Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Naik Kereta Api Ah Ih Uhk

Written By imran rusli on Wednesday, November 26, 2008 | 9:31 AM

CITIZEN JOURNALISM: SIAPA SAJA, MENULIS APA SAJA

*) Baru-baru ini Sumbar kebagian lima gerbong kereta api baru buatan PT INKA seharga Rp14 milyar, katanya sih buat menghidupkan lagi dunia perkeretapian Sumbar yang nyaris jadi zombie, peristiwa ini membawa saya ke masa lalu

Bicara kereta api, saya ingat betul, tahun 1967 – 1970 adalah tahun-tahun yang sangat indah. Saya dan nenek sering bolak-balik Padang – Sungai Limau dengan kereta api. *Nggak deng*! Dari Lohong, Sungai Limau, kami jalan kaki ke Nareh, karena waktu itu bus dan bendi sangat jarang dan jalan belum diaspal mulus seperti sekarang.

Buset nyerocos aja, tu Lohong, Sungai Limau en Nareh tu di mana Cing?

Semuanya di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, kira-kira 70 kilometer di barat laut Kota Padang, puas?! Nah, dari Nareh baru tuh naik kereta api.

Saya masih ingat *mak itam* itu. Lokomotifnya sungguh angker dan berwibawa. Selalu ada orang dengan sekop di tangan dalam ruang lok. Tugasnya, kata Uci La, nenek saya, adalah menyekop batu bara dan menuangkannya ke dalam tungku pembakaran yang garang menyala. Saya ingat orang itu hanya pakai singlet saja, saking panasnya tungku yang harus dilayaninya tiap hari. Setelah dewasa saya melihat lagi sosok lelaki itu dalam film-film cowboy yang ada kereta apinya. Perjalanan dengan kereta api dari Nareh ke Stasiun Padang pelan banget, tapi pemandangan yang tersaji lewat jendela gerbong kayu bukan main indahnya, apalagi bagi orang yang gila jalan-jalan kaya' saya. Jadilah, mata saya melotot terus ke luar jendela mengikuti pepohonan, sawah-sawah, rumah-rumah penduduk, pantai, sungai, perbukitan, hutan dan seterusnya yang seperti berlari di samping kereta.

Hasilnya, wajah dan mata kadang-kadang harus diseka cepat-cepat karena asap hitam dari lokomotif yang terbawa angin ke belakang menerpa, tapi toh tak urung wajah saya hitam juga dibuatnya. Di stasiun-stasiun seperti Pariaman dan Lubuak Aluang, kereta api berhenti agak lama. Memberi kesempatan pada penumpang dan pedagang asongan turun naik. Tapi pedagangnya sopan-sopan, tak seperti pedagang di kereta api kelas ekonomi lintas Jawa yang kasar dan cenderung memaksa, apalagi pengamennya yang tak jelas maunya itu, pengen nodong apa ngamen...hi hi siapa suruh naik kereta ekonomi, naik yang kelas eksekutif laa, nyaman tenan, pasti! Yang dijajakan biasanya telur asin dan pisang rebus, ada juga ‘rakik maco’ (peyek ikan), sala (tepung beras campur ikan busuk lalu digoreng) atau kerupuk pisang serta onde-onde (walah jadi ngiler nih). Harganya waktu itu, kalau nggak salah, seringgit bisa dapat sepangkuan!

Ya saya masih mengalami jajan dengan uang seringgit atau serupiah. Warnanya biru dan merah. Birunya kaya' uang Rp50 ribu sekarang dan merahnya kaya' uang Rp100 ribu sekarang, bukan yang palsu tapi. Tak perlu saya ceritakan bagaimana nenek sibuk membelikan saya jajanan tersebut, yang pasti saya tak ingat kami butuh berapa lama dari Nareh sampai Stasiun Pulau Aie (stasiun terakhir di Kota Padang) yang saya ingat, saya sudah mahir melompat dari kereta api yang sedang berjalan ketika berumur 7-9 tahunan itu dan rel ke Pulau Aie belum ditumbuhi rumah-rumah penduduk seperti sekarang. Tahun 1973, ketika duduk di kelas V SD Pertiwi II, saya dan kawan-kawan di Subarang Padang (di mana sih), antara lain Des dan Epa (siapa sih), suka bolos sekolah hanya untuk ‘raun-raun’ dengan kereta api ‘baro’ (kereta pengangkut batu bara) ke Kayu Tanam.

