Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Nadya Mimpi Mandi Cahaya

Written By imran rusli on Sunday, November 23, 2008 | 9:15 PM

Nadya tak bisa tidur malam itu. Matanya menerawang ke langit, mencari cahaya. Hatinya gondok, karena listrik terus-terusan padam. Hari itu bahkan sampai empat kali, masing-masing selama tiga jam. Total 12 jam keceriaan hidupnya terganggu oleh perusahaan milik negara yang katanya mengurus hajat hidup orang banyak itu. Maka, Nadya pergi ke teras, membawa bantal dan selimut, lalu berbaring telentang memandang langit, mencari cahaya.

Tak seorang pun di rumah. Kalaupun ada, tak seorang pun yang irama hidupnya sama dengan Nadya. Papa lebih suka baca buku, majalah atau koran. Mama? Tak ada yang lebih disukai perempuan itu selain ngerumpi bersama ibu-ibu teman pengajian atau Posyandu. Roni? Ah, adiknya itu hanya peduli play station, kalau sudah main most wanted seri 3, malaikat maut pun akan disuruhnya minggir. Ketika listrik padam, ketiga orang itu memilih kesibukan yang tetap saja tak ada hubungannya dengan dunia Nadya. Papa langsung menyalakan lilin dan meneruskan bacaannya. Mama, pergi keluar mencari rumah yang banyak orang berkumpul. Dan Roni? Adiknya itu akan menuju jalan di depan rumah, lalu melempar-lempar kunang-kunang dengan sandalnya. Jadi, tak ada orang di rumah. Hanya Nadya sendiri dan dunianya.

Listrik celaka! Atau mungkin lebih baik, orang PLN celaka! Mereka mungkin saja korupsi dan membeli generator murah untuk pembangkit listrik, atau sengaja memadamkan listrik untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Soalnya Nadya mendengar bahwa tagihan listrik PLN rata-rata melonjak, justru setelah listrik sering padam. Terkutuklah mereka dan nistalah anak-anak mereka yang diberi makan dengan uang hasil memperdaya orang. Nadya membiarkan hatinya menggerundel sejenak, lalu mulai memikirkan hal lain. Memikirkan cahaya. Dan dari teras rumah, pikiran seperti itu tampaknya cocok.

Di langit banyak sekali bintang. Pastilah cahayanya terang. Bukankah bintang itu matahari juga, dan matahari yang kita lihat dan nikmati cahayanya setiap hari adalah bintang juga. Nadya yakin semua bintang itu memiliki cahaya yang sangat terang. Jadi, dia punya keinginan baru. Nadya ingin mengambil beberapa bintang, 20 cukuplah, lalu menyusunnya satu per satu dalam formasi dan konfigurasi kesukaannya: gambar kuda.

Wow! Gambar kuda cahaya di kolam ikannya! Nadya tersenyum bangga. Dia menyunggingkan senyum ke bintang terjauh dan berbisik, "Kau akan kuajak, dan tak kan ada yang menyepelekan kau lagi." Dia ingin menjadikan bintang terjauh itu mata kuda cahayanya. Bagaimanapun, dia seolah-olah bisa merasakan nasib bintang itu. Nadya sangat tahu bagaimana rasanya dipinggirkan, disisihkan, dijauhi. Bukan dalam kehidupannya di luaran, tapi di rumah sendiri. Tak seorang pun menyukai jalan pikirannya, kecenderungannya, kesukaannya. Bagi orang-orang di rumahnya, Nadya adalah seorang pengkhayal, orang yang hidup dalam dunia semu. Tak ada yang bisa dijadikan pegangan dari orang-orang semacam itu. Jadi Nadya diabaikan. Dia tak kan pernah memberikan kontribusi yang nyata bagi keluarga itu. Jadi Nadya dipinggirkan. Tak pernah didengarkan, dan tak pernah dimintai pendapat. Kalau dia mendesakkan sesuatu, maka seluruh rumah bersatu melawannya.

Hhhhhhhhhhhhh, Nadya menghela nafas panjang. Cahaya yang dicarinya kini berpendar terang di langit. Banyak sekali bintang.Nadya berpikir lain lagi sekarang. Dia ingin meraup sekumpulan bintang dan meletakkannya di aquarium, lalu menggantungnya di langit-langit teras. Aquarium itu akan dibolonginya kecil-kecil sehingga satu per satu bintang-bintang di dalamnya jatuh. Saat itu terjadi Nadya akan memenjamkan mata dan mengajukan permintaan pada yang Maha Kuasa. "Berikanlah seluruh cinta orang di rumah ini untukku ya Tuhan, dan bahagiakanlah hidup kami sekeluarga."

