tag:blogger.com,1999:blog-87086726285543085192024-02-20T07:21:00.714-08:00Suara dari Lorongkadang-kadang ada rasa yang ingin diungkapkan, tapi tak bisa karena berbagai keterbatasan...imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-48306204285442140682009-02-25T02:20:00.000-08:002011-05-31T12:24:50.633-07:00Sekolah Hutan Sangong Tak Selalu Dibuka<span style="font-weight:bold;"></span><br /><br /><span style="font-style:italic;">Sekolah hutan adalah program Divisi Pendidikan YCM (Yayasan Citra Mandiri) yang banyak diapresiasi masyarakat adat Mentawai, karena telah membuka kesempatan bagi masyarakat Mentawai yang terpencil di pedalaman untuk tetap mendapatkan pendidikan. Tapi dibutuhkan tenaga pengajar yang berdedikasi tinggi untuk menjaga kesinambungannya, karena tantangannya memang sangat berat.</span><br /><br />Oleh Imran Rusli<br /><br />Letaknya sungguh jauh di pedalaman Sila’oinan, tepatnya di Sangong, Dusun Salappa’, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan. Dari pusat dusun Salappa’, Sekolah Hutan Sangong bisa dicapai dalam setengah jam dengan pompong. “Itu kalau air pasang, kalau air surut waktu tempuh baru bisa mencapai 1,5 jam, bahkan dua jam, karena banyaknya rintangan berupa tunggul kayu, batang pohon yang hanyut, pohon rebah, gosong pasir dan beragam sampah lainnya. Sungai yang dangkal semacam ini sangat tidak nyaman ditempuh.<br /><br />“Kalau dengan sampan tanpa mesin bisa setengah hari,” kata Timatheus Salaisek, kooperator pompong Puailiggoubat dalam perjalanan ke Sangong Rabu (11/2).<br /><a name='more'></a><br />Sesuai namanya, Sekolah Hutan Sangong tak seperti sekolah biasa. Tak ada kelas. “Murid hanya dipisahkan berdasarkan kemampuan pengenalan huruf dan angka, selebihnya disamakan saja,” kata Tarida Hernawati, Koordinator Divisi Pendidikan YCM saat ditemui di Sangong Rabu siang. <br /><br />Muridnya berjumlah 19 orang. “Sebelumnya 23, tapi ada 4 yang tak datang-datang lagi,” ujar Suwendi Salaisek (23), guru sukarela tamatan SMA Negeri Muara Siberut yang digaji Rp600 ribu per bulan.<br /><br />Mereka belajar di lantai kandang babi Sangong atas izin kepala suku Aman Sabaogok, tanpa fasilitas apapun. Tak ada kursi, tak ada meja, tak ada seragam. Sistemnya modern seperti sekolah-sekolah di Amerika: tak perlu seragam, tak harus duduk berpangku tangan di meja, bahkan tak perlu alas kaki, boleh bertanya dan bicara kapan saja, dan boleh belepotan lumpur ala gulat lumpur yang mahal itu, bedanya di Sangong, aroma ruang belajar didominasi bau kandang babi dan sagu makanannya yang rada masam.<br /><br />Para siswa, terdiri dari 12 pria dan 7 wanita, duduk bersila di lantai kandang babi. Menyimak dengan serius pelajaran yang diberikan guru. Sesekali mereka bersujud sampai rata dengan lantai agar bisa menuliskan perkataan guru yang mereka anggap penting. Sesekali melap ingus yang keluar tanpa permisi. Kelompok ‘ekslusif’, yakni yang belum mengenal huruf dan angka dengan baik, dipersilakan menempati sudut tersendiri di bagian lain beranda untuk memelototi angka dan huruf yang dipajang di depan mereka. <br /><br />Sarana belajar yang tersedia hanyalah meja untuk guru, bangku panjang uma sebagai kursinya, sebuah papan tulis di dinding beranda yang dikelilingi oleh poster-poster peraga pelajaran seperti angka, alfabet, simbol-simbol matematika tambah, kurang, bagi, kali, yang bercampur dengan poster-poster caleg yang ikut pemilu 208 dan stiker beberapa partai.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Minat Tinggi</span><br />Minat belajar anak-anak, menurut Tarida cukup tinggi. “Olelakeu, misalnya, siswi ini harus berjalan dua jam setiap hari dari rumahnya ke sekolah sambil menuntun ibunya yang buta,” ungkap Tarida. <br /><br />Memang, tak semuanya bersemangat. “Kalau tiba-tiba diajak orang tuanya ke Muara Siberut atau ada punen (lia) atau pesta, anak-anak bisa libur sesukanya, tanpa merasa perlu memberi tahu gurunya,” kata Tarida lagi. Meski demikian buku absen tetap disediakan dan frekuensi kehadiran siswa dicatat.<br /><br />Karena tingginya minat dan ada dukungan positif dari Paroki Muara Siberut, YCM bermaksud membuka lagi sekolah serupa di Tinambu, lokasi yang lebih jauh ke hulu. “Di sana ada sekitar 40 KK yang membutuhkan pendidikan,” kata Tarida. <br /><br />Mereka sama dengan warga di Sangong, yang sebelumnya ikut program PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) Depsos ke Saliguma. Tapi karena ladang dan ternak mereka berada di Tinambu, yang jaraknya setengah hari jalan kaki dari Saliguma, orang-orang ini kembali ke Tinambu dan meninggalkan segala fasilitas yang diberikan Depsos--antara lain rumah dan lahan kebun masing-masing seluas 2 hektar—begitu saja. <br /><br />“Rumah saya di Saliguma sudah hancur, terpaksa saya tinggalkan karena babi, ayam dan sagu saya di sini, anak-anak juga tak mungkin tinggal dan bersekolah di situ tanpa orang tua, kalau harus berangkat dari sini jauhnya 5 jam jalan kaki, tak mungkinlah,” kata Aman Sabaogok.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tak Selalu Jalan</span><br />Sebaliknya ada keluhan terhadap kinerja guru Suendi. “Kalau tak ada Bu Ida, Suendi sering tak datang mengajar, dan berdiam diri saja di Salappa’. Masyarakat sering membincangkan masalah ini karena sangat erat kaitannya dengan masa depan sekolah dan anak-anak tersebut, saya sebagai orang yang sesuku dengan Suwendi sering dicela suku-suku lainnya, meskipun menurut saya itu tanggungjawab pribadi Suendi,” kata Joel Salaisek, Ketua Dewan adat Dusun Salappa’.<br /><br />Kalau bicara hambatan, jelas banyak sekali hambatannya. Di Sangong sama sekali tak ada fasilitas hiburan. “Dulu ada genset tapi sekarang sudah rusak,” kata Tarida. Jadi tak ada televisi, radio, bahkan surat kabarpun langka. “Yang bisa dibaca di sini hanya bungkus rokok dan bungkus cabe dari Muara,” kata operator pompong Puailiggoubat, Legen Satoinong, bercanda. <br /><br />Jadi kalau guru harus bermalam di Sangong mungkin agak berat. Hiburan yang tersedia hanya bermain sepak bola dengan anak-anak di halaman samping kandang babi, menghirup aroma kandang babi, lumpur bercampur kotoran dan makanan babi serta ayam, gigitan nyamuk dan agas (singitngit), atau paling mewah mandi berenang di ‘kolam arus’ yang jauh lebih panjang daripada kolam arus Minang Fantasy Padangpanjang atau Dunia Fantasy Taman Impian Jaya Ancol Jakarta.<br /><br />Tapi warga di Salappa’ mengatakan hal itu sudah menjadi risiko Suwendi dan tentunya sudah dipertimbangkan saat menerima tawaran pekerjaan itu. “Kalau harus menyewa pompong setiap hari ke Sangong tentu berat, tapi dia kan bisa pulang sekali seminggu dengan sampan sendiri, kalau tidak jangan jadi gurulah, banyak yang bersedia menggantikan posisinya di Sangong itu, soalnya kan kasihan anak-anak kalau gurunya hanya mengajar ketika orang YCM datang,” kata warga Salappa’ lainnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sekolah Kedua</span><br />Menurut Tarida, sekolah hutan di Sangong merupakan sekolah hutan yang kedua di Siberut Selatan. “Yang pertama di Beikeluk—masih bagian Salappa’ meski warganya dari Madobag--kita buka tahun 2006. Setahun berjalan kita serahkan ke Paroki Muara Siberut, yang lebih punya kompetisi di bidang pendidikan,” kata Tarida. <br /><br />Untuk kelancaran proses belajar mengajar YCM masih memfasilitasi kelengkapan sekolah, seperti alat-alat tulis, buku tulis, buku-buku paket, kapur dan lain-lain.<br /><br />Sekolah Hutan Sangong, kata Tarida mulai disosialisasikan tahun 2007. “Agustus 2008 baru dimulai, sekarang sudah ada pula perhatian dari Paroki Muara Siberut, mungkin tahun ini sudah bisa pula kita lepas, terutama kalau jumlah muridnya memadai,” imbuh Tarida yang sarjana antropologi tamatan USU Medan.<br /><br />Tahun 2009, YCM berencana membuka sekolah hutan ketiga, ya di Tinambu tadi. “Kurang lebih 3 jam dari Sangong,” jelas Tarida.<br /><br />Bagaimana dengan kelanjutan pendidikan anak-anak tersebut. Menurut Tarida, kalau mengikuti contoh di Beikeluk takkan ada masalah, karena paroki akan memberikan semacam sertifikat pengakuan, sehingga kalau memang mau anak-anak tersebut bisa melanjutkan sekolah di sekolah-sekolah milik Paroki di Muara Siberut di kelas yang disesuaikan dengan kemampuan kognitif mereka.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-10580464048104187742009-02-25T02:05:00.000-08:002011-06-01T07:17:24.592-07:00Tantangan Perekonomian Salappa'<span style="font-weight:bold;"></span><span class="Apple-style-span" >Dusun Salappa’, seperti juga daerah-daerah lain di pedalaman Siberut Selatan kaya dengan aneka tanaman pertanian seperti kelapa, pisang, keladi, durian, duku, coklat, nilam, rotan, manau, rambutan, kluwih, sukun, dan sebagainya. Saat ini harga-harga berbagai komoditi itu sedang buruk. Coklat Rp 24 ribu per kilogram. Nilam Rp300 rb, manau ukuran 18 Rp500, 26 Rp1.500, 31 Rp3.500, 36 Rp7.000, rotan kecil (sasa) tidak laku, tak ada permintaan dari pedagang pengumpul. Kelapa, keladi, pisang, rambutan, dan lain-lain tidak dijual, untuk dikonsumsi sendiri.<br /><br />“Padahal tanah di seberang dusun masih terbuka lebar, masih kosong, jadi kalau kita punya kelompok tani bisa dibikin macam-macam. Kita kan sudah cukup banyak belajar di Perpustakaan Palingen tentang penanaman dan pemeliharaan bermacam tanaman yang memiliki nilai ekonomi,” ujar Tulutogok Tasiripoula, Kepala Desa Muntei terpilih yang kebetulan suami Mariani.<br /><br />Meski sedang kerepotan, karena warga Salappa’ memiliki banyak anggota keluarga yang melanjutkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Padang, Pariaman, Lubuak Aluang, Bukiktinggi, Payokumbuah, Solok dan Pekanbaru, sehingga membutuhkan banyak biaya di luar biaya kebutuhan sehari-hari, mereka benar-benar harus mengupayakan penghasilan tambahan yang tak memerlukan modal besar. Dan tampaknya Mariani sudah melihatnya dalam beraneka tanaman subsisten di sekitar rumah mereka.<br /><br />Pisang dan keladi, misalnya, adalah dua jenis tanaman yang berpotensi ekonomi tinggi, kalau tahu cara mengolahnya. Pengalaman AMA-PM di Lampung tentang pembuatan keripik pisang tentunya bisa dibagi ke Salappa’. Begitu pula cara pembuatan minyak goreng dari kelapa yang sudah menjadi pengetahuan umum orang Pariaman sejak dulu, pasti dengan mdah diajarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Keripik dari keladi kan tinggal meniru keripik pisang saja.<br /><br />Rasanya kita bisa ikut melihat mimpi Mariani, tentang kesibukan wanita kampungnya mengolah pisang dan keladi menjadi camilan bergizi, serta pompong yang bolak-balik Salappa’ – Muara Siberut membawa bungkusan-bungkusan besar keripik pisnag dan keladi untuk dijual di pasar mingguan, atau kalau rutin pasti akan ada saja pedagang pengumpul yang mencium bau keuntungan yang dikandung makanan tersebut bila dibawa ke Padang.<br /><br />Hmm sungguh sebuah mimpi yang pantas diwujudkan. ran.