Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Wanita Salappa’, Bergerak

Written By imran rusli on Wednesday, February 25, 2009 | 2:02 AM

Karena keterpinggiran yang begitu lama wanita Salappa’ hampir-hampir tidak terdeteksi di permukaan. Semua dinamika mereka tenggelam di balik keterisolasian. Terpilihnya seorang warga Salappa’ sebagai Kepala Desa Muntei bagaimanapun telah memberikan sepercik harapan yang membuat wanita Salappa’ mulai menggeliat dan menatap masa depan dengan mata yang terbuka.

Oleh Imran Rusli

Cahaya berbinar di mata Mariani Satoinong (25). Istri Kepala Desa Muntei terpilih Tulutogok Tasiripoula ini merasakan semacam dorongan untuk berbuat, dorongan untuk mengkolidasikan semua potensi wanita Salappa’ guna mencapai kemajuan.

Ketika diajak berbincang tentang apa yang mungkin bisa diperbuat wanita Salappa’ ke depan, wanita yang sebenarnya masih berusia 20-an ini terlihat bersemangat. “Banyak sekali Pak, kami bisa belajar merajut, menyulam, membuat aneka makanan dari pisang atau keladi, segala sesuatu yang bisa membantu meningkatkan ekonomi keluarga,” katanya pada Puailiggoubat di Salappa’, Rabu (12/2).

Sebagai perempuan Mentawai, Mariani tampaknya sadar beban kaumnya dalam struktur kebudayaan Mentawai sangat berat. Sebagai kepunyaan uma suami kewajibannya jelas: mencari ikan atau lokan ke sungai, mengurus ladang keladi, mengurus ladang nilam, menyiapkan segala keperluan rumah tangga,mengurus suami dan anak-anak, juga mertua dan ipar-ipar, itu berarti mencuci, memasak, memandikan anak, memberi makan ayam dan babi, semua kegiatan yang bermula sejak subuh buta sampai tengah malam. Tak henti-hentinya.

Tapi semua itu tak memberi pembenaran untuk mengeluh. Tradisi biarlah begitu. Bagi Mariani mensiasati posisi kaumnya dalam budaya jauh lebih penting. “Itu sudah jelas, tanggungjawab kita wanita Mentawai, tapi bukan berarti tak bisa melakukan yang lain,” katanya enteng.

Posyandu
Menurut Mariani di Salappa’ ada kegiatan Posyandu, bahkan kegiatannya teratur setiap bulan. “Pada minggu-minggu pertama atau kedua setiap bulan,” katanya. Bagaimana kalau ada yang melahirkan? “Tak masalah, di sini ada 4 dukun bayi, semuanya terlatih, juga ada 5 kader Posyandu yang siap dilatih untuk membantu-bantu kalau nanti Pustu sudah bisa beroperasi dengan tenaga medis dari kabupaten,” katanya.

Mariani menegaskan memang ada sedikit masalah dengan kader-kader kesehatan dusun yang berusia tua, soalnya mereka selalu kesulitan dalam mengikuti pelatihan-pelatihan kesehatan. “Pelatihan umumnya kan berbahasa Indonesia, mereka kesulitan, maklum orang tua, akhirnya banyak yang mengundurkan diri, tapi yang baru-baru dan muda-muda masih banyak, asal rajin mengikuti pelatihan saya rasa takkan ada masalah,” katanya optimis.

Sekarang, menurut Mariani, ada 35 balita dan ibu hamil yang rutin ke Posyandu. “Mereka sudah sadar bahwa kesehatan kandungan dan balita itu sangat penting dan harus selalu dipantau,” ujar perempuan yang tak sempat menamatkan pendidikan di SMP ini, tapi terkenal cerdas dan pernah menjadi ketua OSIS di sekolahnya SMPN 1 Muara Siberut.

Menyulam
Merajut, menyulam, menenun semuanya adalah pekerjaan asing untuk wanita Mentawai, termasuk wanita Mentawai di Salappa’. Keahlian mereka adalah menganyam dan menjahit. Rotan, kulit rotan, bambu, pelepah sagu bisa mereka anyam dan jahit menjadi jaragjag (tikar rotan), opa (keranjang rotan), bakhulu (tas kerja kerei), balokbok (tempayan sagu), tapri (wadah tempat menyimpan tepung sagu). Tapi kalau harus merajut renda, menenun kain atau menyulam mereka menyerah.

“Bukan tak bisa tapi tak biasa, jadi kalau rajin belajar kami pasti bisa,” kata Maryani. Dan dia melihat kesempatan dan pentingnya belajar ketrampilan-ketrampilan tersebut. “Mentawai punya motif-motif yang berbeda dan unik, kalau ada yang mengajari kami mengubahnya menjadi cendera mata cantik, saya yakin kami akan memiliki sumber mata pencarian sampingan baru yang kalau diseriusi akan sangat membantu ekonomi keluarga,” katanya lagi.

Kuliner
Peluang serupa serupa juga dilihatnya di bidang makanan (kuliner), meski dalam bentuk yang sangat sederhana. “Wanita di sini bisa membuat keripik dari pisang dan keladi, masalahnya sama saja, tidak biasa, bukan tidak bisa,” katanya.

Dia tidak mempersoalkan pasar dan pemasaran. “Setiap Selasa kan ada pasar mingguan di Muara Siberut. Pisang dan keladi banyak sekali di sini, sementara minyak goreng bisa dibuat dari kelapa. Kuali penggorengnya juga tak kurang. Ajari kami, lalu para suami bisa membawa olahan kami itu setiap Selasa dengan pompong ke Muara,” ujar dia yakin.

Mariani tahu cemilan semacam itu harus dikemas dengan kemasan yang baik, sehat dan cantik. “Kita sudah sering melihat contohnya di Muara, tak masalah,” katanya lagi. “Plastik bening pun cukup.”

0 komentar:

Post a Comment