Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Datuak

Written By imran rusli on Sunday, November 23, 2008 | 9:11 PM

Rombongan itu datang dari kampung. Melihat mereka di teras kening Burhan langsung mengerinyit. Istrinya malah langsung merengut. Ada apa orang kampung ini datang ramai-ramai? Berapa lama pula mereka akan berada di sini? Jangan harap ada tawaran menginap. Suami istri itu sudah berkata-kata dalam hati. Menerima satu orang saudara dari kampung saja, tak boleh lebih dari tiga hari--kecuali keluarga istrinya, bolehlah seminggu--bagaimana pula dengan tamu yang berjumlah 10 orang ini? Burhan menggerutu dalam hati.
"Begini Uda, ini momennya, ini peluang kita untuk mambangkik batang tarandam," Pendi memulai mukadimah. Memberi tahu maksud kedatangan mereka, setelah dengan berat hati Burhan mempersilakan mereka masuk.
"Batang tarandam apa? Untuk apa mambangkik batang tarandam, kan batangnya sudah busuk," kata Burhan acuh tak acuh.
"Bukan begitu maksudnya Uda, tapi saatnya untuk kembali berjaya, mengangkat martabat kaum kita."
"Hmmm, aku tak melihat hubungannya?"
"Ya, makanya Uda dengarlah dulu," Pendi mengelus janggut jarangnya. Kepalanya mulai gatal. Reputasi Burhan dan istrinya yang selalu berkata tidak bila diminta untuk peduli kampung mengganggunya. Tapi upaya ini harus berhasil...
Maka berceritalah Pendi, ditimpali 9 rekannya yang lain. Di kampung mereka kini banyak partai mencari caleg, calon legislatif. Nah peluang untuk menjadi caleg tersebut sangat terbuka lebar, karena partai-partai politik itu benar-benar sedang butuh. Asal ada modal sedikit, jadi caleg jadi itu paling gampang.
Burhan mulai tertarik. Dia sudah mendengar enaknya jadi anggota dewan. Ke mana-mana dihormati orang, suaranya lantang dan didengarkan semua orang, tak peduli pejabat, penguasa dan pengusaha, semua tak pernah mengabaikan suara anggota dewan, saking takutnya banyak pihak yang menyogok dan menyuap mereka, seperti yang kini terungkap di berbagai media massa, seperti yang tiap hari dibaca dan dipirsa Burhan.
Istrinya juga mulai tertarik dan pasang telinga. Kali ini sudah ada perintah untuk membuatkan minuman. Juli, pembantu mereka tercengang mendengar perintah majikannya yang tak lazim itu, tapi segera dikerjakannya.
"Apa benar peluangnya besar, aku harus keluar duit berapa?" Burhan pura-pura skeptis.
"Jangan tanya duitnya dulu, Uda harus dibikin besar dulu," kata Pendi.
"Dibikin besar? Bagaimana caranya?"
"Nah, kalau itu gampang. Bisa kami urus di kampung."
Kali ini Mirna menyuruh Juli mengeluarkan kue-kue. "Bagaimana kamu ini, sudah tahu ada tamu dari kampung lambat-lambat pula mengeluarkan kue, cepatlah, ambil yang di lemari," katanya memerintah pembantunya, yang makin bingung saja melihat perubahan drastis majikannya.
"Bagaimana caranya Da Pendi? Bagaimana caranya membuat Uda Burhan ini jadi besar? Bukankah selama ini sudah besar?" tanya Juli mendesak Pendi. Tamu-tamu yang lain mulai senyum simpul dan saling pandang satu sama lain. Ini betul-betul perubahan besar, biasanya, jangankan ikut bicara, di kampung pun, kalau pulang, Mirna tak pernah mau menemui mereka. Bagi perempuan itu, orang-orang kampung dan sanak keluarga hanyalah parasit yang mengincar harta mereka, yang kalau dibaik-baiki pasti akan ngelunjak, minjam duit lah, minta dicarikan pekerjaan lah, dan lain-lain, yang selalu membuat Mirna kesal.
"Mereka pemalas, taunya menadahkan tangan saja, dulu waktu kita dalam keadaan sulit, mana ada mereka yang membantu? Malah melecehkan dan menghina. Apa Uda sudah lupa? Jadi, kita tak punya utang apapun pada mereka," katanya pada suaminya setiap kali. Burhan setuju-setuju saja. Dia takut pada istrinya. Lagipula, dia merasakan kebenaran ucapan perempuan yang telah 15 tahun dinikahinya itu. Orang kampung memang tak pernah membantu, mereka hanya pernah menghina dan merendahkannya, meski setelah Burhan kaya mereka bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dan selalu mengharapkan kemurahan hatinya.
Burhan seorang pengusaha barang bekas yang sukses. Omzetnya kini mencapai milyaran rupiah sebulan. Meski mitra kerjanya hanya para pemulung, Burhan punya ribuan pemulung yang siap memasoknya. Ini membuat posisinya sangat bagus di mata kalangan pabrikan yang bergerak di sektor industri daur ulang. Kekayaan itu juga membuat pergaulan Burhan melebar, sampai ke Kapolda, Danrem, Gubernur, Walikota, Bupati dan seterusnya. Boleh dikata dia selalu diundang kalau ada hajatan besar di provinsi, dan selalu menyumbang tentunya.
Sebenarnya sudah banyak tawaran dari partai-partai politik di rantau ini untuk menjadikannya caleg, tapi Burhan selalu menampik. Soalnya kompensasi yang mereka minta terlalu besar, tidak seimbang menurut kalkulasi Burhan. Masalahnya, kata salah satu ketua partai politik itu, yang berminat juga banyak dan mereka sanggup memenuhi permintaan partai. "Ala, masak Rp2 M banyak menurut Pak Burhan, geleng saja tuh bagi Bapak," ketua partai itu kembali merayu. Tapi Burhan sudah tak mau. "Rp2 M? Mendingan kuputar lagi!" dengus Burhan. Apalagi dana sebesar itu tak membuatnya terdaftar sebagai calon jadi.
Tapi Burhan sangat ingin jadi anggota dewan. Kalau bisa malah walikota atau gubernur sekalian, namun Burhan sadar popularitasnya masih jauh. Makanya, tawaran dari orang-orang kampung ini sangat menarik minatnya. Burhan berhitung, kalau di sini partai minta Rp2 milyar, di kampungnya Rp500 juta pasti sudah sangat banyak. Dia akan jadi caleg emas partai tersebut, pasti jadi. Wah, angan-angannya langsung terbang ke langit ketujuh. Terbayang penghormatan masyarakat dan pandangan kagum dari mereka yang akan diterimanya setiap hari...