</span><div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-87799705923280529692009-02-25T02:02:00.000-08:002011-06-01T07:20:26.368-07:00Wanita Salappa’, Bergerak<span style="font-weight:bold;"></span><span style="font-style:italic;">Karena keterpinggiran yang begitu lama wanita Salappa’ hampir-hampir tidak terdeteksi di permukaan. Semua dinamika mereka tenggelam di balik keterisolasian. Terpilihnya seorang warga Salappa’ sebagai Kepala Desa Muntei bagaimanapun telah memberikan sepercik harapan yang membuat wanita Salappa’ mulai menggeliat dan menatap masa depan dengan mata yang terbuka</span>.<br /><br />Oleh Imran Rusli<br /><br />Cahaya berbinar di mata Mariani Satoinong (25). Istri Kepala Desa Muntei terpilih Tulutogok Tasiripoula ini merasakan semacam dorongan untuk berbuat, dorongan untuk mengkolidasikan semua potensi wanita Salappa’ guna mencapai kemajuan.<br /><br />Ketika diajak berbincang tentang apa yang mungkin bisa diperbuat wanita Salappa’ ke depan, wanita yang sebenarnya masih berusia 20-an ini terlihat bersemangat. “Banyak sekali Pak, kami bisa belajar merajut, menyulam, membuat aneka makanan dari pisang atau keladi, segala sesuatu yang bisa membantu meningkatkan ekonomi keluarga,” katanya pada Puailiggoubat di Salappa’, Rabu (12/2).<br /><br />Sebagai perempuan Mentawai, Mariani tampaknya sadar beban kaumnya dalam struktur kebudayaan Mentawai sangat berat. Sebagai kepunyaan uma suami kewajibannya jelas: mencari ikan atau lokan ke sungai, mengurus ladang keladi, mengurus ladang nilam, menyiapkan segala keperluan rumah tangga,mengurus suami dan anak-anak, juga mertua dan ipar-ipar, itu berarti mencuci, memasak, memandikan anak, memberi makan ayam dan babi, semua kegiatan yang bermula sejak subuh buta sampai tengah malam. Tak henti-hentinya.<br /><br />Tapi semua itu tak memberi pembenaran untuk mengeluh. Tradisi biarlah begitu. Bagi Mariani mensiasati posisi kaumnya dalam budaya jauh lebih penting. “Itu sudah jelas, tanggungjawab kita wanita Mentawai, tapi bukan berarti tak bisa melakukan yang lain,” katanya enteng.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Posyandu</span><br />Menurut Mariani di Salappa’ ada kegiatan Posyandu, bahkan kegiatannya teratur setiap bulan. “Pada minggu-minggu pertama atau kedua setiap bulan,” katanya. Bagaimana kalau ada yang melahirkan? “Tak masalah, di sini ada 4 dukun bayi, semuanya terlatih, juga ada 5 kader Posyandu yang siap dilatih untuk membantu-bantu kalau nanti Pustu sudah bisa beroperasi dengan tenaga medis dari kabupaten,” katanya.<br /><br />Mariani menegaskan memang ada sedikit masalah dengan kader-kader kesehatan dusun yang berusia tua, soalnya mereka selalu kesulitan dalam mengikuti pelatihan-pelatihan kesehatan. “Pelatihan umumnya kan berbahasa Indonesia, mereka kesulitan, maklum orang tua, akhirnya banyak yang mengundurkan diri, tapi yang baru-baru dan muda-muda masih banyak, asal rajin mengikuti pelatihan saya rasa takkan ada masalah,” katanya optimis.<br /><br />Sekarang, menurut Mariani, ada 35 balita dan ibu hamil yang rutin ke Posyandu. “Mereka sudah sadar bahwa kesehatan kandungan dan balita itu sangat penting dan harus selalu dipantau,” ujar perempuan yang tak sempat menamatkan pendidikan di SMP ini, tapi terkenal cerdas dan pernah menjadi ketua OSIS di sekolahnya SMPN 1 Muara Siberut.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Menyulam</span><br />Merajut, menyulam, menenun semuanya adalah pekerjaan asing untuk wanita Mentawai, termasuk wanita Mentawai di Salappa’. Keahlian mereka adalah menganyam dan menjahit. Rotan, kulit rotan, bambu, pelepah sagu bisa mereka anyam dan jahit menjadi jaragjag (tikar rotan), opa (keranjang rotan), bakhulu (tas kerja kerei), balokbok (tempayan sagu), tapri (wadah tempat menyimpan tepung sagu). Tapi kalau harus merajut renda, menenun kain atau menyulam mereka menyerah.<br /><br />“Bukan tak bisa tapi tak biasa, jadi kalau rajin belajar kami pasti bisa,” kata Maryani. Dan dia melihat kesempatan dan pentingnya belajar ketrampilan-ketrampilan tersebut. “Mentawai punya motif-motif yang berbeda dan unik, kalau ada yang mengajari kami mengubahnya menjadi cendera mata cantik, saya yakin kami akan memiliki sumber mata pencarian sampingan baru yang kalau diseriusi akan sangat membantu ekonomi keluarga,” katanya lagi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kuliner</span><br />Peluang serupa serupa juga dilihatnya di bidang makanan (kuliner), meski dalam bentuk yang sangat sederhana. “Wanita di sini bisa membuat keripik dari pisang dan keladi, masalahnya sama saja, tidak biasa, bukan tidak bisa,” katanya.<br /><br />Dia tidak mempersoalkan pasar dan pemasaran. “Setiap Selasa kan ada pasar mingguan di Muara Siberut. Pisang dan keladi banyak sekali di sini, sementara minyak goreng bisa dibuat dari kelapa. Kuali penggorengnya juga tak kurang. Ajari kami, lalu para suami bisa membawa olahan kami itu setiap Selasa dengan pompong ke Muara,” ujar dia yakin.<br /><br />Mariani tahu cemilan semacam itu harus dikemas dengan kemasan yang baik, sehat dan cantik. “Kita sudah sering melihat contohnya di Muara, tak masalah,” katanya lagi. “Plastik bening pun cukup.”<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-44116553835415495282009-02-25T02:01:00.000-08:002011-06-01T07:21:33.399-07:00Kepala Desa Magang<span style="font-weight:bold;"></span>Joel Salaisek tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya. Sepulang dari Musrenbang tingkat desa di Muntei dia lebih banyak berdiam diri. Ternyata—setelah ditanya--Ketua Dewan Adat Dusun Salappa’ itu masgul karena sedih melihat nasib kepala desanya, Tulutogok Tasiripoula.<br /><br />“Dalam Musrenbang kemarin Pak Kades seperti magang saja, yang dominan bicara tetap kepala desa lama Pak Viktor Sagari, bagaimana ini?” keluhnya.<br /><br />Menurut Joel, tak sepantasnya hal tersebut berlaku. “Ini sudah hampir habis empat bulan setelah Talud terpilih sebagai Kepala Desa Muntei, seharusnya kan tiga bulan setelah terpilih dia harus sudah dilantik,” imbuh mantan anggota P4KD (Panitia Pencalonan dan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa) Muntei tersebut.<br /><br />Kerisauan yang sama diperlihatkan tokoh masyarakat yang lain seperti Anselmus Sadodolu, Markus Sabailati, dan lain-lain. “Ini tidak bisa dibenarkan, tak ada alasan sebenarnya untuk menunda-nunda pelantikan,” kata Anselmus yang diiyakan Markus. “BPD (Badan Perwakilan Desa) harus mencari kejelasan persoalannya, dan mendesak pelantikan, kalau perlu sampai ke Tuapeijat,” kata Anselmus.<br /><br />Menurut mereka kalau kepala desa terpilih tidak bisa menjalankan roda pemerintahan desa, bisa terjadi kerancuan kepemimpinan. “Ini berarti sama saja dengan menjadikan proses pemilihan November lalu itu sia-sia,” tambah dia. ran<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-51536581829804911232009-02-25T01:57:00.000-08:002009-02-25T02:01:14.020-08:00Kepala Desa Terganjal SK<span style="font-weight:bold;"></span><br /><br /><span style="font-style:italic;">Semangat boleh menggebu, tapi legalitas tetap perlu. Itulah yang terjadi di Salappa’, tak kunjung dilantiknya Kepala Desa Muntei, yang membawahi Dusun Salappa’, Muntei dan Puro II, membuat semua aktivitas pembangunan terganggu. </span><br /><br />Oleh Imran Rusli<br /><br />Kepala Desa Muntei telah terpilih sejak 3 November tahun lalu, Tulutogok Tasiripoula, belum juga dilantik, padahal kalau menurut Peraturan Bupati Kepulauan Mentawai seharusnya pelantikan dilakukan paling lambat tiga bulan setelah terpilih. Tapi nyatanya, janankan dilantik SK-nya pun belum pernah dilihat Tulut.<br /><br />“Katanya SK saya sudah turun, tapi entah siapa yang pegang, saya belum pernah melihat,” ujarnya ketika ditemui Puailligoubat Rabu (11/2) di tempatnya mengajar,SD Filial Santa Maria, Salappa’. Dia mengaku tidak mengerti kenapa harus seperti itu. “Saya dengar pelantikan baru akan dilakukan setelah pemilu,” katanya lagi.<br /><br />Belum dilantiknya kepala desa membuat warga Salappa’ resah. “Soalnya alasannya tidak kuat sementara masalah yang ditimbulkannya banyak,” ujar Anselmus Sadodolu, pengurus PS3 (Parurukat Siberikabaga Siberut Selatan) Kecamatan Siberut Selatan yang juga tokoh masyarakat Salappa’.<br /><br />Masalah itu antara lain program-program dusun tidak bisa dirancang dan dijalankan, karena tidak bisa dilepaskan dari kebijakan desa. Masalah lainnya terjadi kerancuan gaji kepala desa. “Gara-gara belum dilantik kepala desa baru belum bisa menjalankan operasional pemerintahan sepenuhnya, sebaliknya kepala desa lama seperti tidak bisa melepaskan posisinya di pemerintahan, gaji mereka juga harus dibagi dua, misalnya gaji Desember 2008 dan Januari 2009, ini kan bikin bingung masyarakat seperti kapal yang dinakhodai dua orang,” ungkap Joel Salaisek, Ketua Dewan Adat Salappa’.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Usai Pemilu</span><br />Tak puas dengan belum berfungsi penuhnya kepala desa, warga Salappa’ pernah menanyakan masalahnya ke kecamatan. Jawabnya, pelantikan setelah pemilu bulan April,” ujar Kepala Dusun Salappa’ Markus. Jawaban ini membuat masyarakat makin bingung dan berprasangka macam-macam.<br /><br />“Yang sibuk pemilu kan KPU, bukan bupati. Lagipula ini peraturan bupati sendiri, bahwa tiga bulan paling lama setelah kepala desa terpilih dia harus sudah dilantik, nah ini faktanya sudah mau habis 4 bulan, kapan kepala desa akan bekerja?” kata Joel Salaisek. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Menang Mutlak </span><br />Tulutogok Tasiripoula memenangkan pemilihan Kepala Desa Muntei 3 November 2008. Dari 4 kandidat kepala desa yang maju, yakni Tulutogok Tasiripoula dari Dusun Salappa’, Agustinus Sagari dari Dusun Muntei, Viktor Sagari dari Dusun Muntei dan Stephanus Nahung dari Beikeluk, Tulut meraih 170 suara. Sisanya, sekitar 300 suara, diperoleh 3 kandidat lainnya.<br /><br />“Saya menang karena warga Salappa’ dan Beikeluk kompak memberikan suara mereka kepada saya, saya sungguh salut dan berterima kasih,” kata Tulut yang selain menjadi guru pernah menjadi pengelola Perpustakaan Palingen yang didirikan YCM (Yayasan Citra Mandiri) di Salappa’ tahun 2006.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kelompok Tani</span><br />Tapi karena belum dilantik Tulut yang memilih tetap bertempat tinggal di Salappa’ meski tiap hari turun ke Muntei, tak bisa sepenuhnya menjalankan tugas. Padahal di kepalanya sudah banyak program yang minta segera diimplementasikan. Misalnya peningkatan ekonomi masyarakat.<br /><br />“Kami di Salappa’ ini punya problem mata pencarian,” katanya. Sumber ekonomi cukup banyak tapi tak ada yang bisa difokuskan. Dalam bahasa Kepala Dusun Salappa’, warga tidak bisa fokus menjalankan perekonomiannya karena tidak ada komoditi yang menghasilkan secara berkesinambungan.<br /><br />Sumber ekonomi itu sendiri cukup banyak, misalnya nilam, coklat, kelapa, pinang, keladi, pisang, sagu, manau, sasa (rotan), tapi semuanya insidentil sifatnya. “Harga tak pernah stabil, selalu naik turun, sementara biaya yang kita keluarkan untuk berproduksi tak pernah turun, selalu naik, akibatnya kita tak pernah fokus dengan satu sumber ekonomi,” kata Markus.