendidikan yang berkorelasi langsung dengan masa depan Bumen (Budaya Mentawai) yang rencananya akan dijadikan Mulok (Muatal Lokal) di sekolah-sekolah dasar di Mentawai.


November 2008, banyak wajah-wajah sumringah di Uma YCM, Mapaddegat. Masalahnya pada bulan itu Divisi Pendidikan YCM,bersama Direktur YCM menyerahkan seberkas draft kurikulum Budaya Mentawai (Bumen) kepada Drs Syaiful Jannah yang waktu itu menjabat Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Berkas draft kurikulum Bumen yang disusun Divisi Pendidikan YCM melalui kerjasama dengan berbagai pihak tersebut, termasuk kalangan pendidikan di Universitas Negeri Padang, tenaga-tenaga ahli kebudayaan dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, serta pemuka-pemuka adat Mentawai sendiri yang tergabung dalam AMA-PM, rencananya akan dipelajari oleh Tim Perumus Rekayasa Kurikulum di Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk kemudian disempurnakan dan disahkan sebagai mata pelajaran Muatan Lokal (mulok) di sekolah-sekolah dasar di seluruh Mentawai.

Dinas, kata Syaiful waktu itu, akan membentuk tim perumus tersebut, dan sudah santer terdengar ke masyarakat bahwa Sermon Sakarebau SSos akan ditunjuk sebagai ketua tim. Tapi tanggal 19 Januari 2009 semuanya jadi mentah lagi, karena Syaiful Jannah dan Sermon Sakarebau dipindah dari pos semula. Syaiful Jannah digeser dari Kabid Dikdasmen di Dinas Pendidikan ke Sekretaris Dinas Pendidikan, sementara Sermon Sakerebau digeser dari jabatan semula Kasi Pendidikan Luas Sekolah di Dinas Pendidikan menjadi Sekretaris Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB.

Pejabat lainnya di Dinas Pendidikan yang selama ini menunjukkan simpoati dan komitmennya untuk menggolkan Bumen sebagai Mulok adalah Pir Paulus SPd SD, Kasi Pembinaan Tenaga Guru dan Diklat pada Dinas Pendidikan yang dimutasi ke Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga sebagai Kabid Kebudayaan.

Mentok Lagi

Perjuangan YCM dan AMA-PM dan para simpatisan untuk menjadikan Bumen sebagai Mulok sudah berlangsung lama. “Tahun 2005 model kurikulum itu sudah diterima Kepala Dinas Pendidikan Ranting Siberut Utara, waktu itu dijabat Sermon Sakerebau—sekarang Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Mentawai—dan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Siberut Utara dengan fasilitasi YCM. Tahun 2007 diserahkan lagi ke Dinas Pendidikan di Tuapeijat dan disambut positif di tingkat Kepala Seksi, bahkan mereka berjanji membentuk Tim Rekayasa Kurikulum Muatan Lokal Bumen ini, tapi kemudian tak ada tindak lanjutnya. Baru hari ini ada kesempatan lagi,” ungkap Tarida Hernawati, Kepala Divisi Pendidikan YCM usai acara penyerahan kurikulum yang disusun YCM pada pihak Disdik Mentawai Jumat (14/11/08).

Sekarang peluang itu kandas lagi. Komunikasi mentok, karena tentu perlu penyesuaian lagi dengan oejabat baru. “Sekarang kami belum bergerak karena pejabat yang baru mungkin masih sibuk membenahi diri dan manajemen di tempat baru, jangan diganggu dulu, nanti saja kira-kira di minggu ketiga bulan Februari kita coba audiensi,” kata Tarida,

Sandang Paruhum, Direktur YCM, mengatakan agar tak terlalu mentok, YCM sudah siap dengan beberapa jurus alternatif. “Kita akan mendekati cabang dan ranting dinas pendidikan di kecamatan, lalu menyerahkan draf kurikulum yang sama, biarlah mereka saja yang meneruskannya ke kepala-kepala sekolah di wilayahnya,” kata Sandang. Tapi Sandang yakin, suatu hari nanti Bumen akan diajarkan di sekolah-sekolah dasar, bahkan di tingkat lanjutan dan atas. “Hanya soal waktu saya rasa, sesuatu yang memang baik tidak mungkin ditolak terus kan?” ujarnya.

Sri Raju Taileleu, Sekretaris AMA-PM Kabupaten Kepulauan Mentawai mengeluarkan statement yang agak beda. “Kita akan mencoba terus melakukan penekanan-penekanan, secara halus, lewat omongan lisan atau tulisan resmi, Kalau memang tidak ada juga respon atau niat baik Pemda, kita akan turun ke jalan, berunjuk rasa, meminta hak anak-anak kita untuk dapat belajar kebudayaannya sendiri dengan tenang. Saya bingung, apakah orang di dinas tersebut bukan orang Mentawai, mengapa mereka begitu gigih menolak Bumen?” katanya.

Belum Jelas

Apakah Pemkab memang sengaja mengubah SOTK di Dinas Pendidikan untuk menolak Bumen secara halus? Belum tentu juga sebenarnya dan sepertinya agak paranoid kalau ada yangberpikir begitu. Semuanya masih menunggu sampai minggu ketiga bulan Februari. Kita akan lihat bagaimana kejadiannya setelah Divisi Pendidikan YCM bertemu pihak Dinas Pendidikan. Jadi kita tunggu sajalah.




AMA-PM Akan Lakukan Penekanan-Penekanan

Ketika perubahan SOTK ini ditanyakan ke Urlik Tatubeket, Ketua AMA-PM Kabupaten Kepulauan Mentawai dia mengaku gundah juga sedikit. “Banyak program AMA-PM yang akan terganggu karena perubahan ini, antara lain kerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang mulai bagus. Pak Pardede sudah tak di Deperindagkoptam lagi, kita belum tahu bagaimana sikap penggantinya,” kata Urlik.

Tentang Bumen Urlik mengatakan memang bisa terancam batal juga, tapi untuk sesuatu yang memang baik bagi generasi penerus Mentawai AMA-PM tak kan segan-segan memperjuangkannya. “Kita sudah lakukan penekanan-penenakan sejak dulu, dan itu takkan berhenti, sebelum Bumen terealisasi sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah,” katanya lagi.

Apalagi, kata Urlik, yang akan diwariskan melalui Bumen adalah hal-hal mendasar yang akan membuat generasi penerus Mentawai tetap sadar akar dan indentitas dirinya. “Bukan sekedar mewariskan turuk laggai ini, tapi mewariakan sikap hidup, serta potensi-potensi sosio ekonomi yang dimiliki Mentawai,” tegasnya. ran
11:32 PM | 0 komentar

SOTK Berubah, 19 Posisi Tetap

Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Mentawai eselon IV dan III berubah, pelantikan dilakukan Senin 19 Januari 2009 lalu. Sebanyak 161 posisi diutak-atik, hanya 18 yang tak digeser.

Bupati Kepulauan Mentawai merealisasikan rencana yang diwacanakan Wakil Bupati Kepulauan Mentawai November lalu, bahwa SOTK di Pemkab Mentawai akan dirombak besar-besaran berkaitan dengan kinerja para PNS yang akir-akhir ini banyak mendapat sorotan masyarakat.

Waktu itu, Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet menyentil kinerja para PNS yang dikatakannya sangat jauh dari harapan, karena sebanyak 80 persen PNS lebih sering berada di Padang daripada di Mentawai. Akibatnya berbagai program kerja pemerintah terbengkalai atau tak memenuhi target. Salah satu dampak buruknya seperti disinyalir Yudas adalah serapan APBD 2008 yang sampai November tersebut baru 38 persen.

Tak kurang dari 161 personil Pemkab yang terkena gelombang perubahan SOTK ini, yakni 34 orang melalui SK Bupati Kepualauan Mentawai No: 821.2/III.a/01/KKd-2009 tertanggal 19 Januari 2009, 63 orang melalui SK No: 821.2/III.b/02/KKD-2009 tertanggal 19 Januari 2009, 62 orang melalui SK No: 821.2/IV.a/03/KKD-2009 tanggal 19 Januari 2009 dan 2 orang melalui SK No: 821.2/IV.b/04/KKD-2009 tanggal 19 Januari 2009.