***

"Uda harus dilewakan dulu jadi datuak," kata Pendi menekankan.
"Untuk apa, bukankah uang saja sudah cukup?"
"Oooo tidak Da, kurang marwahnya tuh. Kalau Uda jadi datuak, pamor Uda akan lebih tinggi. Perhatian orang akan langsung terbetot. Jadi, sosialisasinya lebih gaya, lebih cepat memasuki memorti orang, sehingga nanti ketika Uda masuk daftar caleg, nama dan sosok Uda benar-benar sudah melekat di hati dan benak masyarakat."
"Ah, yang memutuskan jadi tidaknya kan partai, bukan suara orang banyak, aturan mainnya kan nomor urut. Kalau aku bayar kompensasinya, mereka kan harus mematikan aku di nomor urut satu. Semua suara yang terkumpul, termasuk sisa suara akan dilimpahkan kepadaku, untuk apa harus jadi datuak segala? Kan buang-buang uang saja," dengusnya.
"Pendapat Uda itu benar, tapi gaungnya akan lain, kalau Uda lebih dulu jadi datuak dan kemudian jadi anggota dewan, wah, kami yakin Uda benar-benar akan dielu-elukan masyarakat sebagai calon yang benar-benar memenuhi syarat, diletakkan di nomor jadi dan banyak pula meraup suara, bukankah dengan demikian kemenangan Uda akan benar-benar sempurna?" Pendi masih berusaha. Teman-temannya memberikan argumen senada.
Burhan masih ragu. Tapi Mirna tidak. "Saya rasa Uda Pendi tu benar Uda, gaungnya benar-benar akan beda!" katanya. Lalu diperintahkannya Juli menyiapkan makan siang. "Uda-uda nginap di mana? Menginap di sini saja, supaya bisa kita matangkan rencananya. Kamar kami cukup banyak, bisa menampung Uda semua," kata perempuan itu lancar. Matanya berbinar-binar. Juli diperintahkan menyiapkan tiga kamar untuk para tamunya, sehingga kerut di kening pembantu itu tambah banyak. "Mimpi apa ya Ibu semalam?" katanya dalam hati.