<br /><br />Karena Tulut, sebagai Kepala Desa Muntei yang baru, mempunyai program khusus untuk Salappa’, yakni pertanian terpadu lewat pembentukan kelompok tani. “Misalnya coklat, selama ini masyarakat berkebun coklat secara terpisah-pisah, akibatnya tanaman mereka gampang rusak diserang hama. Kalau bersama-sama kan bisa kita pecahkan bersama masalahnya,” kata Tulut.<br /><br />Menurut Tulut warga Salappa sudah cukupmelihat pengalaman petani di daerah lain, seperti di Muntei atau Puro. Dari pengalaman itu mereka sudah tahu, keberhasilan takkan bisa dicapai sendiri-sendiri. “Tikus, tupai, musang, kelelawar, semut bisa dihadapi bersama dengan mengatur masa tanam, kita bisa menjaga kebun bersama-sama dan meningkatkan produksi, tentu saja bimbingan PPL (petugas penyuluhan lapangan) sangat kita butuhkan, PPL yang tak sekedar minta tanda tangan kepala desa maksud saya,” katanya sambil tersenyum menyindir (Puailiggoubat pernah memberitakan tentang PPL yang kerjanya cuma minta tandatangan kepala desa, tidak bekerja sebagaimana mestinya). <br /><br />“Saya juga akan mendorong pembukaan kebun coklat tanpa merusak lahan sagu, karena sagu itu basis pangan kami, tidak boleh dirusak,” tegasnya.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-39998885166502034762009-02-25T01:56:00.000-08:002009-02-25T01:57:08.990-08:00Dari 350 Meter Jadi 600 Meter<span style="font-weight:bold;"></span><br /><br />Proyek PNPM Mandiri yang masuk ke Salappa’ tahun lalu adalah jalan rabat beton sepanjang 350 meter. Jalan selebar 2 meter dengan ketebalan 12 meter itu menelan biaya Rp 225.918.500, sudah termasuk operasional UPK (Unit Pengelola Kecamatan) sebesar 2 persen atau Rp4.518.400, operasional TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) sebesar 3 persen atau Rp6.777.500 dan biaya fisik Rp214.622.600. <br /><br />Saking antusiasnya jalan yang semula direncanakan sepanjang 350 meter itu bertambah menjadi 600 meter ditambah sebuah jembatan kayu sepanjang 5 meter yang terlihat kokoh, berkat swadaya masyarakat. “Mungkin karena baru dan memang merasakan kebutuhannya, masyarakat sangat bersemangat,” ujar Anselmus Sadodolu, Ketua TPK PNPM Mandiri Salappa’.<br /><br />Swadaya di sini bukan berarti masyarakat menyumbangkan material atau uang, tapi bersedia menerima upah yang lebih sedikit atau mengurangi biaya transportasi material, seperti semen dari Muara Siberut. “Karena swadaya tersebut kami masih kelebihan 127 sak semen, yang bisa digunakan untuk membangun jalan sepanjang 150 meter lagi, tapi tentunya setelah ada komunikasi dan koordinasi dengan UPK di Muara Siberut,” ujar Anselmus lebih jauh. <br /><br />Sebetulnya tahun 2001-2002 Salappa’ sudah dapat paket P2D, tapi gagal direalisasikan oleh OMS (Organisasi Masyarakat Setempat) dan dialihkan ke dusun lain. “Kontraktor berdalih tak ada material, nyatanya dengan PNPM tak ada masalah, proyeknya terealisasi dengan biaya yang justru jauh lebih murah,” timpal Tulutogok Tasiripoula.ran.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-273244731263642922009-02-25T01:50:00.000-08:002009-02-25T01:55:07.561-08:00Geliat Salappa<span style="font-style:italic;">Dusun Salappa’, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan adalah dusun bentukan Departemen Sosial yang dibangun tahun 1979 dan mulai dihuni tahun 1981. Tapi sejak dibangun sampai tahun 2008 mereka tidak pernah merasakan program pemerintah, sampai akhirnya program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri masuk. Maka mata masyarakatpun terbuka. Salappa’ bukannya tak bisa diapa-apakan, dan sangat berhak mendapat sentuhan pembangunan</span>.<br /><br /><br />Oleh Imran Rusli<br /><br />“Sebelum tahun 2008 kami betul-betul buta akan hak kami, jadi dusun kami dilewati saja, tak pernah mendapat sentuhan pembangunan, ada saja alasannya , biaya mahal lah, material susahlah, tapi setelah PNPM Mandiri masuk terbukti semua itu omong kosong saja, infrastruktur di dusun kami bisa dibangun sama mudahnya dengan di tempat lain,” ujar Markus Sabailati, Kepala Dusun Salappa’ Selasa (10/1) malam.<br /><br />Perbincangan dalam gelap itu—benar-benar gelap, Puailiggoubat tidak bisa mengenali wajahnya—benar-benar mengesankan karena meski sangat membutuhkan penerangan, kepala dusun mengatakan penerangan belum menjadi prioritas di Salappa’. “Kami lebih butuh jalan, jembatan, air bersih, gedung TK, sekolah negeri, rumah ibadah, tenaga medis Pustu dan MCK, kalau itu semua sudah ada baru kami berpikir tentang penerangan,” kata Markus. Soalnya, tambah Markus, kalau penerangan didahulukan jalan dan lain-lain bisa terabaikan karena masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan lain yang kurang produktif. Misalnya nonton sinetron di televisi. <br /><br />“Lagipula penerangan itu pasti kita dapatkan, karena pemerintah kabupaten tidak mungkin membiarkan kami selamanya dalam kegelapan,” katanya. “Apalagi kami tahu sudah ada dusun yang mendapatkannya, yakni Rogdog dan Madobag, serta Ugai yang kebagian limpahannya,” ujar Markus lebih jauh.<br /><br />Dusun berpenduduk 79 KK atau sekitar 400 jiwa yang terdiri dari 9 suku besar dengan luas sekitar 360 hektar ini memang tergolong malang. Meski termasuk dalam wilayah administratif Desa Muntei, selama 27 tahun mereka seperti dianggap tidak ada. “Setelah PNPM Mandiri masuk, baru kami dapat jatah Pustu (Puskesmas Pembantu), dan pejabat dari Bappeda sudah dua kali ke sini. Tahun depan kami dengar jatah P2D (Pembangunan Prasarana Desa) akan masuk ke sini, padahal dulu banyak sekali alasannya,” kata Markus pula.<br /><br />Dulu, imbuh Markus, kalau masyarakat sakit mereka sangat kesulitan karena harus ke Muara Siberut yang kalau pakai sampan dayung bisa makan waktu seharian. “Paling tidak untuk berobat kami harus sedia Rp500 ribu. Untuk bekal di jalan, untuk biaya menginap di Muara, dan untuk biaya dokter, jadi kalau sakit kami sering membiarkan saja sampai sembuh sendiri, atau paling jauh minta bantuan kerei, saya sendiri sampai minggu lalu masih menggunakan jasa kerei, karena Pustu—meski telah selesai dibangun tahun lalu--belum diserahterimakan dan petugas medisnya belum ada,” ungkapnya. <br /><br />Sebenarnya, imbuh Tulutogok Tasiripoula, kepala desa yang baru terpilih, Pustu itu jatah desa, tapi Kepala Desa Muntei lama—yang sampai sekarang masih berfungsi karena kepala desa yang baru belum dilantik—Viktor Sagari menyarankan agar dibangun di Salappa’ saja, mengingat Salappa’ masih belum punya sarana tersebut. “Kita berterima kasih pada Pak Viktor untuk kebijakannya itu,” kata Tulud. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Musrenbang Desa</span><br />Kesadaran untuk meminta hak itu makin menguat ketika salah satu warga Salappa’, Tulutogok Tasiripoula tadi, memenangkan pemilihan kepala desa 3 November tahun lalu. “Ini membuat semangat kami bertambah untuk memunculkan lebih banyak kebutuhan dalam Musrenbang tingkat desa besok di Muntei,” kata Joel Salaisek, Ketua Dewan Adat Salappa’, pada malam yang sama. <br /><br />Sebelumnya, kata Joel, masyarakat tidak tahu bahwa banyak sekali pos anggaran di APBD yang merupakan hak masyarakat, seperti dana ormas, bantuan untuk rumah ibadah, jalan, jembatan, sarana air bersih, listrik, sekolah. “Kita tidak tahu bahwa semua itu memang hak kita, bukan belas kasihan pemerintah kabupaten,” ujar Joel.<br /><br />Rabu tanggal 11 Februari dari Salappa’ berangkat 6 orang yakni kepala desa terpilih, kepala dusun, 2 anggota BPD (Badan Perwakilan Desa) dan 2 orang tokoh masyarakat, salah satunya Joel. “Kami berangkat pagi-pagi sekali agar bisa pulang sebelum malam,” kata Joel.<br /><br />Hasilnya pada Musrenbang yang dihadiri 19 orang itu, antara lain 6 dari Salappa’, 12 dari Dusun Muntei dan 1 orang dari Puro II, utusan Salappa’ mengusulkan item-tem yang telah disebutkan di atas tadi. “Kalau misalnya P2D jadi masuk, itu pasti jalan, nah kita bisa usulkan yang lain untuk PNPM, mungkin air bersih, atau yang lain, yang penting kita sekarang lebih tahu prosedurnya,” kata Markus.<br /><br />Menurut Kepala Desa Muntei terpilih yang juga warga Salappa’, Tulutogok Tasiripoula, hasil Musrenbang tingkat desa itu sudah diawali dengan Musrenbang tingkat dusun, lalu akan dilanjutkan dengan Musrenbang tingkat kecamatan dan seterusnya Musrenbang tingkat kabupaten. “Di situ akan dilihat prioritasnya, kita harapkan permohonan Salappa’ diprioritaskan mengingat sekian lama dia diabaikan,” katanya.<br /><br />Tulut<span style="font-weight:bold;"></span> menambahkan masyarakat Salappa’ memang lebih memprioritaskan pembangunan gedung-gedung, seperti gedung TK,sekolah negeri, rumah ibadah dan kantor dusun. “Soalnya gedung-gedung itu bisa multifungsi, tidak berdiri sendiri,” jelasnya. Dia sepakat dengan Markus. “Penerangan bisa menyusul.”<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-61232291482475271222009-02-08T23:32:00.000-08:002009-02-08T23:35:45.342-08:00Bumen Terancam?<span style="font-style:italic;">Salah satu yang bergeser dalam perubahan SOTK 19 Januari lalu adalah pos-pos di Dinas Pendidikan yang berkorelasi langsung dengan masa depan Bumen (Budaya Mentawai) yang rencananya akan dijadikan Mulok (Muatal Lokal) di sekolah-sekolah dasar di Mentawai. </span><br /><br /><br />November 2008, banyak wajah-wajah sumringah di Uma YCM, Mapaddegat. Masalahnya pada bulan itu Divisi Pendidikan YCM,bersama Direktur YCM menyerahkan seberkas draft kurikulum Budaya Mentawai (Bumen) kepada Drs Syaiful Jannah yang waktu itu menjabat Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai.<br /><br />Berkas draft kurikulum Bumen yang disusun Divisi Pendidikan YCM melalui kerjasama dengan berbagai pihak tersebut, termasuk kalangan pendidikan di Universitas Negeri Padang, tenaga-tenaga ahli kebudayaan dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, serta pemuka-pemuka adat Mentawai sendiri yang tergabung dalam AMA-PM, rencananya akan dipelajari oleh Tim Perumus Rekayasa Kurikulum di Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk kemudian disempurnakan dan disahkan sebagai mata pelajaran Muatan Lokal (mulok) di sekolah-sekolah dasar di seluruh Mentawai.<br /><br />Dinas, kata Syaiful waktu itu, akan membentuk tim perumus tersebut, dan sudah santer terdengar ke masyarakat bahwa Sermon Sakarebau SSos akan ditunjuk sebagai ketua tim. Tapi tanggal 19 Januari 2009 semuanya jadi mentah lagi, karena Syaiful Jannah dan Sermon Sakarebau dipindah dari pos semula. Syaiful Jannah digeser dari Kabid Dikdasmen di Dinas Pendidikan ke Sekretaris Dinas Pendidikan, sementara Sermon Sakerebau digeser dari jabatan semula Kasi Pendidikan Luas Sekolah di Dinas Pendidikan menjadi Sekretaris Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB. <br /><br />Pejabat lainnya di Dinas Pendidikan yang selama ini menunjukkan simpoati dan komitmennya untuk menggolkan Bumen sebagai Mulok adalah Pir Paulus SPd SD, Kasi Pembinaan Tenaga Guru dan Diklat pada Dinas Pendidikan yang dimutasi ke Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga sebagai Kabid Kebudayaan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Mentok Lagi</span><br /><br />Perjuangan YCM dan AMA-PM dan para simpatisan untuk menjadikan Bumen sebagai Mulok sudah berlangsung lama. “Tahun 2005 model kurikulum itu sudah diterima Kepala Dinas Pendidikan Ranting Siberut Utara, waktu itu dijabat Sermon Sakerebau—sekarang Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Mentawai—dan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Siberut Utara dengan fasilitasi YCM. Tahun 2007 diserahkan lagi ke Dinas Pendidikan di Tuapeijat dan disambut positif di tingkat Kepala Seksi, bahkan mereka berjanji membentuk Tim Rekayasa Kurikulum Muatan Lokal Bumen ini, tapi kemudian tak ada tindak lanjutnya. Baru hari ini ada kesempatan lagi,” ungkap Tarida Hernawati, Kepala Divisi Pendidikan YCM usai acara penyerahan kurikulum yang disusun YCM pada pihak Disdik Mentawai Jumat (14/11/08).