Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Kerei, Aset Wisata Potensial Mentawai

Written By imran rusli on Sunday, November 23, 2008 | 11:11 PM

Kerei atau dukun memiliki posisi yang istimewa dalam kebudayaan Mentawai. Mereka bukan sekedar penyembuh atau tabib yang mengobati orang sakit, juga bukan sekedar penghibur yang menari di setiap punen atau lia (ritual adat), tapi mereka adalah satu-satunya penghubung antara manusia di dunia nyata dengan jiwa mereka sendiri, dengan jiwa segala mahluk hidup lainnya yang berhubungan dengan mereka, dengan jiwa-jiwa benda mati, serta dengan roh-roh yang baik dan jahat di alam fana. Tanpa mereka manusia akan menjadi sosok yang terseok-seok dan terancam selalu terlibat masalah yang bisa berujung malapetaka dalam menjalani rutinitas kehidupan karena ketidakmampuannya berkomunikasi dengan segala mahluk gaib tersebut.


Dalam kebudayaan Mentawai lama, yang erat hubungannya dengan sistem kepercayaan arat sabulungan, kerei menempati tempat yang sangat istimewa, tapi budaya semacam itu makin lama makin menghilang seiiring perubahan mendasar yang terjadi pada sistem kepercayaan masyarakat. Saat ini fungsi dan peranan kerei makin berkurang karena masyarakat sudah menemukan Tuhan baru yang bisa memenuhi kebutuhan spritual mereka melalui agama-agama saamwi seperti Katolik, Protestan, Islam dan lain-lain, akibatnya mereka tak butuh kerei lagi, karena Tuhan yang baru tersebut tak butuh perantara dan bisa segala bahasa.

Akibatnya, kerei menjadi sosok fenomenal yang ditinggalkan. Padahal dulu, apa yang tidak memerlukan campur tangan kerei? Nyaris tidak ada. Hampir seluruh tahapan kehidupan masyarakat mentawai membutuhkan bantuan kerei. Mulai dari membangun rumah, membuat sampan, melahirkan, mengalami kematian, berburu, sakit, menangkap ikan, membuka ladang, melakukan perjalanan, menikah, sampai meramal masa depan.

Ketika itu hampir setiap suku memiliki kerei sendiri, bahkan sering sampai lebih dari satu dan regenerasinya berjalan lancar. Meninggal kerei yang tua, naik kerei yang muda. Setiap desa tak pernah kesulitan kerei. Sekarang, ketika YCM (Yayasan Citra Mandiri) menyelenggarakan Pagelaran Budaya Mentawai 2008 di Tuapeijat, Kecamatan Sipora, yang salah satu acaranya punen uma baru (ritual peresmian rumah adat baru) kerei harus didatangkan dari Dusun Salappa, Kecamatan Siberut Selatan. Kawasan yang dikenal dengan nama Sarareiket tersebut—meliputi Kecamatan Siberut Selatan, Siberut Barat, Siberut Barat Daya, Siberut Tengah, Siberut Utara--memang masih menjadi gudangnya kerei, sementara Sipora, Sikakap, Pagai dan lain-lain tak punya kerei lagi.

Tak heran ketika menyaksikan tga orang kerei beraksi di uma YCM yang terletak di puncak Bukit Mapaddegat, kurang lebih 5 kilometer dari ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tuapeijat, ratusan orang Mentawai asal Sipora tak henti-hentinya melotot mengikuti setiap gerak-gerik ketiga kerei tersebut, mereka bahkan terkesan takut pada kerei yang berwibawa tapi humoris itu. “Bawaannya angker, serem deh,” kata seorang remaja perempuan asal Tuapeijat.

Eksotis
Kerei memang sosok eksotis yang selalu menarik untuk dipandang. Aksesoris yang mereka pakai langsung memikat mata, karena sangat berbeda dari aksesoris biasa. Selain memenuhi bagian-bagian tertentu badannya dengan dedaunan, kerei juga memakai banyak ngalou (kalung), inu (gelang), letcu (gelang pangkal lenggan) dan luat (hiasan kepala) yang terbuat dari manik-manik plastik berwarna-warni. Meski bukan produksi asli Mentawai, manik-manik tersebut sudah mereka jadikan aksesoris sejak ratusan tahun lalu.

Seperti belum cukup ada lagi tudda’ (kalung besar berbahan dasar kristal dan rotan atau bambu padat), yang menurut mereka dulunya didatangkan khusus dari Belanda oleh para serdadu kolonial yang terpesona dengan aktivitas kerei. Lalu ada katsaila dan sou-sou (dedaunan dan hiasan di kepala), abag ngalou (hiasan dada tempat segala jimat dan benda-benda sakral kerei disimpan saat muturuk (menari untuk menghibur roh nopn pengobatan atau mulajo (menari untuk pengobatan), jara-jara (bulu ayam yang dibungkus kain dan digantungkan di antara tengkuk dan punggung bagian atas), sabok (kain penutup pangkal paha) dan kabid (celana tradisional Mentawai yang terbuat dari kulit kayu).

Semua aksesoris dan atribut itu sudah tak dikenal orang di Sipora, Sikakap atau Pagai. Kalaupun kenal sifatnya samar-samar dan sangat tergantung dari orang tua atau nenek masing-masing. “Kalau nenek cerita pasti saya tahu, tapi nenek tak cerita jadi saya tidak tahu banyak soal kerei ini,” ujar seorang ibu asal Dusun Mapaddegat, yang sengaja datang ke uma YCM untuk menyaksikan aksi kerei dari dekat.