19 Posisi Tetap
Dari 161 posisi hanya 18 posisi yang tidak digeser yakni Dra Eliza Murti, Kabag Umum Sekretarit Daerah; Drs Jufri Nelson Siregar, Kepala Kantor Kesbanglinmas (eselon IV.a) yang tetap pada jabatannya, cuma eselonnya naik ke III.a; Syafredi Ssos Kabid Laut pada Dinas Perhubungan (III.a) menjadi Kabid Perhubungan Laut pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (III.b). Nama instansinya berubah; Sahad Pardamaian ST, Sekretaris Camat Siberut Utara (IV.a), tetap tapi eselon naik (III.B): A Arifianto SSTP MM, Sekretaris Camat Siberut Selatan (IV.a) tetap di kedudukan semula dengan eselon III.b; Nicholaus Sorot Ogok SH, Sekretaris Camat Siberut Barat (IV.a), eselon berubah (II.b); Yanpiter Simatupang, Sekretaris Camat Siberut Barat Daya (IV.a) naik eselon (III. B); Ruslianus S SPd,Sekretaris Camat Pagai Utara (IV.a) eselonberubah (III.b); Rusli Sakoikoi, Sekretaris Camat Sikakap, eselon berubah dari IV.b ke III.b; Poltak M Saragi Napitu SH, Kasubbag Pembinaan Perangkat Daerah Bagian Pemerintah Umum (IV.a) menjadi Kasubbag Pembinaan Perangkat Daerah pada Bagian Administrasi Pemerintahan Umum di Sekretariat Daerah eselon juga tetap (IV.a), hanya nama bagian berubaha; Sukirman Ssos, Kasubbag Kelembagaan pada Bagian Organisasi di Sekretariat Daerah (IV.a); Risma Netty Hutapea SE Kasubbag Keuangan pada Dinas Perindagkoptamb (IV.a) menjadi Kasubbag Keuangan pada Dinas Perindustrian , Perdaganangan, Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (IV.a); Tuti Yuliana Sag, Kasubbag Umum dan Kepegawaian pada Dinas Pendidikan (IV.a); Nelly SE Kasubbag Keuangan pada Dinsosduknakertrans (IV.a) menjadi Kasubbag Keuangan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (IV.a) nama instansi berubah; Martauli SE, Kasubbag Keuangan pada Dinas Perhubungan (IV.a) menjadi Kasubbag Keuangan pada Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (IV.a), nama instansi berubah; Asril SE, Kasi Promosi Dinas Pariwisata (IV.a) menjadi Kasi Promosi dan Perizinan pada Bidang Pariwisata di Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olahraga(IV.a), nama instansi berubah; Kasmon Butar-butar, Kasubbag Umum dan Kepegawaian pada Dinas Pertanakun (IV.a); dan Ratna Juwita SH, Kasubbag Keuangan pada Dinas Kehutanan (IV.a).

Pasrah
Beberapa pejabat yang coba dihubungi Puailiggoubat mengaku pasrah. “Mungkin bupati melihat saya lebih pas di tempat yang baru, ambil hikmahnya sajalah,” ujar Sermon Ssos, mantan Kasi Pendidikan Pendidikan Luar Sekolah di DinasPendidikan (IV.a) yang kini menjabat Sekretaris Badan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB dengan eselon naik (III.a).

Drs Pujo Raharjo mantan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (eselon III.a) yang kini menjabat Kabid Transmigrasi Dinas sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (III.b) bersuara senada. “Di manapun saya ditempatkan, saya akan bekerja dengan sebaik-baiknya dan akan memberikan yang terbaik pada atasan saya dan masyarakat,” katanya.



Ada Apa Di Balik Perubahan?

Urlik Tatubeker, Ketua AMA-PM (AliansiMasyarakat Adat-Peduli Mentawai) mengaku heran dengan perombakan SOTK ini. “Kalau nggak salah SOTK ini baru setahun diubah, kok sekarang diubah lagi, ada apa? Ada jejak yang mau dihilangkan?” katanya bertanya-tanya.

Lukas Ikhsan Malik, Koordinator AMA-PM Kecamatan Sipora juga tak kalah heran. “Kalau ingin meningkatkan disiplin PNS, kenapa perombakannya besar-besaran ya?” Lukas mempermasalahkan hal ini karena menurut dia, bagaimana pejabat bersangkutan akan bisa menjalankan program-programnya kalau di tengah jalan diganti terus. “Baru mempersiapkan program dan mengatur strategi dan koordinasi sudah dipindahkan, bisa apa pejabatnya kalau begitu?” gugatnya lagi.

Sandang Paruhum, Direktur YCM (Yayasan Citra Mandiri) yang organisasinya komit dengan upaya penguatan masyarakat adat, mengutarakan hal senada. “Saya kuatir kami harus mengulang lagi semua pencapaian yang sekarang, karena pejabat yang punya otoritas diganti,” katanya (ran).
11:28 PM | 0 komentar

Drs Edi Indrizal Msi, Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia, Popularitas dan Uang Saja Tidak Cukup

Written By imran rusli on Thursday, January 29, 2009 | 4:54 AM

Sosok ini termasuk yang paling dicari (most wanted) di empat provinsi: Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau. Media massa berebut menunggu komentarnya, partai-partai politik (parpol), calon legislatif (caleg) dan kandidat kepala daerah berlomba-lomba menunggu hasil kerjanya—tentu sambil harap-harap cemas juga. Maklum Drs Edi Indrizal MSi adalah Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang mengomandoi kegiatan survei LSI di Provinsi Sumbar, Riau, Jambi dan Kepri. Awal Januari lalu Imran Rusli dari Puailiggoubat sempat berbincang dengan Edi di kantornya, tentang mekanisme suara terbanyak dan fenomena-fenomena politis lainnya yang sedang berkembang di Sumbar. Berikut petikan obrolan tersebut.

Sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan bahwa pemilihan wakil rakyat (anggota legislatif) harus menggunakan mekanisme suara terbanyak Desember tahun lalu, bagaimana Anda melihat situasi politik di Sumbar pascakeputusan tersebut?

Sepanjang pengamatan saya parpol dan caleg yang telah memutuskan maju ke Pemilu 2009 mau tidak mau harus mengganti strategi. Tidak bisa lagi mengandalkan pola-pola dan teknis pendekatan lama ketika caleg di nomor urut kecil—nomor jadi atau nomor peci--bisa tenang-tenang menunggu limpahan suara yang dikumpulkan caleg-caleg nomor sepatu. Sekarang mereka harus berusaha ekstra keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, memenangkan hati rakyat.

Bagaimana caranya?
Wah itu jangan ditanya, ada kuncinya, tapi saya akan mengatakan bahwa upaya keras tersebut tidak akan cukup dengan serangan udara saja, seperti melalui iklan di televisi, radio, media online, surat kabar. Juga tidak cukup lagi hanya dengan serangan darat, lewat baliho, spanduk, poster, kalender, arloji, pin dan lain-lain, bahkan dengan kunjungan langsung ke masyarakat pun belum cukup, juga popularitas, tak ada jaminan untuk mendapatkan elektabilitas yang cukup.

Apa itu elektabilitas?
Elektabilitas itu kedipilihan. Ingat kedipilihan, bukan keterpilihan. Orang masuk ke bilik suara bukan untuk termangu-mangu atau sembarang pilih saja, pasti sudah ada nama kandidat atau parpol dalam kantongnya.

Bukankah popularitas bisa membuat image tentang seseorang atau partai politik lebih mudah masuk ke memori masyarakat atau calon pemilih?
Betul, tapi tak ada korelasi positif antara popularitas dengan elektabilitas. Orang bisa sangat dikenal, tapi belum tentu mendapat tempat di harti masyarakat, apalagi untuk dipilih mewakili aspirasi mereka, masih sangat jauh itu.

Lalu bagaimana agar dijadikan prioritas oleh masyarakat pemilih?
Ha ha itu rahasia dapur lah ha ha.

Sebenarnya apa tantangan para caleg itu sekarang?
Ada beberapa hal, pertama proses rekrutmen para caleg oleh partai sejak awal umumnya belum memperhatikan mekanisme berdasarkan suara terbanyak, akibatnya sekarang mereka kerepotan mengubah strategi. Kedua, Jumlah partai jauh lebih besar, jumlah caleg juga sangat besar. Di Sumbar saja kita sekarang menemukan fenomena dari setiap 5 – 10 rumah terdapat 1 (satu) caleg. Ini luar biasa. Implikasinya perolehan rata-rata setiap caleg akan rendah atau kecil. Tak akan mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Kondisi seperti yang pernah dialami Saleh Djasit dan Hidayat Nurwahid pada Pemilu 2004, di mana perolehan suara mereka jauh melebihi BPP, tak akan kita temui lagi. Jadi Pemilu 2009 ini benar-benar berat. Ketiga, antara sesama caleg, eksternal atau internal, akan terjadi kompetisi yang sangat ketat. Kita sudah melihat gejalanya di beberapa daerah di Jawa, caleg dari partai sama yang saling jegal dan saling membunuh karakter saingannya. Dengan kompetitor dari partai lain, yang saling tebang bendera juga tak kurang. Belum lagi yang lain, bahkan sudah menjurus ke menghalalkan segala cara.

Wah ini kan nggak bagus untuk pendidikan demokrasi?
Begitulah. Tapi itulah kondisi faktual kita.

Lantas bagaimana pengaruhnya terhadap trend golput?
Mekanisme suara terbanyak mungkin disambut baik masyarakat, karena jauh lebih sesuai dengan aspirasi mereka selama ini, dan di satu pihak bisa mengurangi golput, tapi bila tidak diikuti dengan pengetahuan tentang cara memilih bisa mempengaruhi kualitas pemilu yang ujung-ujungnya golput juga, karena golput itu kan bukan sekedar sengaja tidak memilih, tetapi juga salah prosedur saat memilih, misalnya salah contreng, mencontreng dua kali pada dua kandidat dari partai berbeda dan sebagainya, sehingga suaranya dianggap tidak sah. Itu juga masuk kategori golput.

Kembali ke popularitas? Jadi belum jaminan ya pasang iklan di televsi, radio, surat kabar ataiu baliho sebesar rumah atau keselebritian seseorang akan mampu mengangkat elektabilitas.
Ya saya rasa begitu, karena masyarakat pemilih memiliki rasionalitas sendiri yang tak diketahui para kandidat.

Kunjungan langsung dan menyumbang juga tidak?
Tidak juga, apalagi kalau kunjungan tersebut dilakukan dan sumbangan tersebut diberikan menjelang pemilu saja, selama ini ke mana saja? Bisa-bisa kunjungannya disambut dan bantuannya diterima, tapi suara diberikan kepada kandidat lain yang sudah lebih lama bersemayam di hati rakyat. Lagipoula tak semua kandidat bisa melakukan kunjungan atau memberikan bantuan langsung, itu butuh alokasi dana, waktu dan tenaga yang besar. Sebaliknya banyak caleg yang masih percaya pola-pola konvensional. Mereka merasa sudah sangat punya nama, punya pengaruh di tengah masyarakat, jadi menganggap dirinya sudah sangat populer dan pasti dipilih. Sikap seperti ini tentu sah-sah saja, yang tidak boleh jangan justru karena kepopuleran tersebut memaksa orang orang memberikan suara.