<br /><br />Sekarang peluang itu kandas lagi. Komunikasi mentok, karena tentu perlu penyesuaian lagi dengan oejabat baru. “Sekarang kami belum bergerak karena pejabat yang baru mungkin masih sibuk membenahi diri dan manajemen di tempat baru, jangan diganggu dulu, nanti saja kira-kira di minggu ketiga bulan Februari kita coba audiensi,” kata Tarida,<br /><br />Sandang Paruhum, Direktur YCM, mengatakan agar tak terlalu mentok, YCM sudah siap dengan beberapa jurus alternatif. “Kita akan mendekati cabang dan ranting dinas pendidikan di kecamatan, lalu menyerahkan draf kurikulum yang sama, biarlah mereka saja yang meneruskannya ke kepala-kepala sekolah di wilayahnya,” kata Sandang. Tapi Sandang yakin, suatu hari nanti Bumen akan diajarkan di sekolah-sekolah dasar, bahkan di tingkat lanjutan dan atas. “Hanya soal waktu saya rasa, sesuatu yang memang baik tidak mungkin ditolak terus kan?” ujarnya.<br /><br />Sri Raju Taileleu, Sekretaris AMA-PM Kabupaten Kepulauan Mentawai mengeluarkan statement yang agak beda. “Kita akan mencoba terus melakukan penekanan-penekanan, secara halus, lewat omongan lisan atau tulisan resmi, Kalau memang tidak ada juga respon atau niat baik Pemda, kita akan turun ke jalan, berunjuk rasa, meminta hak anak-anak kita untuk dapat belajar kebudayaannya sendiri dengan tenang. Saya bingung, apakah orang di dinas tersebut bukan orang Mentawai, mengapa mereka begitu gigih menolak Bumen?” katanya.<br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Belum Jelas</span><br /><br />Apakah Pemkab memang sengaja mengubah SOTK di Dinas Pendidikan untuk menolak Bumen secara halus? Belum tentu juga sebenarnya dan sepertinya agak paranoid kalau ada yangberpikir begitu. Semuanya masih menunggu sampai minggu ketiga bulan Februari. Kita akan lihat bagaimana kejadiannya setelah Divisi Pendidikan YCM bertemu pihak Dinas Pendidikan. Jadi kita tunggu sajalah. <br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">AMA-PM Akan Lakukan Penekanan-Penekanan</span><br /><br />Ketika perubahan SOTK ini ditanyakan ke Urlik Tatubeket, Ketua AMA-PM Kabupaten Kepulauan Mentawai dia mengaku gundah juga sedikit. “Banyak program AMA-PM yang akan terganggu karena perubahan ini, antara lain kerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang mulai bagus. Pak Pardede sudah tak di Deperindagkoptam lagi, kita belum tahu bagaimana sikap penggantinya,” kata Urlik.<br /><br />Tentang Bumen Urlik mengatakan memang bisa terancam batal juga, tapi untuk sesuatu yang memang baik bagi generasi penerus Mentawai AMA-PM tak kan segan-segan memperjuangkannya. “Kita sudah lakukan penekanan-penenakan sejak dulu, dan itu takkan berhenti, sebelum Bumen terealisasi sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah,” katanya lagi.<br /><br />Apalagi, kata Urlik, yang akan diwariskan melalui Bumen adalah hal-hal mendasar yang akan membuat generasi penerus Mentawai tetap sadar akar dan indentitas dirinya. “Bukan sekedar mewariskan turuk laggai ini, tapi mewariakan sikap hidup, serta potensi-potensi sosio ekonomi yang dimiliki Mentawai,” tegasnya. ran<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-23694524610754717722009-02-08T23:28:00.000-08:002009-02-08T23:32:22.647-08:00SOTK Berubah, 19 Posisi Tetap<span style="font-style:italic;">Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Mentawai eselon IV dan III berubah, pelantikan dilakukan Senin 19 Januari 2009 lalu. Sebanyak 161 posisi diutak-atik, hanya 18 yang tak digeser</span>. <br /><br />Bupati Kepulauan Mentawai merealisasikan rencana yang diwacanakan Wakil Bupati Kepulauan Mentawai November lalu, bahwa SOTK di Pemkab Mentawai akan dirombak besar-besaran berkaitan dengan kinerja para PNS yang akir-akhir ini banyak mendapat sorotan masyarakat. <br /><br />Waktu itu, Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet menyentil kinerja para PNS yang dikatakannya sangat jauh dari harapan, karena sebanyak 80 persen PNS lebih sering berada di Padang daripada di Mentawai. Akibatnya berbagai program kerja pemerintah terbengkalai atau tak memenuhi target. Salah satu dampak buruknya seperti disinyalir Yudas adalah serapan APBD 2008 yang sampai November tersebut baru 38 persen.<br /><br />Tak kurang dari 161 personil Pemkab yang terkena gelombang perubahan SOTK ini, yakni 34 orang melalui SK Bupati Kepualauan Mentawai No: 821.2/III.a/01/KKd-2009 tertanggal 19 Januari 2009, 63 orang melalui SK No: 821.2/III.b/02/KKD-2009 tertanggal 19 Januari 2009, 62 orang melalui SK No: 821.2/IV.a/03/KKD-2009 tanggal 19 Januari 2009 dan 2 orang melalui SK No: 821.2/IV.b/04/KKD-2009 tanggal 19 Januari 2009.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">19 Posisi Tetap</span><br />Dari 161 posisi hanya 18 posisi yang tidak digeser yakni Dra Eliza Murti, Kabag Umum Sekretarit Daerah; Drs Jufri Nelson Siregar, Kepala Kantor Kesbanglinmas (eselon IV.a) yang tetap pada jabatannya, cuma eselonnya naik ke III.a; Syafredi Ssos Kabid Laut pada Dinas Perhubungan (III.a) menjadi Kabid Perhubungan Laut pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (III.b). Nama instansinya berubah; Sahad Pardamaian ST, Sekretaris Camat Siberut Utara (IV.a), tetap tapi eselon naik (III.B): A Arifianto SSTP MM, Sekretaris Camat Siberut Selatan (IV.a) tetap di kedudukan semula dengan eselon III.b; Nicholaus Sorot Ogok SH, Sekretaris Camat Siberut Barat (IV.a), eselon berubah (II.b); Yanpiter Simatupang, Sekretaris Camat Siberut Barat Daya (IV.a) naik eselon (III. B); Ruslianus S SPd,Sekretaris Camat Pagai Utara (IV.a) eselonberubah (III.b); Rusli Sakoikoi, Sekretaris Camat Sikakap, eselon berubah dari IV.b ke III.b; Poltak M Saragi Napitu SH, Kasubbag Pembinaan Perangkat Daerah Bagian Pemerintah Umum (IV.a) menjadi Kasubbag Pembinaan Perangkat Daerah pada Bagian Administrasi Pemerintahan Umum di Sekretariat Daerah eselon juga tetap (IV.a), hanya nama bagian berubaha; Sukirman Ssos, Kasubbag Kelembagaan pada Bagian Organisasi di Sekretariat Daerah (IV.a); Risma Netty Hutapea SE Kasubbag Keuangan pada Dinas Perindagkoptamb (IV.a) menjadi Kasubbag Keuangan pada Dinas Perindustrian , Perdaganangan, Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (IV.a); Tuti Yuliana Sag, Kasubbag Umum dan Kepegawaian pada Dinas Pendidikan (IV.a); Nelly SE Kasubbag Keuangan pada Dinsosduknakertrans (IV.a) menjadi Kasubbag Keuangan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (IV.a) nama instansi berubah; Martauli SE, Kasubbag Keuangan pada Dinas Perhubungan (IV.a) menjadi Kasubbag Keuangan pada Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (IV.a), nama instansi berubah; Asril SE, Kasi Promosi Dinas Pariwisata (IV.a) menjadi Kasi Promosi dan Perizinan pada Bidang Pariwisata di Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olahraga(IV.a), nama instansi berubah; Kasmon Butar-butar, Kasubbag Umum dan Kepegawaian pada Dinas Pertanakun (IV.a); dan Ratna Juwita SH, Kasubbag Keuangan pada Dinas Kehutanan (IV.a). <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pasrah</span><br />Beberapa pejabat yang coba dihubungi Puailiggoubat mengaku pasrah. “Mungkin bupati melihat saya lebih pas di tempat yang baru, ambil hikmahnya sajalah,” ujar Sermon Ssos, mantan Kasi Pendidikan Pendidikan Luar Sekolah di DinasPendidikan (IV.a) yang kini menjabat Sekretaris Badan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB dengan eselon naik (III.a). <br /><br />Drs Pujo Raharjo mantan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (eselon III.a) yang kini menjabat Kabid Transmigrasi Dinas sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (III.b) bersuara senada. “Di manapun saya ditempatkan, saya akan bekerja dengan sebaik-baiknya dan akan memberikan yang terbaik pada atasan saya dan masyarakat,” katanya.<br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Ada Apa Di Balik Perubahan?</span><br /><br />Urlik Tatubeker, Ketua AMA-PM (AliansiMasyarakat Adat-Peduli Mentawai) mengaku heran dengan perombakan SOTK ini. “Kalau nggak salah SOTK ini baru setahun diubah, kok sekarang diubah lagi, ada apa? Ada jejak yang mau dihilangkan?” katanya bertanya-tanya.<br /><br />Lukas Ikhsan Malik, Koordinator AMA-PM Kecamatan Sipora juga tak kalah heran. “Kalau ingin meningkatkan disiplin PNS, kenapa perombakannya besar-besaran ya?” Lukas mempermasalahkan hal ini karena menurut dia, bagaimana pejabat bersangkutan akan bisa menjalankan program-programnya kalau di tengah jalan diganti terus. “Baru mempersiapkan program dan mengatur strategi dan koordinasi sudah dipindahkan, bisa apa pejabatnya kalau begitu?” gugatnya lagi.<br /><br />Sandang Paruhum, Direktur YCM (Yayasan Citra Mandiri) yang organisasinya komit dengan upaya penguatan masyarakat adat, mengutarakan hal senada. “Saya kuatir kami harus mengulang lagi semua pencapaian yang sekarang, karena pejabat yang punya otoritas diganti,” katanya (ran).<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-10598726607665196382009-01-16T23:35:00.000-08:002009-01-16T23:36:13.853-08:00Memimpikan Calon IndependenMeskipun MK telah memutuskan penggunaan mekanisme suara terbanyak pada Pemilu 2009, keputusan tersebut tak mengubah keputusan calon pemilih. Rani (19), mahasiswa di Padang mengatakan selama calonnya tak independen dan dimunculkan masyarakat dia akan tetap Golput.<br /><br />“Masalahnya saya tak kenal caleg-caleg yang disodorkan partai-partai politik tersebut, sementara caleg-caleg mantan aleg—anggota legislatif--yang maju lagi sekarang rata-rata saya nilai kinerjanya buruk. Mereka tak peduli rakyat dan hanya memikirkan diri sendiri atau partainya saja, untuk apa memilih caleg kayak gitu, hanya memberi dia pekerjaan, penghasilan, bonus dan tunjangan-tunjangan selama 5 tahun ke depan, enak betul,” katanya.<br /><br />“Kalau calonnya dari rakyat dan menggunakan mekanisme suara terbanyak, baru saya ikut pemilu, tapi pemilu presdien nanti saya ikut kok, kan pendukung SBY,” kata gadis yang suka membaca Mahatma Gandhi dan Frans Kafka ini sembari tertawa.