Fungsi kerei yang banyak dikenal masyarakat Mentawai di luar Siberut adalah sebagai tabib dan dukun peramal. Bagi mereka kalau ingin tahu apakah suatu pekerjaan atau perjalanan layak diteruskan maka panggilah kerei, agar dia meramalkan masa depan kita melalui usus ayam dan jantung babi. Bila sakit panggilah kerei agar dia bisa memilihkan daun-daun obat yang tepat untuk menyembuhkan orang sakit tersebut.

Padahal seperti telah diungkap di atas fungsi kerei tak sesederhana itu. Dia bukan ahli mengobati atau peramal ulung, tapi hanya orang yang dikarunia pengetahuan atau ketrampilan lebih untuk berkomunikasi dengan seluruh jiwa dan roh yang memenuhi alam semesta.

Bahkan untuk mengobati orang-orang sakit, daun-daun itu sendirilah yang menawarkan diri mereka ke kerei, bahwa merekalah dedaunan yang tepat untuk mengobati si sakit. Tarian kerei, makanan yang dipilihkan kerei juga ditujukan untuk membujuk dan menghibur para mahluk halus yang mendiami tubuh setiap benda (hidup atau mati) atau yang berkeliaran di dunia maya agar betah di sana atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan manusia. Semuanya hasil komunikasi kerei dengan para mahluk halus tersebut, bukan pandai-pandai dia saja. Untuk jadi kerei pun dia dipilih taika manua (penguasa tertinggi yang berkedudukan di langit, atau semacam Tuhan), bukan mau-maunya sendiri.

“Kalau ada kerei yang mengangangkat dirinya sendiri tanpa sepengetahuan kerei lain, dia apsti kerei gadungan, kata Urlik Tatubeket, Ketua AMA-PM Kabupaten Mentawai Jumat (14/11) malam pada Puailiggoubat dan Kompas di uma YCM.

Potensial
Menyaksikan minat orang Mentawai sendiri untuk tahu lebih banyak tentang kerei yang notabene adalah produk kebudayaan mereka sendiri, tak salah kalau dikatakan kerei memiliki potensi wisata budaya yang besar. Mungkin memang inilah peran yang tersisa bagi kerei setelah proses trasformasi dan perubahan zaman yang terjadi belakangan ini. Soalnya, kalau orang Mentawai sendiri tertarik, masa orang di luar etnis Mentawai tidak?

Pilihan peran ini tentunya bukan untuk mereduksi atau menggerogoti kesakralan kerei, melainkan sekedar alternatif metamorfosis agar kerei tak benar-benar hilang dari bumi Mentawai. Kerei asli silakan istirahat dan menyimpan segala atribut kesakralannya, kerei baru yang khusus diproduksi untuk kebutuhan pengetahuan, pelajaran, dan wisata mohon diperbanyak agar budaya Mentawai tidak lenyap pula bersama menghilangnya para kerei.

Kalau Anda tertarik, silakan ke Siberut Selatan dan menyewa pompong atau speedboat menuju Sarareiket, karena hanya di kawasan itulah kini gajeuma (gendang) dan jejeneng (genta) masih berbunyi mengiringi tarian kerei.

--------------------------------------------------
Biaya Transportasi dan Akomodasi di Siberut Selatan

KMP Ambu-ambu (kelas ekonomi): Rp65.000 + pungli pelabuhan Bungus Rp5.000. Tertera di tiket pas pelabuhan hanya Rp1.500 per orang, tapi diminta Rp5.000.

KM Sumber Rezeki Baru: Rp105 ribu (dek), Rp125 ribu (kamar), tapi jangan kecewa, kondisinya tak jauh beda dengan dek, hanya beda ‘peti mayat’ berbusa saja sebagai kotak-kota bertingkat dua untuk tempat tidur, ditambah jendela-jendela bulat di dindingnya (lumayan untuk memasukkan angin segar atau kalau mau muntah). Berangkat dari Pelabuhan Muara. Kapal ini jarang kosong, tapi selalu dibilang kosong, baru dikatakan penuh—mungkin—bila sudah banyak orang bergelantungan di dinding luar kapal. Anda harus mahir melangkah di antara kepala orang.

Ada lagi beberapa kapal seperti KM Subulat, KM Beriloga dan KM Simasin, tapi ukurannya lebih kecil dari KM Sumber Rezeki Baru, jadi takkan berangkat kalau angin agak kuat, karena bisa tenggelam dihantam gelombang yang membesar kala badai.

Dari Muara Siberut ke Rogdog, Ugai, Madobag, Matotonan, Salappa, Simatalu, Simalegi, Sakuddei dan lain-lain ada pompong dan speedboat yang seringkali harus disambung dengan jalan kaki. Biayanya untuk pompong Rp500 ribu – Rp1 juta (carter), speedboat Rp1 juta – Rp1,5 juta (carter). Kalau beruntung bisa numpang di pompong atau speedboat masyarakat yang kebetulan mau pulang ke Sarareiket. Tarifnya Rp50 ribu – Rp300 ribu per orang. Mau coba numpang sampan warga? Cukup bayar sebungkus rokok, atau Rp10 ribu, dengan catatan harus mau ikut mendayung dan bersedia bermalam di kandang babi orang. Biasanya butuh waktu 3 hari dua malam. Kalau mau jalan kaki bisa gratis, tapi seminggu baru sampai ke tujuan—itupun kalau sampai--dan banyak tidur di kandang babi. Hati-hati ular hijau.

Di Muara Siberut pilihan menginap tak banyak, yang terkenal hanya Penginapan Ibu Tio dekat lapangan bola Muara Siberut. Tarifnya Rp50 ribu – Rp100 ribu semalam.

Bagaimana? Tertarik nonton kerei?

0 komentar:

Post a Comment