Jadi percuma saja dong membayar iklan atau membuat baliho mahal-mahal, yang untung kan cuma media penerima order iklan saja? Apa yang memilih mereka juga nanti?
Wah kalau itu jangan tanya saya ha ha
4:54 AM | 2 komentar

Berkunjung ke Kampung Rang Talu

Nama Talu mungkin sudah tak asing lagi bagi warga Sumatra Barat, terutama karena ada nyanyiannya ‘Rang Talu’, atau legenda ‘Kuburan Duo’. Sebenarnya ada hal-hal menarik lain dari nagari yang termasuk Kenagarian Talu, Kecamatan Tala’mau, Kabupaten Pasaman Barat ini. Misalnya view Gunung Tala’mau, arus deras di Batang Talu dan Batang Sinuruik, permandian air panas, air terjun dan sebagainya.


Oleh Imran Rusli

dr Fadlan Maalip SKm, Tuanku Bosa XIV, intelektual sekaligus Ketua KAN dan Pucuak Adaik Nagari Talu bahkan mengatakan dia sudah mendokumentasikan 9 obyek wisata menarik di Talu dan Sinuruik ke dalam sebuah lempeng compact disc (CD). CD tersebut kelak akan diperbanyak dan disebarluaskan ke relasi Rang Talu yang ternyata banyak juga di Malaysia.

“Jumlah sekitar 800 KK, terutama di Johor dan sekitarnya,” kata Tuanku Bosa XIV dalam perbincangan dengan padangmedia.com di gedung KAN Talu, yang sekaligus menjadi kantornya.

Sayang padangmedia.com takbisa mengunjungi satupun , karena jadwal di Talu cuma sehari, itupun lebih untuk tujuan lain, yang tak ada hubungannya dengan rekreasi.

Dengan mobil, Talu bisa dicapai dalam waktu sekitar 4 jam. Berangkat pukul 07.30 WIB, sampai pukul 11.30 WIB. Kondisi jalan cukup bagus, meski di Bawan, Kinali, sampai Simpang Ampek jalan berlubang di sana-sini. Ruas jalan dari Simpang Gudang, Manggopoh, Kabupaten Agam ke Simpang Ampek, Kabupaten Pasaman ini memang sudah agak lama rusak dan belum ada tanda-tanda akan diperbaiki.

Namun semua itu tidak mengurangi rasa kenikmatan perjalanan, apalagi perut sudah terisi nasi panas dan gulai ikan segar dari RM Buyung di Tiku. Rasanya pantat yang lenyai karena terbanting-banting oleh kondisi jalan yang buruk tersebut sudah terlupakan saja.

Pertama masuk Nagari Talu, kesan rapi, damai dan tentramnya sudah terasa. Masyarakatnya juga sangat ramah, kecuali tukang ojek yang menawarkan ojek sambil memelototkan mata, entah belajar manajemen pemasaran di mana dia? Selebihnya hanya keramahan yang terasa, meski masyarakat tampaknya sudah terpecah-pecah ke berbagai bendera, spanduk, papan nama dan baliho partai-partai politik dan caleg yang diusung partai-partai tersebut. Mereka menyimpannya dalam keramahan yang santun dan hangat.

Kesan rapi itu ternyata tak sembarangan. Sejak awal abad ke-20, Talu ternyata sudah sangat maju, melebihi Lubuak Sikapiang, ibukota Kabupaten Pasaman, yang dulu menjadi induk bagi kawasan Talu, Sinuruik, Kajai dan Kabupaten Pasaman Barat sendiri. Seperti diungkapkan Tuanku Bosa XIV. “Sejak tahun 1920 Talu sudah punya jaringan air minum, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan sendiri, bahkan Kantor Polres baru pindah ke Lubuak Sikapiang tahun 1980,” kata dr Fadlan.

Ny Hj. Nurmal Maalip, mantan anggota DPRD tiga periode (1984-1999) dan tokoh Bundo Kanduang serta aktivis Aisyiah Kabupaten Pasaman, tempat padangmedia.com menginap mengatakan hal senada. “Talu memang sudah lebih dulu maju dari induknya, saya juga tidak tahu kenapa,” kata ibu yang ramah yang sekarang berusia 75 tahun tapi masih sangat segar secara fisik dan pemikirannya itu.

Sarat Fenomena Sejarah
Dari perspektif pariwisata, kalau kita hanya nongkrong di Talu saja memang tak ada yang menonjol. Fasilitas tempat hiburan tak tersedia, poenginapan juga seadanya, hanya sebuah wisma dekat kantor camat Tala’mau, yang kata Wali Nagari Sinuruik, Masrivelli SSos, kurang diminati pengunjung.

“Mungkin karena Simpang Ampek dekat, pengunjung Talu dan Sinuruik lebih banyak menginap di Simpang Ampek,” kata alumnus jurusan Antropologi Fisip Universitas Andalas ini menjelaskan. Jarak dari Talu ke Simpang Ampek memang hanya sekitar 30 kilometer, tapi ongkos angdes (angkutan pedesaannya) Rp10.000 lho.

Di luar itu, sebenarnya banyak hal menarik di Talu, misalnya fakta sejarah bahwa rumah Hj Nurmal pernah dijadikan markas Pembela Natsir, tokoh Masyumi, mantan Perdana Menteri era rezim Sorkarno, yang baru saja diakui negara sebagi Pahlawan Nasional dari Sumatra Barat. Di rumah yang berlokasi di kawasan Bangkok, Kenagarian Sinuruik ini, ini Presiden PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Syafruddin Prawiranegara pernah menyelenggarakan rapat-rapat penting bersama tokoh-tokoh politik lainnya.

Ketika Gubernur Azwar Anas berkunjung ke Talu untuk menghadiri suatu acara Muhammadiyah, dia lebih suka tidur di rumah Hj Nurmal, padahal rumah yang lebih bagus sudah disediakan untuk dia dan anggota rombongan Muspida Sumbar lainnya. “Ketua Umum DPP Muhammadiyah juga pernah menginap di rumah kayu kami yang sederhana ini,” kata Hj Nurmal merendah.

Keseharian Nan Eksotik
Lebih dari itu, yang lebih menarik dari Talu dan Sinuruik adalah suasana kesehariannya yang sangat kental nuansa tradisionalnya. Masyarakat di kedua nagari yang berdampingan ini hidup dari pertanian. Sawah yang luas terhampar di mana-mana, lengkap dengan iring-iringan itik di pematangnya dan kincir air dari kayu di sekelilingnya. Kincir air yang sama juga dipakai untuk menumbuk padi dan kopi. Sementara di setiap sudut terjemur hamparan buah pinang yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi Rang Talu. Mereka suka mengunyahnya begitu saja.

Yusuf, anak Bukiktinggi yang besar di Jambi dan kini bekerja sebagai supir pribadi dr Fadlan mengungkapkan bahwa masyarakat setempat biasa makan pinang di setiap kesempatan. “Sudah seperti rokok, masyarakat begitu lekat dengan buah pinang, sampai-sampai saya juga ketularan,” katanya.
Kita bisa menemukan hamparan buah pinang ini mulai dari Pasar Talu Sinuruik yang ramai di hari Rabu, sampai ke pedalaman Sinuruik di perbukitan. Ibu-ibu tua menjemur pinang dengan kasih sayang, mengurai-urainya setiap saat, membolak-balik agar rata disinari matahari. Buah pinang ini dijemur di jalan-jalan kampung dan jorong yang rata-rata sudah dibeton semua. Kadang-kadang dijemur dengan gardamungu, komoditas lain yang juga telah banyak menopang kehidupan masyarakat Talu Sinuruik sejak dulu.

Kacang Tanah dan Gula Aren
Dua komoditas lain yang menonjol di Talu dan Sinuruik adalah kacang tanah dan gula aren. “Kacang tanahnya tak kalah dengan Kacang Garuda,” kata dr Fadlan berpromosi. Pemilik sebuah sekolah tinggi ilmu keperawatan di Jambi ini menceritakan bagaimana kacang tanah Talu yang dikemas dengan baik bisa laris manis seperti Kacang Garuda di supermarket-supermarket Jambi. “Sayang di Talu sendiri kemasan belum diperhatikan, kacang tanah berkualitas seperti itu masih dibungkus dengan plastik transparan saja,” katanya.

Gula arennya juga tak kalah menarik. “Kalau ada waktu longoklah petani aren kami mengolah gula aren, lihat bagaimana mereka memanjat dengan bambu sebatang, lalu memukul-mukul lembut tandan aren sambil bersenandung, menunggu dengan sabar gula aren mengalir ke bumbung,” paparnya.

Koto Dalam
Daya tarik alam dan keseharian ini masih dilengkapi dengan daya tarik budaya. Di tanah kelahiran, di Koto Dalam, Kenagarian Talu, dr Fadlan selaku pewaris gelar adat Tuanku Bosa sedang membangun sebuah rumah gadang.