<br /><br />Senada dengan Rani yang merupakan pemilih pemula, Bastian (28) yang pada pemilu 204 juga golput menyatakan hal yang sama. “Caleg dari partai politik umumnya bekerja untuk partai politik yang mengusungnya, bukan untuk rakyat antah berantah yang tak dikenalnya, meski suara mereka telah mendudukkan dia di dewan. Makanya tak ada aspirasi rakyat yang diperjuangkan caleg-caleg semacam itu, sehingga rakyat tetap harus menggunakan parlemen jalanan agar suaranya didengar, atau kalau perlu teriak-teriak di depan kantor dewan,” kata wirausahawan muda yang bolak-balik Padang Jakarta tiap minggu.<br /><br />Tapi konstitusi tidak memungkinkan calon independen. “Sekarang, UU kan bisa diamendemen, buktinya untuk calon eksekutif sudah bisa diterapkan, bahkan sudah ada yang menang. Satnya mereformasi DPR dan DPRD,” tegasnya. ran<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-54206781059193853382009-01-16T23:33:00.002-08:002009-01-16T23:37:44.457-08:00Fatwa MK Harusnya Bisa Kurangi Golput<span style="font-style:italic;">Alfitri, akademisi dari FISIP Unand mengatakan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang pemberlakuan suara terbanyak bagi calon legislatif seharusnya bisa mengurangi kecenderungan (trend) golput (golongan putih atau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu), karena keputusan itu telah menunjukkan keberpihakan konstitusi kepada rakyat.</span><br /><br />Oleh Imran Rusli<br /><br />“Putusan MK tentang suara terbanyak harusnya dapat mengurangi golput. Dengan sistem tersebut suara rakyat dihargai, karena caleg yang akan duduk bukan yang nomor urutnya ditentukan partai, tapi yang terbanyak mendapat suara rakyat,” ujar sosiolog tersebut pada Puailiggoubat pekan silam. <br /><br />Karena itu, kata Alfitri lagi, semua pihak—termasuk akademisi—harus aktif mendorong warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. “Semua pihak hendaknya mendorong warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, dalam berbagai media forum akademisi seyogyanya mencerahkan publik bahwa pemilu adalah peluang bagi warga negara untuk memperbaiki keadaan, pemilu adalah sarana demokrasi untuk untuk memperbaiki keadaan, warga negara yang baik tentu punya kewajiban moral untuk ikut memperbaiki, <br />bahwa ada orang atau partai politik yang pernah mengecewakan, ya jangan pilih dia lagi.”<br /><br />Alfitri menilai golput menggenaralisasi bahwa semua calon legislatif tidak bermutu, padahal faktanya, masih banyak yang bermutu. “Mari kita pilih caleg bermutu sambil berharap dia akan setia pada rakyat,” katanya.<br /><br />Seperti diketahui, Selasa 23 Desember MK menghapuskan sistem nomor urut seperti diatur dalam Pasal 214 Huruf a, b, c, d, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, dan menggantinya dengan sistem suara terbanyak melalui Surat Keputusan No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang penggunaan mekanisme suara terbanyak dalam Pemilu yang diumumkan ke publik Selasa 23 Desember 2008. <br />Majelis hakim konstitusi menilai, pasal tersebut hanya menguntungkan caleg yang duduk di nomor urut kecil dan merugikan caleg dengan nomor urut besar. Mekanisme itu juga membuat caleg terpilih hanya merasa bertanggungjawab pada partai politik yang mengusungnya, dan cenderung mengabaikan suara rakyat yang memilihnya, meski secara tidak langsung. <br /><br />Bisa, Tapi<br /><br />Drs Edi Indrizal MSi, Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan hal senada, tapi dia menguatirkan hal itu tidak efektif juga, terkait pengetahuan masyarakat pemilih yang masih minim soal teknis pemberian suara pada Pemilu 2009. <br />“Mekanisme suara terbanyak mungkin disambut baik masyarakat, karena jauh lebih sesuai dengan aspirasi mereka selama ini, dan di satu pihak bisa mengurangi golput, tapi bila tidak diikuti dengan pengetahuan tentang cara memilih bisa mempengaruhi kualitas pemilu yang ujung-ujungnya golput juga, karena golput itu kan bukan sekedar sengaja tidak memilih, tetapi juga salah prosedur saat memilih, misalnya salah contreng, mencontreng dua kali pada dua kandidat dari partai berbeda dan sebagainya, sehingga suaranya dianggap tidak sah. Itu juga masuk kategori golput,” papar Edi.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-64772696175671462632009-01-16T23:33:00.001-08:002009-01-16T23:38:20.905-08:00Positif dan Harus DihormatiKeputusan MK mengenai perubahan sistem pemilu dari nomor urut menjadi suara terbanyak menurut Amora Lubis, caleg PPPP Dapil V nomor urut 2, justru merupakan hal yang positif. Karena, menurut Amora, dapat mendorong masyarakat untuk mengenal lebih dekat calon legislatif yang akan mereka pilih. Di samping mendorong para caleg untuk lebih dekat dengan masyarakat dalam menerima aspirasi yang diberikan. <br /><br />Saat ditanya bahwa sistem penghitungan suara terbanyak ini rentan dengan politik uang, ia manyatakan bahwa hal itu tergantung kepada person atau orang yang bersangkutan. “Caleg yang moralnya baik pasti tidak akan melakukan hal tersebut.” <br /><br />Bagaimana strategi Amora untuk mendapatkan suara rakyat? Ia mengaku melakukan pendekatan persuasif dengan mengadakan seminar-seminar yang dekat dengan paermsalahan kemasyarakatan. <br /><br />Model pendekatan tersebut intensif dilakukannya dari sekarang sampai menjelang pemilu, April mendatang. “Di samping itu saya juga melakukan dakwah-dakwah kepada masyarakat yang biasa dilakukan di lapangan terbuka,” katanya pada April Adriansyah dari Puailiggoubat. <br /><br />Sedangkan caleg PBB Muchlis Sani, Dapil I nomor urut 1, menilai keputusan MK tersebut mau tidak mau harus dihormati. Jika dihubungkan dengan partai, maka hal tersebut menurut dia tidak masalah. Namun, jika dihubungkan dengan dirinya secara pribadi, maka calon mantan calon Wakil Walikota Padang ini mengaku merasa dirugikan, tapi dia tak mempermasalahkannya. <br /><br />Menurutnya, letak nomor urut 1 yang dimilikinya sekarang ini, tidak berarti apa-apa. <br />Sebaliknya sistem ini, kata Mukhlis, dapat mengenalkan caleg secara langsung kepada masyarakat. Sehingga masayarakat dapat mengetahui calon yang akan duduk di kursi dewan lebih dekat. <br /><br />Mukhlis Sani mengaku ia melakukan strategi pendekatan persuasif kepada masyarakat. Dengan demikian ia bisa mengetahui aspirasi masyarakat secara langsung pula. Di samping itu ia juga melakukan pertemuan-pertemuan dakwah tanpa melanggar UU yang tidak memperbolehkan kampanye di tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan. “Selama ini hal itu saya lakukan di tempat terbuka, jadi takada aturan yang saya langgar,” katanya pada April Adriansyah dari Puailiggoubat. ran<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-27138118381477292892009-01-16T23:31:00.000-08:002009-01-16T23:39:04.523-08:00Yang Kembali Bersemangat<span style="font-style:italic;">Keputusan MK mengenai suara terbanyak mau tak mau menggembirakan caleg di nomor sepatu (nomor urut besar), mereka yang sebelumnya loyo kini bersemangat lagi, bahkan menurut wartawan kami <span style="font-weight:bold;">Bambang Sagurung</span>, caleg-caleg tersebut bersemangat 45 kembali.</span><br /><br />Oleh Imran Rusli<br /><br />Yan Winnen Sipayung adalah caleg DPRD Mentawai Dapil III nomor urut 6 dari PDIP. Sebelum putusan MK keluar, Yan sedikit tak bersemangat karena penetapan nomor urutnya dinilai kurang adil, tapi karena loyal pada partai Yan pasrah saja.<br /><br />Tapi setelah keputusan MK tentang penggunaan mekanisme suara terbanyak pada Pemilu 2009, Yan yang sekarang anggota DPRD Mentawai, bersemangat lagi, karena menurut dia memang sistem dan mekanisme inilah yang seharusnya dipakai dalam pemilu.<br /><br />“Pada hakikatnya pemilu itu tetap suara terbanyak, karena lebih adil dan proporsional,” katanya.<br /><br />Untuk itu, Yan akan mulai memikirkan menggunakan strategi khusus untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. “Dan strategi untuk Mentawai ini tidak bisa model bim sala bim. Caleg Mentawai ini bukan di Amerika, atau Prancis dan lainya. Masyarakat juga menyadari dan dapat menilai karena masyarakat sekarang sudah realistis, yang saya kuatirkan sekarang hanyalah apakah masyarakat mengerti tentang pemilu dan apakah cukup waktu untuk mensosialisasikan pemilu ini kepada masyarakat,” ungkapnya. <br /><br />Maksud Yan mungkin soal teknis pemberian suara yang memang bermasalah sejak dari KPU Pusat di Jakarta.<br /><br />Dari Kita untuk Kita<br />Maralus Sinurat, caleg DPRD Provinsi, Dapil Padang-Mentawai, nomor urut 3 dari PDIP sepakat, menurut dia, keputusan MK membuat semua caleg bersemangat untuk berjuang , mengeluarkan biayapun tak ragu-ragu lagi, juga simpatisan makin semangat dan bahkan berani berkorban materi dulu asal caleg yang diinginkannya bisa duduk di dewan. <br /><br />“Semua jadi bersemangat, kita juga tak ragu lagi mengalokasika dana, sebab hasilnya jelas-jelas untuk kita bukan buat caleg di atas kita,” katanya.<br /><br />Masalahnya, menurut Maralus, masyarakat sudah trauma. “Pada pemilu 2004 ada caleg yang berhasil duduk dari suara masyarakat Mentawai—yang juga belum tentu diperuntukkan bagi dia, tapi jatuh ke dia karena dia di nomor jadi--tapi tak mau memperjuangkan aspirasi masyarakat Mentawai, bahkan tidak mau ke Mentawai,” katanya.<br /><br /> “Sekarang kesempatan bagi masyarakat Mentawai untuk membulatkan suara untuk satu dua orang sebagai perwakilan yang telah dikenal dan mengenal Mentawai yang akan membawa aspirasi Mentawai untuk diperjuangkan di dewan provinsi,” tambah dia.<br /><br />Sedangkan Juanidi, caleg DPRD Mentawai Dapil Siberut nomor urut 4 dari Partai Gerindra mengatakan keputusan MK membuat semua caleg giat berusaha memperoleh suara lebih banyak, “karena suara itu mutlak untuk kita,” katanya pada Bambang Sagurung dari Puailiggoubat.<br /><br />Dia berharap masyarakat memilih orang yang mereka kenal dan mengenal mereka. Strategi yang dipilihnya adalah melibatkan diri secara langsung ke tengah masyarakat.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-5534165171640576032009-01-16T23:30:00.000-08:002009-01-16T23:31:27.361-08:00Yang Royal Yang TerkaparBukan rahasia lagi bahwa parpol itu telah menjalankan peran sebagai kendaraan politik, karena konstitusi memang menyaratkan demikian, tapi berkat kreativitas praktisi partai, kendaran politik ini telah berubah menjadi bukan sekedar kendaraan, ada yang berkembang menjadi kendaraan politik super eksekutif, eksekutif, kelas bisnis, ekonomi, meski tetap banyak yang biasa-biasa saja. Seperti umumnya kendaraan, partai adalah mesin yang membutuhkan bahan bakar, dengan jenis yang tertentu pula. Makin ekslusif dan mewah kendaraannya, makin mahal harga bahan bakarnya, otomatis makin tinggi pula tarifnya.<br /><br />Nah, caleg yang ingin duduk di bangku paling sexy, mau tak mau harus membayar lebih mahal—bahkan kalau berhasil sampai di tujuan pun masih ada kompensasi susulan dan rutin yang harus dibayarkannya ke partai yang telah mengusungnya. Beberapa caleg yang kami temui membenarkan sinyalemen ini.