Nadya tak minta berkuasa, tak minta jadi ratu di rumahnya. Nadya hanya ingin diterima, ingin dimengerti. Itu saja. Kalau saja semua orang di rumah mau saling mendengarkan dan saling percaya satu sama lain, Nadya pasti bahagia. Dia hanya ingin bisa bercerita panjang lebar dengan papanya. Dia hanya ingin saling menatap dan mengagumi mata masing-masing dengan ibunya, dan dia hanya ingin bisa saling bercanda dengan Roni, adiknya. Tak lebih. Dan bintang-bintang tadi--lewat perintah Tuhan--akan mengabulkan keinginannya. Dia akan segera melihat cahaya yang terang benderang. Dia akan segera hidup di dalamnya, bersamanya. Bermandikan cahaya.

Nadya masih mencari cahaya di teras depan rumahnya. Listrik masih padam dan orang-orang di kantor PLN masih tertawa terbahak-bahak. Entah karena apa, entah untuk apa. Bintang-bintang di langit makin banyak, menerangi malam dengan binarnya yang sayup-sayup sampai. Nadya tak bisa meraup mereka, tak bisa memungut mereka, tak bisa mengumpulkan mereka. Mereka terlalu jauh. Nadya tak berdaya. Dia memenjamkan mata dan kembali ke pikirannya.

Tiba-tiba selembar selimut cahaya melayang perlahan dari langit. Sepertinya selimut cahaya itu terbentuk dari ribuan bintang yang dirajut dengan benang cahaya sehingga saling terhubung satu sama lain membentuk selembar selimut cahaya yang kini melayang turun seperti daun di atas tubuh Nadya. Nadya ternganga, tak bisa mempercayai penglihatannya. Selimut cahaya itu tak terpanai indahnya, tak terkatakan, tak terucapkan, tak tergambar. Indah saja. Begitulah, Dan ketika selimut cahaya itu jatuh menyelimuti tubuhnya dengan lembut, Nadya merasakan kehangatan mengaliri pembuluh darahnya. Selimut cahaya itu todak panas, tapi hangat seperti halnya selimut.

Kini, tubuh Nadya terbungkus pendaran beribu cahaya. Dia seperti ratu cahaya yang terang benderang.Karena itu Nadya tidak ingin hanya berbaring berselimutkan cahaya. Dia ingin berdiri dan mengubah selimut itu menjadi jubah. Ya jubah, sehingga dia bisa terlihat seperti seorang ratu yang berwibawa.

Perlahan Nadya mencoba duduk, tapi selimut cahaya itu menahannya. Tiba-tiba saja dia menjadi berat, sehingga untuk duduk pun Nadya tak bisa. Dia mencoba sekali lagi, kali agak keras. Ttap tak bisa. Selimut cahaya itu seperti memberat, meski tetap hangat dan lembut di tubuhnya. Nadya bingung. Tak megerti apa maunya selimut cahaya itu.

Lalu sekali lagi kejutan. Tiba-tiba dari langit jatuh seperti ribuan butir hujan menuju tubuhnya, hujan yang lembut dan terang benderang. Itulah hujan cahaya yang ditunggu-tunggu dan didambakan Nadya. Hujan cahaya itu turun makin banyak dan makin banyak, setiap kali membentur lembut tubuh Nadya, butiran cahaya itu pecah menjadi ribuan butir cahaya baru yang tersebar ke mana-mana. Semarak dan menerangi.

Lalu Nadya ingat mamanya. Dia ingin berdiri memanggil perempuan itu. Tapi tubuhnya tak bisa diajak berdiri. Maka dipanggilnya saja. "Mama, Mama, di mana mama. Lihatlah cahaya memenuhi tubuhku," panggilnya.Namun sia-sia, perempuan itu tak ada di mana tempat seharusnya dia ada.

Kali ini ganti papa yang dipanggil Nadya. Sosok itupun tak ada. Entah ke mana.

Nadya tak jadi memanggil Roni, takut panggilannya kembali sia-sia. Jadi dipejamkannya saja mata, menikmati ketidakberdayaannya dalam selimut dan curah hujan cahaya, yang makin lama makin benderang.

***

Nadya dimakamkan pukul 7 pagi ini. Aku dapat kabar subuh tadi, dari Janet. Sobat cantikku itu meninggal kemarin malam. Sepotong kabel listrik di teras rumahnya jatuh menimpa leher Nadya, bersamaan dengan menyalanya listrik.

Tapi dia tersenyum.

Bibir indahnya itu menyunggingkan senyum yang sangat bahagia, sehingga kalau aku mati nanti aku ingin mati seperti Nadya: bahagia, karena mungkin hanya itulah satu-satunya kebahagiaan yang bisa kunikmati.


Padang 16 September 2008

untuk Dewi Aurora,
Kau takkan pernah memaafkan aku, tapi maafkanlah, supaya hatiku yang merana tak lebih lama terlunta-lunta di lorong kebencianmu


PS: Cerpen ini belum pernah diterbitkan, trus buat teman-teman yang mungkin mau membantu saya punya banyak cerpen yang pernah diterbitkan tabloid Nova, Citra, Harian Kompas, Bisnis Indonesia dan Warta Kota yang hilang dari daftar koleksi saya, kalau ada yang punya sudilah kiranya mengirimkan ke saya (ealah memelasnya!)

0 komentar:

Post a Comment