“Saya maksudkan sebagai Rumah Gadang Tuanku Bosa, pengganti rumah gadang lama yang sudah diruntuhkan. Dibanding yang dulu rumah gadang yang ini tak ada apa-apanya, karena tiang-tiang rumah gadang yang dulu saja dibuat dari kayu utuh yang sangat besar, kalau main sembunyi-sembunyian, kita bisa sembunyi dalam rongganya,” ungkap dia.

dr Fadlan berharap rumah gadang itu kelak bisa menjadi pusat dokumentasi sekaligus informasi tentang adat-istiadat Talu Sinuruik bagi siapa saja yang berminat. “Terutama masyarakat Kenagarian Talu dan Sinuruik sendiri, serta para peneliti budaya dan pelancong, yang tertarik dengan budaya Talu Sinuruik,” kata pemuka adat yang tengah menanti kedatang rombongan pelancong dari Malaysia ini. “Sekitar 20 rombongan dari Malaysia sudah merencanakan kunjungan ke Talu Agustus nanti, kita harap rumah gadangnya sudah siap menyambut mereka,” katanya lagi.
4:27 AM | 2 komentar

Memimpikan Calon Independen

Written By imran rusli on Friday, January 16, 2009 | 11:35 PM

Meskipun MK telah memutuskan penggunaan mekanisme suara terbanyak pada Pemilu 2009, keputusan tersebut tak mengubah keputusan calon pemilih. Rani (19), mahasiswa di Padang mengatakan selama calonnya tak independen dan dimunculkan masyarakat dia akan tetap Golput.

“Masalahnya saya tak kenal caleg-caleg yang disodorkan partai-partai politik tersebut, sementara caleg-caleg mantan aleg—anggota legislatif--yang maju lagi sekarang rata-rata saya nilai kinerjanya buruk. Mereka tak peduli rakyat dan hanya memikirkan diri sendiri atau partainya saja, untuk apa memilih caleg kayak gitu, hanya memberi dia pekerjaan, penghasilan, bonus dan tunjangan-tunjangan selama 5 tahun ke depan, enak betul,” katanya.

“Kalau calonnya dari rakyat dan menggunakan mekanisme suara terbanyak, baru saya ikut pemilu, tapi pemilu presdien nanti saya ikut kok, kan pendukung SBY,” kata gadis yang suka membaca Mahatma Gandhi dan Frans Kafka ini sembari tertawa.

Senada dengan Rani yang merupakan pemilih pemula, Bastian (28) yang pada pemilu 204 juga golput menyatakan hal yang sama. “Caleg dari partai politik umumnya bekerja untuk partai politik yang mengusungnya, bukan untuk rakyat antah berantah yang tak dikenalnya, meski suara mereka telah mendudukkan dia di dewan. Makanya tak ada aspirasi rakyat yang diperjuangkan caleg-caleg semacam itu, sehingga rakyat tetap harus menggunakan parlemen jalanan agar suaranya didengar, atau kalau perlu teriak-teriak di depan kantor dewan,” kata wirausahawan muda yang bolak-balik Padang Jakarta tiap minggu.

Tapi konstitusi tidak memungkinkan calon independen. “Sekarang, UU kan bisa diamendemen, buktinya untuk calon eksekutif sudah bisa diterapkan, bahkan sudah ada yang menang. Satnya mereformasi DPR dan DPRD,” tegasnya. ran
11:35 PM | 3 komentar

Fatwa MK Harusnya Bisa Kurangi Golput

Alfitri, akademisi dari FISIP Unand mengatakan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang pemberlakuan suara terbanyak bagi calon legislatif seharusnya bisa mengurangi kecenderungan (trend) golput (golongan putih atau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu), karena keputusan itu telah menunjukkan keberpihakan konstitusi kepada rakyat.

Oleh Imran Rusli

“Putusan MK tentang suara terbanyak harusnya dapat mengurangi golput. Dengan sistem tersebut suara rakyat dihargai, karena caleg yang akan duduk bukan yang nomor urutnya ditentukan partai, tapi yang terbanyak mendapat suara rakyat,” ujar sosiolog tersebut pada Puailiggoubat pekan silam.

Karena itu, kata Alfitri lagi, semua pihak—termasuk akademisi—harus aktif mendorong warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. “Semua pihak hendaknya mendorong warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, dalam berbagai media forum akademisi seyogyanya mencerahkan publik bahwa pemilu adalah peluang bagi warga negara untuk memperbaiki keadaan, pemilu adalah sarana demokrasi untuk untuk memperbaiki keadaan, warga negara yang baik tentu punya kewajiban moral untuk ikut memperbaiki,
bahwa ada orang atau partai politik yang pernah mengecewakan, ya jangan pilih dia lagi.”

Alfitri menilai golput menggenaralisasi bahwa semua calon legislatif tidak bermutu, padahal faktanya, masih banyak yang bermutu. “Mari kita pilih caleg bermutu sambil berharap dia akan setia pada rakyat,” katanya.

Seperti diketahui, Selasa 23 Desember MK menghapuskan sistem nomor urut seperti diatur dalam Pasal 214 Huruf a, b, c, d, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, dan menggantinya dengan sistem suara terbanyak melalui Surat Keputusan No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang penggunaan mekanisme suara terbanyak dalam Pemilu yang diumumkan ke publik Selasa 23 Desember 2008.
Majelis hakim konstitusi menilai, pasal tersebut hanya menguntungkan caleg yang duduk di nomor urut kecil dan merugikan caleg dengan nomor urut besar. Mekanisme itu juga membuat caleg terpilih hanya merasa bertanggungjawab pada partai politik yang mengusungnya, dan cenderung mengabaikan suara rakyat yang memilihnya, meski secara tidak langsung.

Bisa, Tapi

Drs Edi Indrizal MSi, Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan hal senada, tapi dia menguatirkan hal itu tidak efektif juga, terkait pengetahuan masyarakat pemilih yang masih minim soal teknis pemberian suara pada Pemilu 2009.
“Mekanisme suara terbanyak mungkin disambut baik masyarakat, karena jauh lebih sesuai dengan aspirasi mereka selama ini, dan di satu pihak bisa mengurangi golput, tapi bila tidak diikuti dengan pengetahuan tentang cara memilih bisa mempengaruhi kualitas pemilu yang ujung-ujungnya golput juga, karena golput itu kan bukan sekedar sengaja tidak memilih, tetapi juga salah prosedur saat memilih, misalnya salah contreng, mencontreng dua kali pada dua kandidat dari partai berbeda dan sebagainya, sehingga suaranya dianggap tidak sah. Itu juga masuk kategori golput,” papar Edi.
11:33 PM | 0 komentar

Positif dan Harus Dihormati

Keputusan MK mengenai perubahan sistem pemilu dari nomor urut menjadi suara terbanyak menurut Amora Lubis, caleg PPPP Dapil V nomor urut 2, justru merupakan hal yang positif. Karena, menurut Amora, dapat mendorong masyarakat untuk mengenal lebih dekat calon legislatif yang akan mereka pilih. Di samping mendorong para caleg untuk lebih dekat dengan masyarakat dalam menerima aspirasi yang diberikan.

Saat ditanya bahwa sistem penghitungan suara terbanyak ini rentan dengan politik uang, ia manyatakan bahwa hal itu tergantung kepada person atau orang yang bersangkutan. “Caleg yang moralnya baik pasti tidak akan melakukan hal tersebut.”

Bagaimana strategi Amora untuk mendapatkan suara rakyat? Ia mengaku melakukan pendekatan persuasif dengan mengadakan seminar-seminar yang dekat dengan paermsalahan kemasyarakatan.

Model pendekatan tersebut intensif dilakukannya dari sekarang sampai menjelang pemilu, April mendatang. “Di samping itu saya juga melakukan dakwah-dakwah kepada masyarakat yang biasa dilakukan di lapangan terbuka,” katanya pada April Adriansyah dari Puailiggoubat.

Sedangkan caleg PBB Muchlis Sani, Dapil I nomor urut 1, menilai keputusan MK tersebut mau tidak mau harus dihormati. Jika dihubungkan dengan partai, maka hal tersebut menurut dia tidak masalah. Namun, jika dihubungkan dengan dirinya secara pribadi, maka calon mantan calon Wakil Walikota Padang ini mengaku merasa dirugikan, tapi dia tak mempermasalahkannya.

Menurutnya, letak nomor urut 1 yang dimilikinya sekarang ini, tidak berarti apa-apa.
Sebaliknya sistem ini, kata Mukhlis, dapat mengenalkan caleg secara langsung kepada masyarakat. Sehingga masayarakat dapat mengetahui calon yang akan duduk di kursi dewan lebih dekat.

Mukhlis Sani mengaku ia melakukan strategi pendekatan persuasif kepada masyarakat. Dengan demikian ia bisa mengetahui aspirasi masyarakat secara langsung pula. Di samping itu ia juga melakukan pertemuan-pertemuan dakwah tanpa melanggar UU yang tidak memperbolehkan kampanye di tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan. “Selama ini hal itu saya lakukan di tempat terbuka, jadi takada aturan yang saya langgar,” katanya pada April Adriansyah dari Puailiggoubat. ran
11:33 PM | 0 komentar

Yang Kembali Bersemangat

Keputusan MK mengenai suara terbanyak mau tak mau menggembirakan caleg di nomor sepatu (nomor urut besar), mereka yang sebelumnya loyo kini bersemangat lagi, bahkan menurut wartawan kami Bambang Sagurung, caleg-caleg tersebut bersemangat 45 kembali.

Oleh Imran Rusli

Yan Winnen Sipayung adalah caleg DPRD Mentawai Dapil III nomor urut 6 dari PDIP. Sebelum putusan MK keluar, Yan sedikit tak bersemangat karena penetapan nomor urutnya dinilai kurang adil, tapi karena loyal pada partai Yan pasrah saja.