***

Dua hari kemudian Pendi dan kawan-kawan pulang. Mereka membawa Rp100 juta untuk menyiapkan segalanya. "Alek datuak ini harus benar-benar besar, kalau perlu kerbaunya dua," kata Mirna mewanti-wanti. Pendi menangguk-angguk takzim. Belum pernah dia memegang uang sebanyak itu, jadi dia main cepat saja, mengangguk sebanyak-banyaknya. "Ya akan beri kabar secepatnya," katanya.
Sepuluh hari kemudian, acara palewaan gelar datuak itu digelar juga. Burhan terkesan dengan banyaknya orang yang ikut meramaikan alek tersebut. Padahal, kaum mereka jumlahnya tak banyak, bahkan mungkin tak sampai 20 orang. Tapi lihatlah mereka yang datang meramaikan. Hampir seluruh orang di kampung itu. Mereka mengelu-elukan Burhan dan istrinya. Ketika Burhan dan panungkeknya lewat di jalanan utama kampung, ribuan kembang ditebar orang di atas kepala mereka. Benar-benar meriah. Burhan dan Mirna merasa sangat tersanjung. "Benar juga kata orang dik, kalau sudah kaya, jangankan menyelenggarakan pesta makan, terkentut pun dipuji orang," bisik Burhan ke istrinya, yang tak henti-hentinya tersenyum senang.
Malamnya di rumah gadang kaum Burhan sudah berkumpul Pendi dan gangnya. Setelah puas tertawa-tawa dan saling puji sampailah pada pokok pembicaraan selanjutnya.
"Orang parpol itu minta Rp750 juta da, bagaimana kira-kira? Dengan uang segitu Uda sudah pasti mendapatkan nomor urut satu," Pendi memulai.
Burhan mendehem. Mirna menyikutnya. Menyuruh OK kan saja lewat kode matanya.
"Hmm, aku kira Rp500 juta sudah cukup, apakah ada lawan yang cukup kuat," ujar Burhan mencoba nego.
"Lawan sih tidak, cuma nggak enak juga kita menawar-nawar, apalagi dengan posisi Uda sekarang," kata Pendi.
"Kau usahakanlah, kurasa Rp500 juta sudah cukup banyak."
"Uda ni bagaimana? Jangan sampai ndak dapat pula kursi tu," berungut Mirna.
"Tenanglah Dik, kurasa mereka takkan menolak."
"Biarlah saya coba kontak orang tu dulu," ujar Pendi mengalah.
Dia ke halaman, menelpon. Sekitar setengah jam dia balik lagi.
"Mereka keberatan, tapi saya bilang, kalau tidak mau ya sudah kami ke partai lain saja, pasti banyak yang mau Datuak kami jadi caleg mereka," katanya.
Burhan lega. Kalkulasinya pas.
"OK, besok kau ikut aku ke Pekanbaru, ambil uangnya. Sudah kau minta nomor rekeningnya?"
"Beres Da."
Besoknya rombongan itu berangkat pulang ke Pekanbaru. Burhan dan istri tak henti-hentinya tersenyum lebar kepada siapa saja. Pelayan warung sate di Padangpanjangpun disenyuminya dan diberi tip Rp100.000. Bayangan akan menjadi caleg semakin nyata di kepalanya. Burhan gala Datuak Mandaram Bumi, wui sungguh keren dan berwibawa, apalagi kalau sudah duduk di DPRD, weiw, rasanya tak kan ada yang secoga dia.
Sesampai di Pekanbaru segera di transfernya uang Rp500 juta ke rekening yang diberikan Pendi.
"Nah sudah ditransfer, secepatnya kau kabari aku, apa langkah selanjutnya," katanya. Pendi buru-buru mengangguk. "Beres Uda."
"Hari ini Uda Pendi menginaplah di rumah, kita pesta ayam bakar," timpal Mirna dengan senyuman yang jauh lebih manis dari senyumnya yang kemarin.
"Terima kasih Dik Mirna, tapi semakin cepat saya urus posisi Uda Burhan, rasanya akan lebih baik, jadi saya pulang sajalah."
Pendi pun pamit pulang.
Itulah hari terakhir mereka melihat Pendi.
Sehari, dua hari, seminggu, tak pernah ada kabar lagi dari Pendi. Burhan mulai resah, Mirna apalagi.
"Sebaiknya Uda pulang dan cek, Hp-nya tak merespon, begitu pula HP yang lain-lain. Saya sudah telepon Uni Debob, katanya sejak pulang dengan kita ke Pekanbaru dulu Pendi tak pernah lagi terlihat di kampung, begitu pula orang-orang yang dulu ikut dia ke rumah kita," kata Mirna panik.
"Jangan-jangan dia menipu kita," ujar Burhan lirih.

***
Ternyata benar, Pendi dan kawan-kawannya sudah minggat dari kampung. Menggondol uang Burhan Rp500 juta. Ketika partai yang dia sebut menelpon mereka mengaku kenal Pendi tapi tak pernah membicarakan soal caleg dan imbalan Rp500 juta. "Apa Uda benar-benar punya uang sebanyak itu? Mendaftar sekarang saja, partai kami siap menampung," ujar pengurus partai itu bernafsu. Burhan pun lesu. Dia melaporkan Pendi ke polisi. Di situ diketahui rekening yang menerima uangnya ternyata rekening yang dibuat dengan KTP palsu. Nama dan alamat yang tertera di KTP itu tidak ditemukan. Yang lebih buruk, rekening itu sudah ditutup. Burhan makin lesu. Dia menelpon ke rumah.
"Apa awak bilang, Uda percaya juga sama si Pendi tu. Kini apalagi? Rp500 juta sudah melayang, Uda tu benar-benar payah, tak mau mendengarkan kata istri. Sekarang apa gala Uda? Datuak Caleg nan Celek?" Suara Mirna menggelegar di kupingnya.

Padang, 9 September 2008

0 komentar:

Post a Comment