Kami naik beramai-ramai dari Stasiun Padang saat semua gerbong kosong karena muatannya sudah dibongkar di Taluak Bayua (Teluk Bayur, Taluak Bayua itu nama aslinya, tapi diindonesiakan oleh orang-orang sinting, padahal bayur itu takada artinya dalam bahasa Padang/Minang) dan berdiri di bagian belakang gerbong. Tapi jangan kira itu mudah. Masinis dan teman-temannya di loko takkan membiarkan anak-anak naik gerbong-gerbong tanpa tempat duduk itu, mereka akan mengejar kami dan menyuruh kami turun. Tentu saja kami turun, wong mereka besar-besar dan galak. Namun setelah kereta jalan kami selalu bisa melompat naik dan para petugas yang sebenarnya takut kami celaka itu, terpaksa membiarkan sambil mengomel panjang pendek. Di Kayu Tanam kami biasa turun dan mandi-mandi di sungainya yang super jernih. Whuii enak *tenan*!

Saking asyiknya mandi, kami sering ditinggal kereta yang datang dari Sawahlunto, kereta dengan gerbong yang sarat batu bara, karena memang muatannya. Akibatnya, saling menyalahkan dan biasanya Epa harus membayar minuman karena dia yang selalu punya duit, sebelum kami memutuskan mau pulang pakai apa. Biasanya pula kami tak menumpang bus-bus penumpang, karena bayar, tapi mencoba menyetop mobil-mobil pribadi yang datang dari arah Padangpanjang dan Bukittinggi. Istilahnya kerennya liften. Tapi dasar Padang pelit, tak ada yang mau menumpangkan gerombolan anak-anak seperti kami, semua lewat saja, menoleh pun tidak. Akhirnya, kami bisa pulang dengan truk pengangkut semen. Itupun dikerjai dulu oleh supirnya, dia bilang menumpang di bak belakang sebenarnya tidak diperbolehkan, kalau dilihat polisi dia bisa ditilang dan harus keluar uang banyak (terbukti polisi pungli sudah sejak dulu yeee). Jadi kami disuruh tiarap di lantai truk yang penuh debu semen, lalu ditutup dengan terpal tebal. Huh panasnya tak tertahankan. Karena bego kami patuh saja.

Hasilnya, ketika turun di Simpang Haru (ini udah dalam Kota Padang, dekat stasiun utama), kami sudah mirip pemain tonil kesiram debu. Putih semua. Eh supir dan temannya serta orang-orang di pasar Simpang Haru yang menyaksikan kami turun, malah tertawa terpingkal-pingkal. Kami juga, akhirnya tertawa. Abis mau apa lagi? Marah? Mau marah ama siapa Nyong? Kucing?

Tahun 1975-an, saya juga sempat menikmati asyiknya naik kereta api dari Sawahlunto ke Padang. Lewat lubang kalam Muaro Kalaban dan Lembah Anai, serta jalur rel bergigi dar Padangpanjang ke Kayu Tanam (yang dari Sumbar pasti kenal tempat-tempat ini, yang dari luar Sumbar melongo aja deh atau sok tau aja, siapa yang larang?). Satu-satunya yang saya ingat adalah pemandangan yang sangat indah ketika melewati Lembah Anai. Kenangan itu muncul lagi, ketika saya bolak balik Jakarta Bandung dengan kereta api, saat bekerja di majalah Voice of Nature, Jakarta.

Jadi ketika lima gerbong baru itu datang, saya jadi semangat, karena

1. Tak harus mengulang sejarah, ngejar-ngejar kereta api pengangkut batubara lagi karena kereta penumpang udah ada.

2. Bisa naik kereta tanpa harus menutup wajah, kan lokonya diesel, tak pakai batubara lagi.

3. Meski tanpa nenek, saya udah bisa naik kereta api sendiri.

4. Udah bisa bayar tiket kereta, jadi tak perlu nyolong-nyolong lagi dan numpang truk semen bak terbuka yang mesti ditutup terpal dan harus turun bak pemain tonil di pasar yang ramai warga.

5. Bisa napak tilas ke Nareh dengan kereta api, mengulang kisah lama.

6. Apalah, ntar dicari.

----

Kisah ini udah dimuat di Koki (Citizen Journalism Kompas.com) dan dilengkapi foto-foto bagus oleh Asmod (waktu itu Zev, boss Koki lagi off). Tq Zev.

0 komentar:

Post a Comment