Tapi setelah keputusan MK tentang penggunaan mekanisme suara terbanyak pada Pemilu 2009, Yan yang sekarang anggota DPRD Mentawai, bersemangat lagi, karena menurut dia memang sistem dan mekanisme inilah yang seharusnya dipakai dalam pemilu.

“Pada hakikatnya pemilu itu tetap suara terbanyak, karena lebih adil dan proporsional,” katanya.

Untuk itu, Yan akan mulai memikirkan menggunakan strategi khusus untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. “Dan strategi untuk Mentawai ini tidak bisa model bim sala bim. Caleg Mentawai ini bukan di Amerika, atau Prancis dan lainya. Masyarakat juga menyadari dan dapat menilai karena masyarakat sekarang sudah realistis, yang saya kuatirkan sekarang hanyalah apakah masyarakat mengerti tentang pemilu dan apakah cukup waktu untuk mensosialisasikan pemilu ini kepada masyarakat,” ungkapnya.

Maksud Yan mungkin soal teknis pemberian suara yang memang bermasalah sejak dari KPU Pusat di Jakarta.

Dari Kita untuk Kita
Maralus Sinurat, caleg DPRD Provinsi, Dapil Padang-Mentawai, nomor urut 3 dari PDIP sepakat, menurut dia, keputusan MK membuat semua caleg bersemangat untuk berjuang , mengeluarkan biayapun tak ragu-ragu lagi, juga simpatisan makin semangat dan bahkan berani berkorban materi dulu asal caleg yang diinginkannya bisa duduk di dewan.

“Semua jadi bersemangat, kita juga tak ragu lagi mengalokasika dana, sebab hasilnya jelas-jelas untuk kita bukan buat caleg di atas kita,” katanya.

Masalahnya, menurut Maralus, masyarakat sudah trauma. “Pada pemilu 2004 ada caleg yang berhasil duduk dari suara masyarakat Mentawai—yang juga belum tentu diperuntukkan bagi dia, tapi jatuh ke dia karena dia di nomor jadi--tapi tak mau memperjuangkan aspirasi masyarakat Mentawai, bahkan tidak mau ke Mentawai,” katanya.

“Sekarang kesempatan bagi masyarakat Mentawai untuk membulatkan suara untuk satu dua orang sebagai perwakilan yang telah dikenal dan mengenal Mentawai yang akan membawa aspirasi Mentawai untuk diperjuangkan di dewan provinsi,” tambah dia.

Sedangkan Juanidi, caleg DPRD Mentawai Dapil Siberut nomor urut 4 dari Partai Gerindra mengatakan keputusan MK membuat semua caleg giat berusaha memperoleh suara lebih banyak, “karena suara itu mutlak untuk kita,” katanya pada Bambang Sagurung dari Puailiggoubat.

Dia berharap masyarakat memilih orang yang mereka kenal dan mengenal mereka. Strategi yang dipilihnya adalah melibatkan diri secara langsung ke tengah masyarakat.
11:31 PM | 0 komentar

Yang Royal Yang Terkapar

Bukan rahasia lagi bahwa parpol itu telah menjalankan peran sebagai kendaraan politik, karena konstitusi memang menyaratkan demikian, tapi berkat kreativitas praktisi partai, kendaran politik ini telah berubah menjadi bukan sekedar kendaraan, ada yang berkembang menjadi kendaraan politik super eksekutif, eksekutif, kelas bisnis, ekonomi, meski tetap banyak yang biasa-biasa saja. Seperti umumnya kendaraan, partai adalah mesin yang membutuhkan bahan bakar, dengan jenis yang tertentu pula. Makin ekslusif dan mewah kendaraannya, makin mahal harga bahan bakarnya, otomatis makin tinggi pula tarifnya.

Nah, caleg yang ingin duduk di bangku paling sexy, mau tak mau harus membayar lebih mahal—bahkan kalau berhasil sampai di tujuan pun masih ada kompensasi susulan dan rutin yang harus dibayarkannya ke partai yang telah mengusungnya. Beberapa caleg yang kami temui membenarkan sinyalemen ini.

Ironisnya, di Mentawai ada caleg yang telah mengeluarkan dana untuk semua caleg lainnya dengan perjanjian, berapapun perolehan mereka—kecuali melebihi 30 persen--semua suara harus dilimpahkan kepada caleg pemberi modal saja. “Kasarnya, caleg yang lain itu bekerja untuk dia,” kata sumber kami staf KPU Mentawai yang minta namanya tak usah disebut. Sekarang dengan keputusan MK yang memenangkan aspirasi masyarakat banyak ini, caleg ‘cukong suara’ itu langsung terhenyak, meski tak mengganggu deal politiknya, keputusan MK tersebut mengurangi arti upaya kerasnya, di samping munculnya kekuatiran pembelotan ‘caleg karyawannya’ karena berhasil mendapatkan suara terbanyak. ran
11:30 PM | 0 komentar

Yang Terhenyak oleh Suara Terbanyak

Keputusan untuk menggunakan mekanisme suara terbanyak dalam Pemilu 2009 telah mengacaukan strategi banyak caleg, keputusan itu sekaligus mengganggu rasa percaya diri sebagian besar caleg, dan menumbuhkan keyakinan yang lebih kuat pada caleg nomor sepatu, karena semua kini memiliki kesempatan sama.


Oleh Imran Rusli

Selasa (23/12) MK mengumumkan Surat Keputusan No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang penggunaan mekanisme suara terbanyak dalam Pemilu 2009. Keputusan ini merupakan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi pada hari Jumat tanggal sembilan belas bulan Desember tahun dua ribu delapan dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal dua puluh tiga bulan Desember tahun dua ribu delapan oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, M. Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Abdul Mukthie Fadjar, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Maruarar Siahaan masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Makhfud sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, serta Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum.

Begitu diumumkan jagad perpolitikan Indonesia pun berguncang, terutama para caleg nomor jadi (nomor urut kecil) dan caleg perempuan. Beberapa kalangan juga menguatirkan makin maraknya money politic (politik uang), karena menilai penerapan mekanisme suara terbanyak hanya akan menguntungkan caleg yang memiliki sumber daya finansial berlimpah dan popularitas berlebih. Mekanisme suara terbanyak juga diprediksi—dan telah terbukti—akan menimbulkan perpecahan dan kompetisi tidak sehat antar caleg, baik yang berasal dari partai politik berbeda atau dari partai yang sama, tapi nomor urut berbeda.

Istilahnya, kata Drs Edi Indrizal MSi, Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang membawahi Provinsi Sumatra Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau (Kepri), para caleg tak bisa santai atau berleha-leha lagi, mereka harus berjuang ekstra keras untuk mendapatkan kepercayaan rakyat yang berhak memilih.

Popularitas dan Pundi-pundi Tebal Saja Tidak Cukup
“Upaya keras tersebut berarti tidak akan cukup dengan serangan udara saja, seperti melalui iklan di televisi, radio, media online, surat kabar. Juga tidak cukup lagi hanya dengan serangan darat, lewat baliho, spanduk, poster, kalender, arloji, pin dan lain-lain, bahkan dengan kunjungan langsung ke masyarakat pun belum cukup, juga popularitas, tak ada jaminan untuk mendapatkan elektabilitas yang cukup lagi sekarang,” kata Edi pada Puailiggoubat di kantornya Sabtu (10/01).

Ditambahkan Edi, setiap caleg membutuhkan strategi khusus yang benar-benar masif dan berkenan di hati masyarakat, agar bisa mendapatkan suara mereka. Dan menurut dia hal itu tidak mudah, tapi Edi tidak bersedia memberikan advis gratis. “Maaf itu rahasia perusahan,” katanya bercanda.

Kondisi ini kata Edi muncul dan mengagetkan beberapa caleg dan parpol—kecuali partai yang memang telah memutuskan untuk menggunakan mekanisme suara terbanyak di partainya--karena rata-rata caleg—ujar Edi—memang tidak disiapkan untuk kondisi ini saat perekrutannya dulu.

“Ada beberapa hal yang membuat keputusan MK ini fenomenal dan mengganggu kinerja sementara caleg dan partai, pertama proses rekrutmen para caleg oleh partai sejak awal umumnya belum memperhatikan mekanisme berdasarkan suara terbanyak, akibatnya sekarang mereka kerepotan mengubah strategi. Kedua, Jumlah partai jauh lebih besar, jumlah caleg juga sangat besar. Di Sumbar saja kita sekarang menemukan fenomena dari setiap 5 – 10 rumah terdapat 1 (satu) caleg. Ini luar biasa. Implikasinya perolehan rata-rata setiap caleg akan rendah atau kecil. Tak akan mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Kondisi seperti yang pernah dialami Saleh Djasit dan Hidayat Nurwahid pada Pemilu 2004, di mana perolehan suara mereka jauh melebihi BPP, tak akan kita temui lagi. Jadi Pemilu 2009 ini benar-benar berat. Ketiga, antara sesama caleg, eksternal atau internal, akan terjadi kompetisi yang sangat ketat. Kita sudah melihat gejalanya di beberapa daerah di Jawa, caleg dari partai sama yang saling jegal dan saling membunuh karakter saingannya. Dengan kompetitor dari partai lain, yang saling tebang bendera juga tak kurang. Belum lagi yang lain, bahkan sudah menjurus ke menghalalkan segala cara,” papar Edi panjang lebar.
11:28 PM | 0 komentar

Sekolah-sekolah yang Terganjal

Wartawan kami Raport Pardomuan Simanjuntak lagi-lagi memberitakan indikasi ketidakberesan dalam beberapa proyek pembangunan gedung sekolah di Mentawai. Ada beberapa sekolah di Kecamatan Sipora Selatan yang kondisinya aneh. Bangunan baru selesai 60 – 70 persen, tapi dilaporkan sudah selesai 100 persen.