<br /><br />Ironisnya, di Mentawai ada caleg yang telah mengeluarkan dana untuk semua caleg lainnya dengan perjanjian, berapapun perolehan mereka—kecuali melebihi 30 persen--semua suara harus dilimpahkan kepada caleg pemberi modal saja. “Kasarnya, caleg yang lain itu bekerja untuk dia,” kata sumber kami staf KPU Mentawai yang minta namanya tak usah disebut. Sekarang dengan keputusan MK yang memenangkan aspirasi masyarakat banyak ini, caleg ‘cukong suara’ itu langsung terhenyak, meski tak mengganggu deal politiknya, keputusan MK tersebut mengurangi arti upaya kerasnya, di samping munculnya kekuatiran pembelotan ‘caleg karyawannya’ karena berhasil mendapatkan suara terbanyak. ran<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-77532453933180731542009-01-16T23:28:00.000-08:002009-01-16T23:30:31.899-08:00Yang Terhenyak oleh Suara Terbanyak<span style="font-style:italic;">Keputusan untuk menggunakan mekanisme suara terbanyak dalam Pemilu 2009 telah mengacaukan strategi banyak caleg, keputusan itu sekaligus mengganggu rasa percaya diri sebagian besar caleg, dan menumbuhkan keyakinan yang lebih kuat pada caleg nomor sepatu, karena semua kini memiliki kesempatan sama.<br /></span><br /><br />Oleh Imran Rusli<br /><br />Selasa (23/12) MK mengumumkan Surat Keputusan No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang penggunaan mekanisme suara terbanyak dalam Pemilu 2009. Keputusan ini merupakan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi pada hari Jumat tanggal sembilan belas bulan Desember tahun dua ribu delapan dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal dua puluh tiga bulan Desember tahun dua ribu delapan oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, M. Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Abdul Mukthie Fadjar, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Maruarar Siahaan masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Makhfud sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, serta Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum.<br /><br />Begitu diumumkan jagad perpolitikan Indonesia pun berguncang, terutama para caleg nomor jadi (nomor urut kecil) dan caleg perempuan. Beberapa kalangan juga menguatirkan makin maraknya money politic (politik uang), karena menilai penerapan mekanisme suara terbanyak hanya akan menguntungkan caleg yang memiliki sumber daya finansial berlimpah dan popularitas berlebih. Mekanisme suara terbanyak juga diprediksi—dan telah terbukti—akan menimbulkan perpecahan dan kompetisi tidak sehat antar caleg, baik yang berasal dari partai politik berbeda atau dari partai yang sama, tapi nomor urut berbeda.<br /><br />Istilahnya, kata Drs Edi Indrizal MSi, Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang membawahi Provinsi Sumatra Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau (Kepri), para caleg tak bisa santai atau berleha-leha lagi, mereka harus berjuang ekstra keras untuk mendapatkan kepercayaan rakyat yang berhak memilih.<br /><br />Popularitas dan Pundi-pundi Tebal Saja Tidak Cukup<br />“Upaya keras tersebut berarti tidak akan cukup dengan serangan udara saja, seperti melalui iklan di televisi, radio, media online, surat kabar. Juga tidak cukup lagi hanya dengan serangan darat, lewat baliho, spanduk, poster, kalender, arloji, pin dan lain-lain, bahkan dengan kunjungan langsung ke masyarakat pun belum cukup, juga popularitas, tak ada jaminan untuk mendapatkan elektabilitas yang cukup lagi sekarang,” kata Edi pada Puailiggoubat di kantornya Sabtu (10/01).<br /><br />Ditambahkan Edi, setiap caleg membutuhkan strategi khusus yang benar-benar masif dan berkenan di hati masyarakat, agar bisa mendapatkan suara mereka. Dan menurut dia hal itu tidak mudah, tapi Edi tidak bersedia memberikan advis gratis. “Maaf itu rahasia perusahan,” katanya bercanda.<br /><br />Kondisi ini kata Edi muncul dan mengagetkan beberapa caleg dan parpol—kecuali partai yang memang telah memutuskan untuk menggunakan mekanisme suara terbanyak di partainya--karena rata-rata caleg—ujar Edi—memang tidak disiapkan untuk kondisi ini saat perekrutannya dulu.<br /><br />“Ada beberapa hal yang membuat keputusan MK ini fenomenal dan mengganggu kinerja sementara caleg dan partai, pertama proses rekrutmen para caleg oleh partai sejak awal umumnya belum memperhatikan mekanisme berdasarkan suara terbanyak, akibatnya sekarang mereka kerepotan mengubah strategi. Kedua, Jumlah partai jauh lebih besar, jumlah caleg juga sangat besar. Di Sumbar saja kita sekarang menemukan fenomena dari setiap 5 – 10 rumah terdapat 1 (satu) caleg. Ini luar biasa. Implikasinya perolehan rata-rata setiap caleg akan rendah atau kecil. Tak akan mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Kondisi seperti yang pernah dialami Saleh Djasit dan Hidayat Nurwahid pada Pemilu 2004, di mana perolehan suara mereka jauh melebihi BPP, tak akan kita temui lagi. Jadi Pemilu 2009 ini benar-benar berat. Ketiga, antara sesama caleg, eksternal atau internal, akan terjadi kompetisi yang sangat ketat. Kita sudah melihat gejalanya di beberapa daerah di Jawa, caleg dari partai sama yang saling jegal dan saling membunuh karakter saingannya. Dengan kompetitor dari partai lain, yang saling tebang bendera juga tak kurang. Belum lagi yang lain, bahkan sudah menjurus ke menghalalkan segala cara,” papar Edi panjang lebar.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-7254540642961284542008-11-28T09:38:00.000-08:002008-11-28T09:43:20.603-08:00Longsor Jadi Mata Pencarian Baru<center><span style="font-size:100%;"><b><br /></b></span><br /></center><b>Bagi</b> warga Riau atau Sumbar yang sering pulang pergi dua provinsi, musim hujan kali ini bisa dikatakan musim apes. Masalahnya, intensitas longsor dan jalan terban meningkat drastis. Kalau tahun 2005 hanya terjadi satu kali jalan terban yang membuat hubungan darat kedua provinsi terputus selama beberapa hari, maka tahun 2006 dan awal tahun 2007 ini kejadian tersebut berlangsung beberapa kali. Tahun 2008 longsor malah terjadi di Rantau Berangin, Kabupaten Kampar, Riau. <p> Akhir tahun lalu saja (2007), dua kali terjadi jalan terban yang membuat Riau - Sumbar putus sampai lebih dari 2 X 24 jam. Dan Kamis pekan silam terjadi pula sekali jalan longsor yang membuat lalu lintas dua provinsi macet total selama 10 jam lebih. </p><p> Pantauan Riau Mandiri langsung dari lapangan, masih ada sekitar 6 titik lagi yang sangat berpotensi mengalami longsor atau jalan terban yang akan membuat jalur darat Riau - Sumbar putus lagi. Sehingga roda ekonomi terhenti sejenak atau kalau masih terus akan mengalami lonjakan cost production karena bahan mentah yang dibawa terlanjur busuk atau harus dibawa memutar ke jalur alternatif Kiliran Jao dengan konsekuensi tambahan waktu di perjalanan sekitar 8 jam dan BBM sekitar Rp400 ribu lagi. Setidaknya itu menurut para supir truk pembawa berbagai komoditas pertanian dan perikanan dari Sumbar yang terjebak di lokasi longsor atau jalan terban.</p><p> Namun inti ceritanya bukan di situ. Tapi, bagaimana masyarakat setempat menjadikan fenomena alam tersebut sebagai mata pencarian baru. Ketika jalan terban menimpa dua lokasi yang berdekatan di Tanjuang Pauah, Kabupaten 50 Kota, Sumbar masyarakat setempat sangat bergairah membuka jalan baru. Ratusan warga datang dengan cangkul dan parang dan meretas perbukitan. Saking semangatnya mereka minta buldozer kiriman Dinas PU tak usah bekerja dulu agar warga bisa berperan aktif agak lama.</p><p> Masalahnya, dengan turun tangan seperti itu mereka bisa pasang tarif untuk seluruh kendaraan yang mau lewat. Truk dan bus Rp500 ribu; sedan, jeep, van, bak terbuka, box, atau mobil kecil dan sedang lainnya Rp300 ribu; sepeda motor Rp50 ribu. </p><p> Longsor Kamis lalu juga begitu. Meski buldozer bisa cepat meratakan jalan yang tertimbun, masyarakat minta waktu agar mereka bisa berpartisipasi sedikit lebih lama. Untuk itu mobil-mobil kecil dan sedang diwajibkan membayar Rp50 ribu - Rp100 ribu. Sementara sepeda motor Rp25 ribu per unit. Petugas PU dan polisi tak berdaya, karena masyarakat berjumlah ratusan, lagipula masyarakat yang ditanya mengatakan polisi juga dibagi. Akibatnya pengguna jalan harus rela antri lebih lama dari yang seharusnya.</p><p> Celakanya, kebiasaan menjadikan bencana alam sebagai mata pencarian ini mulai jadi tren. Di Pangkalan Koto Baru, atau 14 kilometer menjelang perbatasan Sumbar - Riau, pas di depan jembatan timbang, ada badan jalan yang terban (sekarang sudah mulus--November 2008-imr). Meski tak sampai memutus jalan, sejumlah pemuda sudah mangkal di situ dan dengan seenaknya menyetop kendaraan yang lewat minta biaya jalan terban. Padahal mereka tak mengerjakan apa pun. </p> Nah, kalau tak segera diantisipasi oleh yang berwenang, bisa-bisa warga makin kreatif. Mereka bisa membuat agar longsor dan jalan terban makin sering terjadi, sehingga ada alasan untuk minta uang seenaknya kepada para pengguna jalan. Masalahnya ketika ditanya, kok malah senang jalan putus? Mereka menjawab "Inilah cara Tuhan memberi kami rezeki." Weleh..weleh!**<br /><br />Ini salah satu berita saya di Riau Mandiri yang sempat saya jalani Februari 2005 - Juni 2008<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-40200097054264868592008-11-26T09:23:00.000-08:002008-11-26T09:29:18.366-08:00Illegal logging blamed for deadly Pasaman landslideNational News - April 26, 2004 Imran Rusli and Apriadi Gunawan, The Jakarta Post, Padang/Medan<br /><br />Local residents blamed on Sunday illegal logging as the main cause of Friday's landslide in Pasaman regency, West Sumatra, that buried a bus and killed at least 39 of its passengers. Meanwhile, search and rescue teams continued an intensive search for five more passengers declared missing after the PO ALS bus they were riding was buried under tons of mud. As of Sunday, the teams had found no other survivors or bodies. The bodies of 39 other passengers have been recovered, while 13 survivors are still receiving treatment at a local hospital. Ardiyan, a local resident, said the landslide on Friday night was caused by torrential rains that washed away earth and debris from deforested areas in Rimbo Panti Forest, located in Sumatra's mountainous area of Bukit Barisan. The landslide washed down the slopes and over the ill-fated bus that was traveling along a mountain pass. He added that only a few large trees were left in the stripped area of the forest. "If government officials had prevented illegal logging in the area, the deadly accident would not have happened," Ardiyan, a resident of Panti subdistrict, was quoted as saying on Sunday by Antara. Hasan Basri, another resident, confirmed that illegal logging had continued unchecked in Rimbo Panti Forest, which is located some 200 kilometers north of Padang, the capital of West Sumatra. "Trucks carrying illegal logs often go back and forth from the forest. It is common knowledge," said Hasan, the owner of a restaurant located some six kilometers from the site of the incident. He said not only timber companies, but also local residents had taken part in the illegal logging, and that another landslide had happened last year in Talu Forest, 45 kilometers from Rimbo Panti, but luckily, no fatalities were reported in the incident. As of Sunday, several fallen trees, covered by mud, could be seen laying in the street near the site of the landslide. Government employees used a chain saw to cut the trees and excavators to haul away the mud to allow traffic to resume. Members of search and rescue teams were still working non-stop to remove the mud from the body of the bus in their search for the five missing passengers. Separately, West Sumatra Forestry Office head Jhonny Azwar denied allegations that illegal logging was the main cause of the fatal landslide. "A few parts might be deforested, but in general, Rimbo Panti Forest remains intact," he said, adding that his office was looking into the cause of the incident. The landslide in Pasaman regency occurred only two days after a similar landslide swept through Cililin subdistrict in Bandung, the capital of West Java. Illegal logging has also been blamed as the cause of the Cililin landslide.