Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Ada Cinta di Padang Lama

Written By imran rusli on Sunday, November 23, 2008 | 8:52 PM

Ada sepenggal kenangan di Padang Lama, ketika cinta marak membara atau ketika tubuh terguncang-guncang di bak mobil penjemput anak-anak TK…

Adakah yang tahu bahwa Muaro adalah pelabuhan paling sibuk di kawasan pantai barat di awal abad ke-18? Waktu itu, bersama Bengkulu, Pariaman, Tiku, Aie Bangih, Muaro bukan hanya merupakan pelabuhan dagang yang ramai, tetapi juga pangkalan militer yang berwibawa. Gudang-gudang perusahaan besar, waktu itu disebut the big five, karena jumlahnya lima, dibangun berderet di sepanjang sisi utara Batang Arau, bersebelahan dengan tangsi-tangsi militer Belanda. Para cukong dan petinggi militer senang minum bersama atau bertukar cendera mata di sini.
Dari sinilah Belanda mengawasi keamanan daerah jajahannya seperti Bukittinggi, Bonjol, Sawahlunto, Mentawai, dan Padang sendiri serta menyetok logistik dan memobilisasi pasukan bila ada indikasi perlawanan rakyat. Ketika rakyat Pauah menyerang Kota Padang 7 Agustus 339 tahun silam, yang mereka serang adalah tangsi-tangsi Belanda di Muaro.
Bank-bank besar juga mengambil tempat di sekitar kawasan ini karena uang yang beredar banyak sekali, maklum Muaro bukan hanya sekedar muara bagi air Batang Arau, melainkan juga muara dari berbagai rempah dan hasil bumi lainnya yang mengalir dari pedalaman Sumatera Barat, seperti pala, cengkeh, casiavera (kulit manis), kopra, batubara, emas dan lain-lain.
Tak jauh dari Muaro ada Pasa Gadang, Pasa Batipuah, Pasa Borong, Pasa Mudiak dan Pasa Tanah Kongsi. Semua pasar itu merupakan sentra bisnis utama Kota Padang doeloe, sebelum Pasar Jawa dibuka. Sampai sekarang bekas-bekasnya, berupa ruko-ruko dan pergudangan berarsitektur khas Cina Belanda, masih bisa dilihat, meski sudah banyak yang ditinggalkan atau berubah fungsi menjadi sarang walet.

Ada Cinta
Di banyak negara maju, bagian kota lama biasanya dipelihara dengan baik dan dijajakan sebagai obyek wisata sejarah. Pangsa pasarnya bukan hanya orang-orang tua yang punya kenangan manis atau ikatan emosional dengan kawasan tersebut, tetapi juga para anak muda yang menyukai sejarah atau romantisme masa lalu. Anak-anak muda yang tidak mau tercerabut dari akar. Mereka menggali masa lalu kota dan juga dirinya dari bangunan-bangunan tua yang masih berdiri dan membaca sejarah mereka sendiri dari situ.
Padang lama, bagaimanapun menarik sebagai tujuan wisata. Ada pesona lain di sana, yang tak dimiliki kawasan Kota Padang lainnya. Terutama bagi keturunan Belanda dan orang-orang Tionghoa yang pernah bertugas, berdagang atau berdomisili di kawasan tersebut. Ada kenangan yang tak bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun. Ada memori yang terpatri jauh di lubuk hati yang bisa memunculkan kembali rasa gembira, kesedihan terpendam, atau keharuan mendalamhanya dengan melihatnya saja. Ragam rasa yang bisa muncul silih berganti bila setiap jengkalnya ditelusuri kembali.
Misalnya di Pasar Borong, ada sepotong cinta di sana, ketika pulang kursus di Elia, kekasih hati dicolek preman kampung, tak pelak lagi tinju hampir melayang, untung si preman segera minta maaf, kalau tidak mungkin kenangannya akan beda. Kenangan lain justru berbentuk bunyi gradak gruduk bagian belakang mobil penjeput anak-anak TK Cendrawasih II ketika melewati jalan di antara gedung-gedung tua itu 42 tahun yang lalu. Bunyi itu terus bersipongang di telinga, sampai sekarang.
Dari arsitekturnya yang khas orang juga bisa mempelajari asal usul kota dan trend gaya waktu itu. Wajahnya makin terkuak setelah gedung-gedung tua tersebut direnovasi dan dibangun lagi sesuai aslinya, seperti yang kita lihat di gedung HBT (Himpunan Bersatu Teguh) di Jalan Kelenteng, Hotel dan Plaza Ambacang di Jalan Bundo Kanduang, Hotel Batang Arau di Jalan Batang Arau. Bangunan-bangunan tersebut sungguh cantik dan kokoh serta bernilai ekonomi tinggi. Beda sekali dengan bangunan-bangunan sekarang, yang digoyang gempa sedikit saja sudah ambruk.
Sayang suasananya belum bisa dihidupkan kembali, karena aktivitas perdagangan—terutama sebagai area pergudangan—masih terus berjalan. Di Pasa Gadang misalnya, puluhan truk-truk besar bongkar muat setiap hari. Kesan kumuh—dengan begitu—tak bisa dihindari. Padahal pemerintah pusat pernah menunjukkan perhatian yang besar terhadap kawasan ini. Bantuan rehabilitasi sebesar Rp1 milyar pernah diberikan, tapi hanya cukup untuk mem-pavingblock beberapa pelataran bangunan tua dan mengecatnya jadi warna-warni, yang di tahun berkiutnya sudah kusam lagi. Tapi bagaimana lagi, hidup harus terus berjalan, banyak rakyat tergantung pada aktivitas ekonomi di kawasan tersebut, misalnya kuli angkat dan buruh panggul, serta pedagang makanan di warung-warung sederhana.

0 komentar:

Post a Comment