Anehnya, pemerintah (eksekutif dan legislatif) mengiyakan saja, tanpa mengecek lagi ke lapangan. Aroma korupsi pun meruap tanpa bisa dicegah. Dan masyarakat gelisah. Tentu saja. Anehnya lagi, pilar ketiga pemerintahan, yakni kalangan yudikatif, juga acuh tak acuh. Mungkin menganggap ini cuma kasus cemen (tak berarti), sehingga mereka tak peduli. Entahlah.

Membicarakan infrastruktur sekolah, fasilitas sekolah, berarti membicarakan komitmen terhadap kualitas SDM Mentawai masa depan. Bukan apa-apa, sudah terbukti di mana-mana tanpa pendidikan berkualitas takkan didapat SDM berkualitas, sementara Mentawai sangat membutuhkannya supaya kesejahteraan semua lapisan masyarakat meningkat dan tercipta kondisi Mentawai untuk Mentawai—dan orang-orang yang peduli Mentawai.

Pendidikan berkualitas memang tak hanya bisa didapatkan dari lembaga pendidikan formal, lembaga-lembaga pendidikan informal dan pengalaman merupakan sekolah yang berharga. Tapi, ukuran dan patokan kualitas tetap ditambatkan pada pendidikan formal, makanya infrastruktur tadi sangat penting dan mesti diprioritaskan, bukannya dijadikan permainan atau sarana untuk mengutil.

Kalau ingin mengutil juga, lakukanlah di pos lain (itu kalau libido mengutilnya benar-benar sudah tak bisa ditahan dan mental oknumnya memang mental maling), terlalu riskan dan mengundang banyak masalah yang hanya akan merugikan generasi penerus dan Mentawai secara keseluruhan, jika dilakukan di pos pendidikan.

Ironisnya, kejanggalan yang sangat kasat mata ini ditemukan di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang masih dekat dengan pusat kecamatan. Pertanyaannya bagaimana pula kondisinya dengan proyek-proyek di kawasan terpencil, yang justru lebih banyak? Asumsinya tentu semakin parah, kontraktor dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bisa berjalan sendiri-sendiri, atau miskomunikasi, atau berkongkalingkong untuk kepentingan bersama.

Kita tidak tahu persis, tapi begitu banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

Masalahnya, ini sudah tahun 2009, mau menunggu tahun berapa lagi agar kemajuan pendidikan di Mentawai—atau dengan kata lain tumbuhberkembangnya SDM berkualitas di Mentawai—akan menjadi komitmen semua pihak? Terutama para pejabat di instansi paling berkompeten dengan hal ini?
11:25 PM | 0 komentar

Apakah Bangsaku Tidak Lagi Diperhitungkan?

Written By imran rusli on Friday, January 9, 2009 | 1:16 AM

Dear all:
Ini ada tulisan Ustad Yusuf Mansyur. Simple tapi dalem.
Mudah2an bermanfaat.
bse



Tahun 2004 saya jalan ke Brunei. Karena saya pikir dkt, saya cuma bawa 1
kantong plastik saja. Ternyata di perjalanan, bawaan saya bertambah.
Begitu masuk bandara Brunei, saya berniat membli tas. saya tawarlah 1
tas di 1 toko. Setelah dikurskan ke rupiah, angkanya jd 4,2jt. saya
terbelalak, dan setengah bercanda saya bilang bahwa di Indonesia, tas
kayak gini palingan 300-400rb atau paling mahal 1jt dah. Eh, si penjaga
toko memasang muka merendahkan gitu, dan bilang: "No no no... Bukan tas
kami yang mahal, tapi you punya rupiah yang tak ada harga!".

Ya Allah, seperti ditampar rasanya muka saya. Segitunyakah rupiahku?
Segitunya kah negeriku? Mata uangnya tak ada harga. Lalu, pegimana
bangsanya? Bagaimana negerinya? Adakah martabatnya?

2008 ini entah yang keberapa kali saya mengadakan prjalanan keluar
negeri. Sudah tidak saya hitung lg saking seringnya, he he he. Nikmat
ini saya syukuri. Saya tringat, dulu saban saya dimandiin dan
dipakaikan pakaian oleh ibu saya, ibu saya hampir selalu berdoa dg doa
yang relatif sama. Ya, hampir selalu. Doanya biar saya, katanya,
gampang bulak balik ke mekkah, seperti ke pasar. Terus biar bisa
keliling dunia. Yusuf kecil saat itu, sempat pula bertanya sambil
ketawa, masa iya ke mekkah segampang ke pasar? Lagian mana mungkin sih
keliling dunia? Ibu saya menjawab, eeeehhhh... Allah Punya Kuasa. Kalo
DIA mau, gampang buat DIA mah. Nabi Muhammad aja diterbangin isra
mi'raj.

Ya itulah doa ibu saya. Alhamdulillah. Trnyata betul. Sekarang saya
alami sendiri. Pergi haji buat saya pribadi udah benar-benar gampang.
Alhamdulillah. Biar pintu pendaftaran dah ditutup, saya masih bisa
pergi dengan undangan kerajaan punya, atau dengan cara-cara yang
tahu-tahu saya udah di sana! Subhaanallaah memang. tapi saya ga aji
mumpung. Waktu ibu saya, mertua dan rombongan keluarga ga dapat nomor
haji, banyak orang dekat bilang, pake dong power ente. Ah, saya mah
malah bilang, sabar ya bu. Sabar ya wahai keluargaku. Pergi haji mah
urusan Allah. Ga usah dicari-cari. Kalo dah waktunya, ya waktunya.

Dan alhamdulillah, pergi ke luar negeri pun sekarang ini saya yang
susah payah menolak undangannya. Masya Allah. And I speak not only in
bahasa; but both in arabic and english as an international language.

Saya bersyukur dengan keadaan ini, tapi sekaligus ada yang membuat saya
menjadi tertegun. Betapa "Jakarta" dah ga dianggap. Di hampir semua
bandara internasional; baik asia, maupun non asia, nama "Jakarta" ga
ada lagi di board penunjuk waktu.. Yang ada: London, Paris, New York,
dan kota-kota besar dunia. Bahkan ada nama Kuala Lumpur! Sedang
Jakarta, yang mewakili satu nama besar: Indonesia, ga ada lagi di board
tersebut.

Apa yang sedang terjadi dengan bangsa kita, kita semua tahu...

Setiap kali keluar kota dan keluar negeri, saya termasuk yang langka
punya. Ga bawa duit, dan ga bawa kartu kredit. Bukan apa-apa, sebab
biasanya saya dijemput langsung di pintu pesawat. Atau kalaupun tidak,
dijemput di setelah lolos imigrasi. Oleh para penjemput di kota-kota
atau negeri-negeri orang, saya sudah ditanggung beres.. Jadi, uang yang
saya bawa, benar-benar ga laku, he he he. Pengertian ga laku ini, hanya
untuk menunjukkan ga terpakai. Sebab kalaupun saya bawa dollar,
mereka-mereka menahan saya untuk bayar. Mereka saja yang berkhidmat.

Hingga satu waktu, saya jalan ke Singapore untuk keperluan pribadi..
Berangkatlah saya sendiri, sebagaimana biasanya. Ya, saya senang
berangkat sendirian. Sebab simple. Enteng. Ga banyak-banyak orang.
Paling banter, berdua dg istri atau anak-anak. tapi ini pun jarang. Dan
sampe di Singapore juga sendiri.. Ga ada yang jemput. Sebab saya pun
tidak mmberitahu kawan-kawan di sana. Sampe di Changi saya baru ingat,
saya hanya bawa 2jt. Dan itu rupiah. Belum saya tukerin. Menjelang
keluar bandara, saya laper, pengen cari cemilan dan kopi. Bergegaslah
saya ke salah satu sudut, untuk beli yang saya maksud. Saya pikir, bisa
lah skalian nuker seperti kalo belanja di Bangkok, Thailand. Eh,
ternyata saya salah. "Indonesia?" , tanya pelayan toko. Ya, saya bilang.
Indonesia. "Oh, sorry," katanya sambil muka nya ga enak gitu. "Your
money didn't accepted here". Masya Allah! Lagi-lagi kayak ditampar saya
ini. Uang rupiah ga diterima di sini.

Selanjutnya dia menunjukkan money changer di bandara. Saya mengurungkan
niat saya untuk nyemil dan ngopi. tapi saya pura-pura mengiyakan akan
menuju money changer. Dan subhaanallaah, kekagetan saya belom selesai.
Si pelayan ini masih bersorry-sorry ria. Katanya, jangan kaget, rupiah rendah
sekali katanya nilai tukarnya. Waaah, entahlah apa yang ada di benak saya....

Bahkan pengemispun tidak menerima rupiahku! Ya, itulah yang saya alami.
satir. Mirip komedi satir. Lucu, tapi getir.

Antara 2004-2005, dalam 1 lawatan ke Eropa. Saya dkk turun di
Frankfurt, German. Dari sini perjalanan ke beberapa negara di Eropa,
dimulai. Sekian waktu , sampe lah kami di Belanda. Ada salah satu kawan
di rombongan yang mmberi tahu betapa Indonesia sudah tidak ada.
"Hatta," katanya, "Di tempat pelacuran, ada pengumuman agar para
pelacur tidak menerima mata-mata uang yang ditaroh di list. Salah
satunya rupiah!". Kawan saya ini berkata geli. Saya pun ikut tertawa.
Tapi ngebatin. Ada segitunya ya.