<br /><br />Saya menulis di The Jakarta Post 1990 - 2006 dan 2004, bagi pembaca yang kebetulan mengoleksi The Jakarta Post pada kurun waktu itu, mohon informasikan ke saya, saya mau copy lagi semua, untuk kenang-kenangan. Tq.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-30928829124988240302008-11-26T01:40:00.001-08:002008-11-26T01:40:38.862-08:00Senyum Bahagia Kerei SeniorJacobus Salaisak, Valentinus Salimu dan Sukemi Sapainong tak bisa menyembunyikan rasa haru dan bangganya ketika menyaksikan anak-anak berlomba turuk laggai (tarian) di ajang Pagelaran Budaya Mentawai 2008 Sabtu (15/11) yang digelar YCM di uma yang mereka bangun di puncak Bukit Mapaddegat, Tuapeijat, Sipora.<br /><br />Ada 8 kelompok yang bertarung memperagakan ketrampilannya memainkan turuk laggai. Mereka rata-rata masih duduk di sekolah dasar dan kebetulan berasal dari sekolah-sekolah yang mendapatkan pelajaran Budaya Mentawai atau Bumen sebagai materi ajar muatan lokal. Mayoritas sekolah-sekolah itu adalah milik Yayasan Prayoga Padang yang berlokasi di Kecamatan Siberut Utara, Siberut Selatan, Siberut Barat, Sikakap dan Sipora sendiri.<br /><br />“Saya terharu dan bahagia ada anak-anak yang masih tertarik pada turuk, meski masih sebatas hiburan,” kata Jacobus Salaisak. Menurut kerei (dukun) senior ini, minat terhadap turuk laggai bisa menular ke bentuk-bentuk kebudayaan Mentawai lainnya. “Siapa tahu kelak akan ada pula yang tertarik jadi kerei,” kata Jacobus.<br /><br />Menurut ketiga kerei senior asal Dusun Salappa, Kecamatan Siberut Selatan ini, jumlah kerei di Mentawai makin berkurang. “Anak-anak muda sekarang tak banyak lagi yang tertarik jadi kerei, merela lebih suka sekolah ke Padang lalu pulang jadi pejabat, bisa kaya dan disegani masyarakat,” ujar Valentinus.<br /><br />Tak cukup mengutarakan kebanggaan dan keharuannya, ketiga kerei itu secara bersama-sama ikut membenahi busana dan aksesoris anak-anak yang akan tampil di pentas lomba turuk laggai tersebut.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-58590663907591699392008-11-26T01:38:00.002-08:002008-11-26T01:39:41.844-08:00Mulok Bumen Wajib DiterapkanSyaiful Jannah, Kepala Seksi Pendidikan Dasar dan Menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai mengakui Disdik wajib mendukung Bumen (Budaya Mentawai) sebagai mata ajar mulok (muatan lokal) di sekolah-sekolah sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang disusun sekolah-sekolah di Mentawai, karena itu Disdik tak bisa main-main, karena seperti kata Kortanius Sabelekake’, kalau kewajiban itu tak dilaksanakan Disdik berdosa pada masyarakat Mentawai. <br /><br />Hal itu dikatakan Kortanius, Ketua DPRD Mentawai, dalam ‘Seminar Muatan Lokal Budaya Mentawai, Peluang danTantangan Penerapan Muatan Lokal Budaya Mentawai’ yang digelar Panitia Pagelaran Budaya Mentawai 2008 dari YCM, di Dusun Mapaddegat, Jumat (14/11).<br /><br />“Kalau hukumnya wajib, dosa dong kalau Disdik tidak merealisasikannya?” gugatnya santai.<br /><br />Rivai Lubis, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan YCM yang didaulat menjadi moderator seminar ikut ‘mengompori’. “Semua pihak harus mendukung Disdik mewujudkan penerapan Bumen sebagai mulok di sekolah-sekolah Mentawai, agar dosa Disdik bisa dikurangi,” katanya.<br /><br />Dikatakan Syaiful, sebenarnya Disdik Mentawai sudah merencanakan beberapa bahan mulok yang menurut dia bukan hanya Bumen.<br /><br />“Mulok itu bukan hanya budaya, tetapi juga kesehatan, kelautan, lingkungan dan sebagainya yang potensial di daerah itu,” katanya. “Jadi kami sudah siapkan beberapa bahan mulok soal lingkungan bersama Coremap, juga beberapa hal lagi untuk mulok lingkungan,” katanya. Masalahnya itu tadi, ada keterbatasan SDM untuk melaksanakan mulok tersebut, katanya. Syaiful menolak menjelaskan lebih rinci kebijakan instansinya. “Itu sudah di luar kapasitas saya, maaf,” katanya.<br /><br />Menguatnya desakan masyarakat yang mengemuka di arena seminar membuat pihak Disdik gerah juga. Sermon Sakerebau, Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Mentawai, yang sejak semula mendukung penerapan Bumen, mengatakan sebaiknya semua perdebatan dihentikan, karena tak ada gunanya.<br /><br />Dia lalu memberi gambaran apa yang akan dilakukan Disdik ke depan, yakni membuat tim baru untuk mewujudkan Bumen sebagai mulok yang akan diajarkan di sekolah-sekolah yang ada di Mentawai. “Tim tersebut harus sudah menghasilkan tahun 2009,” katanya.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-16624165036970238622008-11-26T01:38:00.001-08:002008-11-26T01:38:50.117-08:00Enam Tahun Jalan Di TempatAgar Bumen kembali menjadi bagian yang melekat pada kehidupan keseharian masyarakat Mentawai, perlu dilakukan tindakan intensif, terutama untuk memperkenalkannya kepada generasi muda Mentawai yang kini seperti hidup di habitat orang lain.<br /><br />Sarana paling efektif, menurut Kortanius Sabelekake’, Ketua DPRD Mentawai, adalah keluarga karena sosialisasi dan enkulturasinya bisa berlangsung secara wajar tanpa dipaksakan, dan terus-menerus. Anak-anak akan menerima proses transformasi nilai-nilai budaya tersebut tanpa terasa.<br /><br />Setelah itu sekolah, karena sekolah bisa melakukan penetrasi Bumen secara sistematis dan terukur, sehingga anak-anak bisa menerima transfer nilai-nilai budaya tersebut secara sadar dan pemahaman mereka terhadap item budaya yang diajarkan bisa tepat dan terarah, karena sekolah punya metode pengajaran dan pengujian.<br /><br />“Masalahnya belum ada keseriusan eksekutif sampai sekarang untuk menjadikan Bumen itu sebagai mulok (muatan lokal) yang diajarkan di sekolah-sekolah. Kita belum tahu alasan sebenarnya mengapa rencana ini sampai tersendat-sendat, karena dulu—tahun 2007—sudah pernah dianggarkan dan kita di dewan sudah merekomendasikan,” katanya sat menjadi narasumber dalam ‘Seminar Muatan Lokal Budaya Mentawai, Peluang danTantangan Penerapan Muatan Lokal Budaya Mentawai’ yang digelar Panitia Pagelaran Budaya Mentawai 2008 dari YCM, di Dusun Mapaddegat, Jumat (14/11).<br /><br />Karena itu Korta (panggilan akrab Kortanius Sabelekake’) melontarkan pertanyaan khusus, terutama untuk semua pihak yang berkepentingan dengan eksistensi kebudayaan Mentawai. “Bijakkah kita kalau mendorong anak-anak mempelajari budaya-budaya lain, sementara budaya Mentawai sendiri dijauhkan dari mereka. Bijakkah kita?” gugat Korta.<br /><br />Faktanya, sekolah-sekolah di Mentawai, saat ini mayoritas mengajarkan BAM (Budaya Alam Minangkabau) sebagai muatan lokal, padahal kedua budaya ini sangat bertolak belakang dan tak bisa saling memakai.<br /><br />Menurut Korta, masalah budaya ini sangat penting karena menyangkut identitas etnik, harga diri etnik dan kearifan lokal. “Mau ke mana pun, mau di mana pun, mau kapan pun, orang Mentawai itu akan tetap dikenal sebagai orang Mentawai, kita tidak bisa menjadi orang lain, sekuat apapun kita ingin melupakan jati diri sebagai orang Mentawai,” katanya.<br /><br />Bahkan Korta menilai agama pun takkan bisa menghapuskan jati diri orang Mentawai, setaat apapun orang itu beribadah, karena budaya sudah mengakar lama sedangkan agama baru saja.<br /><br />“Adat dan budaya sudah lama menjadi bagian diri kita, sementara agama baru saja, kita bisa saja taat menjalankan ajaran agama, tapi itu takkan menghilangkan kementawaian kita, karena identitas etnik itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita melalui proses pembudayaan (sosialisasi, enkulturasi) yang telah berlangsung turun-temurun sejak lama,” tegasnya.<br /><br />YCM sendiri, selaku penggagas iven ini, menyadari hal itu sejak semula. Tarida Hernawati, staf YCM dari Divisi Pendidikan mengungkapkan bahwa mereka sudah menggandeng tenaga profesional pendidikan dari UNP (Universitas Negeri Padang), juga Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional serta Pusat Kurikulum Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat agar bisa menyusun sebuah model kurikulum yang akan disumbangkan kepada Dinas Pendidikan Mentawai. Tujuannya membantu agar Bumen sebagai muatan lokal itu segera terwujud, karena bila makin lama dibiarkan maka generasi muda Mentawai akan semakin jauh dari budayanya sendiri.<br /><br />“Tahun 2005 model kurikulum itu sudah diterima Kepala Dinas Pendidikan Ranting Siberut Utara, waktu itu dijabat Sermon Sakerebau—sekarang Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Mentawai—dan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Siberut Utara dengan fasilitasi YCM. Tahun 2007 diserahkan lagi ke Dinas Pendidikan di Tuapeijat dan disambut positif di tingkat Kepala Seksi, bahkan mereka berjanji membentuk Tim Rekayasa Kurikulum Muatan Lokal Bumen ini, tapi kemudian tak ada tindak lanjutnya. Baru hari ini ada kesempatan lagi,” ungkap Tarida usai acara penyerahan kurikulum yang disusun YCM pada pihak Disdik Mentawai.<br /><br />Ditolak<br />Upaya keras YCM dalam mewujudkan Bumen sebagai mulok ini tergolong penuh liku, karena bukan hanya pihak pemerintah yang terkesan enggan kembali menghidupkan Bumen. Penolakan masyarakat tak kalah kerasnya, terutama yang sudah nyaman dengan ‘budaya dan agama baru’ seperti penganut agama Islam, Kristen Protestan, Katolik dan anggota masyarakat yang merasa sudah modern.<br /><br />Penolakan itu dialami tim penyusun materi pelajaran Bumen saat sosialisasi awal di beberapa tempat, antara lain Saumanganya’ (Kecamatan Pagai Utara Selatan, kini masuk wilayah administratif Kecamatan Pagai Utara), Saureinu’ (Kecamatan Sipora, kini Kecamatan Sipora Selatan), Salappa’ (Kecamatan Siberut Selatan) dan Monganpoula (Kecamatan Siberut Utara).<br /><br />“Masyarakat terkesan menghindar. Tak ingin lagi kembali ke kebudayaan lama yang sudah mereka anggap ketinggalan,” kata Aldes Fitriadi, mantan Kepala Divisi Pendidikan YCM.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-21760558040253040582008-11-26T01:32:00.000-08:002008-11-26T01:35:08.370-08:00Bukan Mewariskan Tari-Menari<span style="font-style: italic;">Pengajaran Bumen (Budaya Mentawai) dalam paket ajar mulok (muatan lokal) bukan dimaksudkan untuk sekedar mewariskan tari-menari atau eksotisme budaya Mentawai lainnya, melainkan ada yang lebih penting dan justru itulah kuncinya.