Dari Belanda, kami pergi ke Belgia dan kemudian ke Perancis. Naik
kereta super cepatnya Eropa. Enak, nyaman, dan menyenangkan.
Turun di stasiun Perancis, kami dicegat oleh 1 pengemis perempuan.
Cantik menurut ukuran saya mah. Sampe saya geleng2 kepala, kenapa dia
mengemis. Kalo boleh saya bawa, mending saya bawa ke Jakarta, he he he.
Trnyata dia mengaku Bosnia punya. Maksudnya, orang Bosnia. Sdg hamil
pula. Entah bohong apa tidak. Salah satu kwn, memberinya rupiah. 200rb.
Di Indonesia, 200rb ini bukan cuma besar. Tapi sangat besar. Niscaya
kalo pengemis di tanah air diberi 200rb, akan sujud2 rasanya kpd yang
mmberi. Dia pun saat itu trsenyum. Barangkali dia merasa kwn saya itu
sdh mmberinya uang besar. Kwn saya pun senang melihat pengemis itu
senang..

Lusanya, kami langsung balik ke Amsterdam, Belanda. Naik kereta
lagi. Sampenya di stasiun, ketemu lagi dengan pengemis perempuan muda
tersebut. Kali ini wajahnya bersungut-sungut. Dari kejauhan dia melihat
kami. Begitu melihat kami, dia langsung berlari menuju kami dengan
wajah yang tiba-tiba kesal begitu. Terus, langsung menemui kawan saya
yang tempo hari ngasih. Dengan kasarnya, uang 200rb itu dipulangin.
Katanya, sambil marah, dia mengatakan, ini toilet paper! Gila, saya
bilang, uang kita disebutnya kertas toilet. Dia bercerita sambil
membuat kawan-kawan terbahak-bahak. Katanya, dia berusaha menukar uang
kita itu, tapi ga ada yang nerima. Barangkali semua kawan sama dengan
saya, di selipan tawa kami, ada satu kegetiran, segitunyakah rupiah
saya? Rupiah kita? Sampe pengemis saja ga menerimanya? Masya Allah.
Bangkitlah wahai negeriku. Bangkitlah wahai negeriku.

Hampir di setiap events internasional, perhatian kita (untuk saya
tidak mengatakan perhatian pemerintah), sangat-sangat kurang. Terbilang
lumayan sering anak-anak Indonesia berprestasi memenangkan
kompetisi-kompetisi internasional semacam olimpiade fisika, matematika,
sains, bahasa dan lain-lain. Tapi sepi benar dari pemberitaan.
Berita-berita buat bangsa kita tidak lagi ada, atau sedikit, yang
mmbuat kita sendiri bangga. Barangkali seperti tulisan saya ini, he he
he. Maaf ya. Tapi emang kenyataannya begini.

Saya pernah membaca ada seorang yang sangat pintar di negeri orang.
Tapi katanya dia ga merasa dihargai di negeri sendiri. Akhirnya hasil
penemuannya dipatenkan di negeri di mana dia belajar dan mengabdi, dan
kemudian dia mendapatkan permanen residence dari negeri tsb.

Sekelompok kawan TKI di salah satu negara tujuan TKW, mengeluhkan juga
tentang "perwakilan" mereka di negeri itu. Katanya, kita punya gedung
sekian belas lantai. Tapi nothing buat kita! Begitu katanya. Wuah,
miris juga saya dengar. Lihat terusan kalimatnya. "Sedangkan Philipina,
hanya 2 lantai, itu pun ngontrak, tapi bangsanya bangga dengan kerja
perwakilannya. Puas". Sedangkan kita, benar-benar payah. Kalau kita
lapor (maksudnya itu TKW2), kita ga diperlakukan dg ramah. Malah jadi
kayak jongos benar-benar. . Mereka kemudian cerita, bangsa aslinya
sendiri, ketika mereka datang mau mengadu, mereka duluan yang menyapa:
What can I do for you...?". Ramah bener.

Yah, itu barangkali sekelumit hal-hal yang tidak menyenangkan. Tapi
saya percaya, negeri kita masih diperhitungkan di dunia ini. Benarkah?

Siapa yang tidak bangga dengan Garuda? Maskapai Penerbangan Nasional
yang menginternasional. Bangga.. Sejarah Garuda demikian mengagumkan.
Hingga ketika diri ini yang bangga dengannya menerima satu kenyataan.
Kata seorang petinggi wilayah ketika saya menginap di kediamannya di
Amstelvein, Belanda, Garuda tidak lama lagi tutup. Bukannya ga boleh
terbang loh.. Tapi tutup. Sebab tidak laku atau gimana lah. Ga ngerti.
Beberapa tahun setelahnya, saya dikagetkan lagi dengan berita bahwa
Garuda tidak diperkenankan melewati Eropa karena satu dua alasan.
Bahkan di wilayah saudi pun bermasalah. Entahlah apa yang sedang
terjadi. Saat tulisan ini dimuat, Garuda sudah berhasil melewati
masa-masa sulit itu. Bahkan Garuda sudah menangguk keuntungan dari yang
tadinya merugi. Dan Garuda pun menerima penghargaan internasional.
Namun, ketika ada berita bahwa Garuda tutup dan Garuda dilarang
terbang, rasanya teriris-iris hati ini. Tarbayang Garudaku yang gagah,
yang jadi perlambang negeri ini, harus "menerima perlakuan" tidak
hormat seperti itu. Terbanglah lagi Garudaku. Mengangsalah ke seluruh
penjuru dunia. Supaya dunia tahu betapa gagahnya lambang negaraku.

Saya tersenyum kecut dengan dua berita yang turun dengan rentang
waktu yang tidak berapa lama. Yaitu berita tentang petinggi kita yang
kamarnya digeledah ketika berada di negeri orang. Dan yang satunya
lagi, ketika diperiksa berlama-lama di imigrasi satu airport
internasional. Lepas dari kenapa dan bagaimananya kisah di balik dua
berita itu, bagi saya ya sekali2 memang petinggi kita kudu merasakan.
Merasakan apa? Merasakan jadi warganya. Tidak jarang kami-kami juga
diperlakukan demikian. Seenaknya saja mereka masuk kamar hotel kami dan
memeriksa kami dengan satu alasan sederhana saja: Kami harus memeriksa
Anda! Begitu saja. Ga ada penjelasan.

Di Australia, berapa kali saya harus melewati pemeriksaan yang -- hingga --
ikat pinggang saya pun hrs ditaroh di pemeriksaan. Tas-tas saya pun hrs
dibuka dan cenderung bahasa seharusnya: diobrak-abrik. Lagi-lagi alasannya
sederhana: Kami harus memeriksa Anda. Satu yang menyakitkan, mereka
melihat wajah saya: Asia. Asia harus diperiksa. Lalu ditanyalah saya,
darimana? Saya jawab dengan gagahnya: Indonesia. Eh tanpa dinyana,
petugas membuka lembaran petunjuk, dia urut dengan jarinya, ketemu! Ya,
katanya, Indonesia harus diperiksa. Ooo, rupanya dilembar cek-list itu,
nama Indonesia masuk daftar negara yang orang-orangnya harus diperiksa.
Subhaanallaah. Geram juga saya. Nanti, kata saya, kalau saya udah jadi
Presiden, saya gituan dah dunia, he he he. Untunglah saya jauh jadi
presiden. Kalo iya, udah perang terus kali bawaannya, ha ha ha.. Perang
urat syaraf. Betapa tidak, Bali saya periksa ketat seperti mereka
memeriksa kita. Kamar-kamar mereka, tak geledah di sembarang waktu. Dan
saya instruksikan supaya mata uang yang dipakai, hanya rupiah. Tak
bikin peraturan, dolar dan lain-lainnya, kecuali real barangkali karena
negeri dengan mekkah dan madinah, he he he, ga boleh masuk ke
Indonesia.. Mereka sudah harus nuker di negaranya masing-masing. Bakal
dimusuhin sih, tapi biar saja. Wong presidennya kan saya, ha ha ha.
Negara juga negara saya. Kalo ga suka, ya jangan masuk negara saya.
Cuma, saya akan bikin dunia juga jadi perlu sama saya, jadi perlu sama
Indonesia. Sehingga pasti mereka akan susah payah nurut, seperti
hebatnya kita diam dan nurut diperlakukan oleh mereka!
1:16 AM | 2 komentar

Sensasi Air di Mifan

Written By imran rusli on Thursday, January 1, 2009 | 5:06 AM

Ke mana Anda merayakan tahun baru? Minang Fantasy (Mifan) di Kota Padangpanjang, mungkin bisa jadi pilihan. Dijamin puas, terutama kalau Anda tergolong ‘gila air’.

Tanpa banyak gembar-gembor, Padangpanjang sudah mengukuhkan diri sebagai daerah tujuan wisata utama di Sumbar, setiap hari libur sekitar 10.000 pengunjung dari 19 kota/kabupaten di Sumbar meluruk ke kota ini, begitu juga pengunjung dari provinsi tetangga seperti Riau, Kepri, Bengkulu, Sumsel, Jambi dan Sumut. Tak lama lagi diprediksi Padangpanjang akan menggeser dominasi Bukiktinggi sebagai kota tujuan wisata utama di Sumbar, yang saat ini masih menang karena memiliki fasilitas hotel yang lengkap (55 unit), sehingga wisatawan yang ingin ke Padangpanjang pun masih harus menginap di Bukiktinggi.

Semua itu karena Mifan, Minang Fantasy, water park (taman air) seluas 10 hektar yang dibuka di lokasi Minangkabau Village lama, tepatnya di Kelurahan Silaiang Bawah, Kecamatan Padangpanjang Barat, Kota Padangpanjang. Sejak dibuka Juli 2008, ratusan ribu pengunjung sudah menikmati sensasi air yang disajikan oleh 9 wahana kolam air (kolam luncur spiral, kolam luncur lurus, kolam anak, ember tumpah, kolam ombak, kolam arus, kolam renang Niagara, ban elektrik, dan sekitar 10 wahana lainnya seperti bom bom car, karosel, kincir putar, teko putar, jet coaster mini, kereta wisata, bumper boat, camping ground, outbound dan banyak lagi yang lain.

Dari Padang jaraknya hanya 68 kilometer dan dari Bukiktinggi lebih dekat lagi hanya 13 kilometer. Tarif masuknya juga murah, hanya Rp35 ribu. Kalau ingin menikmati semua wahana tanpa harus membeli tiket lagi di setiap wahana, yang harga rata-ratanya Rp10 ribu, tersedia tiket terusan yang harganya Rp75 ribu per orang. Harga-harga ini tidak berlaku untuk anak-anak di bawah 2 tahun, yang tentu saja memang belum bisa menikmati sensasi Mifan. Ya iyalah, bisa apa anak umur 2 tahun, masuk kolam juga langsung lewat.

Bandingkan dengan biaya yang harus Anda keluarkan untuk menikmati water park sekelas Mifan yang rata-rata baru ada di Jawa dan Bali. Ke Gelanggang Renang Dufan (Dunia Fantasi), Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta saja misalnya, Anda harus keluar uang paling sedikit Rp5 juta per orang untuk transportasi pp, akomodasi dan makan minum saja, belum biaya emosi dan biaya perangai (tau kan maksudnya?).

Mifan sebenarnya dibuka setiap hari, mulai jam 08.00 WIB, sampai pukul 20.00 WIB, tapi pengunjung lebih banyak datang di hari libur. Minggu 21 Desember lalu, pengunjung sudah membludak pada pukul 09.00 WIB, mereka berdatangan dari Padang, Pariaman, Maninjau, Pasaman, Pariaman, Bukiktinggi, Payokumbuah, Solok, Sawahlunto, Sawahlunto Sijunjuang, Dharmasraya, Sitiung, Solok Selatan, Painan, Bangkinang, Pekanbaru, Bengkulu, Palembang dan lain-lain.

Banyak yang bawa tikar dan rantang makanan sendiri, karena soal yang satu ini memang masih minim di Mifan. Ada satu rumah makan, tapi tampaknya tak begitu diminati pengunjung, mungkin karena sama saja dengan rumah makan di luar Mifan dan susananya kaku sekali dan mungkin mahal—baca tak wajar harganya--juga. Jadi tak ada daya tariknya makan di situ.

Main Air Sepuasnya
Meski banyak sekali wahana di Mifan, wahana airnya lah yang lebih digilai pengunjung. Warman (41), pengunjung dari Bangkinang, Riau, mengatakan wahana air di Mifan tidak kalah asyiknya dibanding Dufan, atau water boom di Bali. Hal ini dibenarkan Drs Zulkarnain Harun MSi, Kepala Dinas Pariwisata Padangpanjang yang waktu itu—Minggu 21 Desember--sedang berada di Palopo, Sulawesi Selatan.

“Mifan ini water park nomor.2 terbaik di Indonesia, dan nomor satu di Sumatra,” katanya. Im Depry, mitra Mifan dari Bank Bukopin membenarkan dan menambahkan, kualitas air di Mifan selalu dijaga dengan baik. “Biaya perawatan wahana air di Mifan sangat besar, berkisar Rp2 juta – Rp5 juta per hari,” katanya. Karena itu wajar kalau dikatakan bahwa selain segar, air di Mifan juga sehat, tak kan menimbulkan iritasi atau ruam di kulit, meski digunakan oleh sampai 10 ribu pengunjung setiap hari, seperti jelang lebaran kemarin.

Shanti (18), pengunjung dari Pekanbaru lain lagi komentarnya. “Kolam ombak sungguh asyik, kita seperti merasa di laut betulan, meski tentunya lebih aman, apalagi ada pelampung besar dan safeguard, pokoknya kami benar-benar enjoy di Mifan ini,” katanya sambil merangkul Andre (10), adik laki-lakinya. Ada dua jenis pelampung, single dan double. Single Rp10.000, double Rp15.000. Jumlahnya banyak sekali, semua pasti kebagian.

Setiap wahana di Mifan memang dikawal safe guard, masing-masing satu untuk setiap wahana. Mereka selalu waspada dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Yang lebih profesional, di Mifan juga siaga sebuah ambulans, dengan dua tenaga media dan dua supir. Menurut Eky Harjoni Amd. Kep, paramedis yang bertugas hari itu, ambulans tersebut ditempatkan di situ atas kerjasma Mifan dan RSUD Padangpanjang. Tersedia fasilitas medis pendukung seperti obat-obatan dan perangkat P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).

“Kasus-kasus yang kami tangani selama ini antara lain luka ringan, lecet, trauma, gagal nafas, dan semacam itu, kalau yang berat-berat seperti serangan jantung langsung dibawa ke RSUD untuk mendapat perawatan di IGD (Instalasi Gawat Darurat),” kata Eky. Dia menambahkan rata-rata dalam sehari mereka menelayani 10 pasien. “Tapi belum pernah ada yang parah, rata-rata cedera ringan dan semoga tetap begitu.” Ya jangan sampai ada yang meninggal di Mifan lah, soalnya ngggak pas banget untuk dijadikan lokasi meninggal.

Hotel
Penginapan adalah masalah besar bagi Padangpanjang, terutama untuk menampung pengunjung Mifan yang makin lama makin banyak, karena peningkatan jumlah wisatawan ke Padangpanjang, menurut Zulkarnain Harun, sudah sangat signifikan. Meski belum bisa memberi angka, Zul memastikan peningkatan jumlah pengunjung sangat drastis, tapi Padangpanjang belum untung, karena uang untuk hotel masih dikeruk Bukiktinggi.

“Kita sangat rugi, karena belum punya hotel yang representatif, pengunjung masih menginap di Bukiktinggi,” ungkap Zul.

Padangpanjang memang belum punya hotel satupun, penginapan dan wisma ada sekitar 6 unit, tapi kondisinya pas-pasan, belum cocok untuk wisatawan, karena lebih ditujukan untuk pedagang keliling. “Kamar mandinya di luar, mandinya pakai ember dan gayung, kalaupun ada yang di dalam, kamar mandi dan toiletnya sempit, sehingga tidak nyaman digunakan,” ujar Isril, warga Silaiang Bawah. Tarifnya rata-rata murah, hanya Rp50 ribu – Rp60 ribu, tapi ya itu tadi, minus kenyamanan. Banyak nyamuk sih, belum bau dindingnya yang apak.

Dalam kawasan Mifan sendiri ada 5 rumah gadang yang disewakan. Semalam tarifnya Rp2 juta, tapi rumah gadang ini ibarat penthouse di hotel-hotel berbintang, karena memiliki dapur sendiri, ruang tamu, beranda, ruang makan, ruang tengah,kamar mandi besar dan dua kamar tidur. Dua keluarga dengan 20 personil bisa menginap di sini, atau sekitar Rp100 ribu per orang.

Tapi pengunjung masih kurang berminat karena fasilitasnya minim. Tak ada TV berlangganan, malam sangat sepi tak ada atraksi apapun (jadi betul-betul hanya untuk tidur, kecuali bikin acara sendiri seperti bakar-bakar ayam dan ikan (tapi nggak smapaibakar-bakar Mifan lah), nyanyi-nyanyi karakoean dan lain-lain), kamar mandi dan toilet terbatas, meski toilet di Mifan rata-rata bersih dan cukup banyak, tapi jauh dari rumah gadang tempat menginap.

“Klien kami dari Chevron atau RAPP sering mengeluhkan minimnya fasilitas hotel ini, kalau ada investor yang mau membuka hotel atau penginapan yang lebih sesuai dengan kebutuhan wisatawan, pasti kami dukung,” kata Zulkarnain. Benar Elfa?

Yang datang ke Mifan memang bukan keluarga saja, tapi juga rombongan dari sekolah, perguruan tinggi, perusahaan, atau organisasi massa. Untuk kelompok ini ada lagi diskon khusus, sekitar 10 – 20 persen. Minggu 21 Desember kemarin rombongan dari ACC (perusahaan pembiayaan otomotif) dan MAN Bangkinang terlihat dalam kerumunan massa. Mereka membuat acara sendiri.

Makan Enak
Kalau Anda dan keluarga tak membawa makanan dari rumah, tak masalah. Setelah capek menikmati sensasi air di obyek wisata seharaga Rp115 milyar ini, Anda bisa ke RM Pak Datuk atau Sate Mak Syukur. Tak sampai 5 menit dari lokasi. Nyam nyam, dengan sekitar Rp20.000 per orang Anda sekeluarga sudah bisa makan enak sekenyangnya. Makanya, tunggu apa lagi ayooo buruan ke Mifan!
5:06 AM | 0 komentar

Sharing

Info

Sosok

Popular Posts