</span><br /><br />Kalau dipahami bahwa pengajaran Bumen sebagai mulok hanya agar anak-anak Mentawai bisa turuk laggai (menari), menyanyikan urai (lagu-lagu asli Mentawai), menikah dengan tata cara adat Mentawai, atau lain-lain semacam itu, maka dipastikan hal itu salah kaprah.<br /><br />“Bukan itu yang ingin diwariskan lewat Bumen, tapi substansi dari budaya Mentawai itu sendiri,” kata Aldes Fitriadi, mantan Kepala Divisi Pendidikan YCM dalam ‘Seminar Muatan Lokal Budaya Mentawai, Peluang danTantangan Penerapan Muatan Lokal Budaya Mentawai’ yang digelar Panitia Pagelaran Budaya Mentawai 2008 dari YCM, di Dusun Mapaddegat, Jumat (14/11).<br /><br />Menurut Aldes yang menjadi salah satu narasumber, ada lima hal substansial yang menjadi inti dari kebudayaan Mentawai yang perlu diwariskan sebagai kekayaan intelektual lokal yakni, pertama nilai dan norma-norma kekerabatan yang sangat kental nuansa kebersamaannya; kedua tata ruang daerah Mentawai yang sangat mempertimbangkan keserasian dengan lingkungan; ketiga sistem perladangan Mentawai yang sangat ramah lingkungan dan sangat bijak mengakomodasi kehendak alam; keempat ragam hayati tanaman obat yang sudah terbukti ampuh dan beberapa di antaranya endemik; dan kelima teknik pertukangan yang tergolong modern dan selaras dengan alam. Budaya Mentawai memang sarat nuansa kearifan lokal, sama saja dengan kebudayaan Nusantara lainnya, karena sama-sama menjadi alam sebagai guru.<br /><br />“Ragam hayati tumbuhan obat-obatan saja di Mentawai, menurut Dayar Arbain, ahli farmasi dari FMIPA Unand (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas), lebih dari 320 jenis, semuanya sudah terbukti berkhasiat,” kata Aldes.<br /><br />“Kalau tidak diwariskan dengan baik dari sekarang kepada generasi muda Mentawai ke siapa lagi sumber daya yang sangat kaya ini akan diwariskan? Haruskah peneliti-peneliti dari luar negeri lagi yang akan mengambil keuntungan?” gugatnya.<br /><br />Melalui Bumen generasi muda akan tahu lebih banyak potensi sumber daya alam mereka sendiri, terutama yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan dibutuhkan banyak kalangan di dalam negeri dan mancanegara. “Pemda bisa menyiapkan ahli-ahli farmasi Mentawai itu sejak dini, sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat dan daerah terus membaik di masa depan,” tambah Aldes.<br /><br />Begitu pula arsitektur tradisional Mentawai yang hanya mengandalkan teknik ikat dan pahat. “Sangat cocok untuk daerah yang rawan bencana, misalnya gempa, dan berada di tengah samudera seperti Mentawai,” katanya lagi.<br /><br />Jadi yang akan diwariskan melalui mulok Bumen itu bukanlah sekedar pengetahuan dan ketrampilan tentang tari-menari atau nyanyi-menyanyi yang sebetulnya juga penting, karena kesenian merupakan sarana pengajaran dan hiburan yang dibutuhkan masyarakat untuk memperkuat identitas etnisnya.<br /><br />Hal ini terkait pernyataan Kortanius Sabelekake’ pada seminar yang sama bahwa tanpa identitas etnis seseorang itu bukanlah apa-apa. “Kita bisa belajar budaya mana saja, tapi kita takkan pernah dikenal sebagai orang lain, selamanya kita akan dikenal sebagai orang Mentawai dan karena itu sangatlah penting mengenal dan mempelajari kebudayaan sendiri,” tegasnya.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-84779127403473432882008-11-26T01:25:00.000-08:002008-11-26T01:37:42.885-08:00Disdik Berkilah Tak Punya SDM<span style="font-style: italic;">Dinas Pendidikan Mentawai terkesan enggan menerapkan Budaya Mentawai, konon karena merasa dilancangi YCM. Benarkah?</span><br /><br />Apa yang membuat Dinas Pendidikan Mentawai seperti enggan menerapkan Bumen sebagai mulok? Sempat tersiar rumor bahwa Disdik merasa dilancangi YCM, sehingga Kepala Dinasnya Laurensius Polin Saleleubaja tak pernah mau merespon rencana ini.<br /><br />Ada pula yang mengatakan bahwa Disdik lebih suka anak-anak Mentawai tetap belajar BAM (Budaya Alam Minangkabau) sebagai mulok, karena Bumen dianggap tertinggal dan tidak signifikan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Mentawai, buktinya sejak awal kemerdekaan pihak pemerintah bersama kalangan agama-agama samawi dan budaya-budaya mayoritas terlibat aktif dalam upaya penghapusan Bumen dari bumi Mentawai. Jadi kenapa sekarang harus beda?<br /><br />Namun, ketika ditagih forum di ‘Seminar Muatan Lokal Budaya Mentawai, Peluang danTantangan Penerapan Muatan Lokal Budaya Mentawai’ yang digelar Panitia Pagelaran Budaya Mentawai 2008 dari YCM, di Dusun Mapaddegat, Jumat (14/11), kapan realisasi mulok Bumen ini di lembaga-lembaga pendidikan formal Mentawai, Syaiful Jannah, Kepala Seksi Pendidikan Dasar dan Menengah Disdik Mentawai yang menjadi narasumber mewakili kepala dinas, mengatakan Disdik sangat mendukung mulok Bumen ini, karena diwajibkan undang-undang.<br /><br />Menyitir bahwa pada tahun 2006 telah diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor: 22 tentang Standar Isi (SI), Nomor: 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan Nomor: 24 tentang Pelaksanaan SI dan SKL untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Syaiful menjelaskan bahwa mengacu pada SI dan SKL ini, sekolah-sekolah yang mampu (memiliki sumber daya pendidikan memadai), diharapkan pada tahun pelajaran 2006/2007 telah mengembangkan dan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk sekolahnya masing-masing. Sedangkan bagi sekolah yang kurang mampu, diharapkan paling lambat pada tahun 2009/2010 telah mengembangkan KTSP untuk sekolahnya.<br /><br />Nah menurut KTSP ini mulok wajib diajarkan di semua tingkatan pendidikan, sejak SD sampai SLTA dan Disdik wajib membuatnya terealisasi di sekolah-sekolah tersebut.<br /><br />Masalahnya, kata Syaiful, tidak mudah merealisasikannya, karena pertama harus dipersiapkan dengan matang, melibatkan beberbagai lembaga pendidikan di luar pemerintahan. Kedua sulit mencari orang yang akan menyusun materinya. Ketiga sulit mencari tenaga pengajarnya. Keempat sulit mendapatkan sarana pendukung yang dibutuhkan dalam aktivitas belajar mengajar. “Bukti kami mendukung tahun 2007 sudah ada Tim Rekayasa Kurikulum dan anggarannya,” kata Syaiful. Meski tim tersebut tak kunjung mmeperlihatkan hasil kerjanya.<br /><br />Namun kekuatiran Syaiful ditepis Selester Saguruwjuw, pengurus AMA-PM Kabupaten Mentawai asal Dusun Rogdog, Kecamatan Siberut Selatan. “Di dusun saya masih banyak rimata (kepala suku) yang bisa mengajarkan budaya Mentawai, mereka bisa dimanfatkan dinas kalau mau,” katanya.<br /><br />Soal kurikulum, masyarakat yang memadati ruang seminar mengatakan Disdik bisa menindaklanjuti model kurikulum yang dibuat YCM. “Itu kalau dinas benar-benar mau, kalau tidak berikan saja tugas itu ke YCM sekalian anggarannya, karena YCM sudah melibatkan berbagai lembaga berkompeten dalam penyusunan materi mulok itu,” kata Frans, seorang kepala sekolah dari Kecamatan Pagai Utara.<br /><br />Argumen Disdik makin terpatahkan karena ternyata Yayasan Prayoga Padang sudah menerapkan Bumen sebagai mulok di sekolah-sekolah mereka yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. “Kami terapkan sejak 2003, pengajarnya orang Mentawai yang kemudian mentransfer ilmunya ke guru-guru kami,” kata Ignatius, pengurus Yayasan Prayoga Padang yang juga jadi pembicara dalam seminar tersebut.<br /><br />Jadi saat ini SD Fransiscus Muara Sikabaluan dan sekolah-sekolah filialnya di Lubaga, Kulumen, Masaba, Bai’, Limau, Limu Kecamatan Siberut Utara; SD Santa Maria Muara Siberut dan sekolah filialnya di Ugai, Salappa, Gotap, dan SMP Yos Sudarso 2 di Kecamatan Siberut Selatan; serta SD Vincentius di Sikakap, Kecamatan Sikakap, telah menerapkan Bumen sebagai mulok sejak lima tahun silam. Bahkan beberapa sekolah negeri di luar Yayasan Parayoga di Kecamatan Siberut Utara juga nekad mengajarkan Bumen, meski tak diakui Disdik.<br /><br />“Masalahnya kami merasa kurang tepat mengajarkan BAM sebagai muatan lokal pada murid-murid kami yang mayoritas orang Mentawai,” kata Ignatius.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8708672628554308519.post-70793562813886785462008-11-26T01:20:00.000-08:002008-11-26T01:36:42.654-08:00Muatan Lokal Budaya Mentawai Kenapa Sulit?<span style="font-style: italic;">Mulok Bumen (Muatan Lokal Budaya Mentawai) seperti barang panas saja di Mentawai. Meski sudah digagas YCM (Yayasan Citra Mandiri) sejak tahun 2002 dan diusulkan untuk diajarkan di sekolah-sekolah Mentawai, pihak yang punya otoritas—dan juga anggaran—yakni Dinas Pendidikan Mentawai, terkesan enggan menerapkan.</span><br /><br />Bumen (Budaya Mentawai) bukan mahluk angkasa luar yang asing atau alien, dia sesuatu yang hidup dalam keseharian masyarakat Mentawai. Bumenlah yang memberi identitas etnis pada masyarakat Mentawai.<br /><br />Meski begitu, seperti juga budaya-budaya lain di dunia, Bumen juga sudah tergerus zaman karena interaksinya dengan berbagai unsur dari luar dan geliat perubahan dari dalam masyarakat Mentawai sendiri, namun yang esensial, substansial (nilai-nilai pokok) tak kan berubah jauh. Selamanya dia akan menjadi pedoman atau pegangan hidup masyarakat agar serasi dengan lingkungan tempat hidupnya, karena Bumen memang lahir dari pergumulan yang intens antara masyarakat dengan sesama dan lingkungannya.<br /><br />Tapi kondisi ini tak kan tercapai tanpa pemeliharaan, karena budaya bisa hidup kalau ada yang mendukungnya, yakni masyarakat. Jika masyarakat sudah berhenti memelihara produk kearifan yang secara turun-temurun diwariskan kepada mereka oleh generasi sebelumnya dan memilih budaya lain untuk dijadikan jalan hidup, maka budaya tersebut akan mati perlahan-lahan.<br /><br />Sekarang nilai-nilai budaya itu makin berjarak dengan generasi muda Mentawai. Menurut Yosep Sarogdog, Ketua Panitia Pagelaran Budaya Mentawai 2008, indikasinya sudah banyak. “Misalnya keawaman generasi muda terhadap bentuk-bentuk kesenian daerah atau alat-alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sudah banyak yang menikah dengan tata cara baru, yang bahkan tak jelas menggunakan adat mana,” kata Yosep.<br /><br />Urlik Tatubeket, Ketua AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat – Peduli Mentawai) Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan hal senada. “Jangankan hal-hal yang bersifat prinsipil seperti itu, turuk aja sudah banyak yang tidak tahu,” ungkap tokoh budaya yang juga pendeta ini.<br /><br />Urlik mengaku agama samawi ikut berperan dalam penghapusan Bumen, tapi katanya, segala tindakan keras di masa lalu tersebut tidak dimaksudkan untuk mencabut masyarakat Mentawai dari budayanya sendiri, meskipun hasilnya pada akhirnya justru seperti itu.<br /><br />“Karena itulah sekarang, kita semua wajib mengembalikan hak orang Mentawai yang selama ini telah dijauhkan dari mereka,” katanya.<div class="blogger-post-footer">http://community.kompas.com</div>imran ruslihttp://www.blogger.com/profile/02929982282737946280noreply@blogger.com0