Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Hebohnya Ngurus Koran Mentawai

Written By imran rusli on Monday, November 24, 2008 | 6:01 AM

Tiga bulan lalu saya ditawari teman-teman di Yayasan Citra Mandiri (YCM) Padang, itu LSM yang bergerak di advokasi lingkungan, pendidikan dan kebudayaan Mentawai untuk memimpin tabloid alternatif mereka Puailiggoubat (http://www.puailiggoubat.com).

Tawaran yang segera saya terima, karena Mentawai sudah menjadi perhatian saya sejak lama. Saya pernah penelitian dan tinggal di salah satu desa (Matotonan) di pedalaman Siberut Selatan selama 6 bulan, sampai pub saya (maaf) berwarna hijau, karena kami kehabisan beras dan terpaksa makan singkong dengan sayur daun singkong terus (maklum transportasi nggak lancar, bila sungai pasang atau kering, seluruh aktivitas di air pun berhenti, termasuk pengiriman barang-barang kebutuhan sehari-hari dari pusat kecamatan ke desa-desa di pedalaman).

Nah, yang namanya tabloid dwimingguan—pikir saya--tentu agak santai kerjanya, tapi ternyata boong. Banyak hal-hal yang membuat saya tak bisa santai. Pertama, kesulitan sarana transportasi dan telekomunikasi. Tak ada rental komputer atau warnet di sana yang akan memudahkan wartawan saya menulis dan mengirim berita. Faks juga susah sekali menemukannya. Semua barang itu adanya di kantor-kantor pemerintah, yang rata-rata memusuhi Puailiggoubat karena kami sering mengritisi mereka dan tak mau menerima uang mereka. Jadi sering terjadi pengiriman berita lewat telepon, itupun tak selalu lancar karena masalah sinyal dan jaringan. Apalagi setelah jor-joran operaator seluler belakangan ini.

Jadi, wartawan kami miscall minta ditelepon ke nomor hp-nya, atau ke nomor telepon siapa saja yang ada di dekatnya—kalau sinyal tiba-tiba hilang--nah selanjutnya berlangsunglah wawancara sessi dua, antara dia dengan redakturnya. Wartawan kami menyampaikan semua informasi dan data-data yang diperolehnya, lalu redaktur kami yang menuliskannya jadi berita.

Kalau beruntung mereka bisa mengetik beritanya di kantor perwakilan YCM, yang sayangnya baru ada di 4 kecamatan (Siberut Selatan, Siberut Utara, Pagai Utara Selatan dan Sipora), padahal kecamatan di Mentawai ada 10. Enam lagi memiliki wilayah di pedalaman dan rata-rata hanya punya punya perahu atau speed boat kayu berkekuatan 6 pk atau 15 pk sebagai sarana yang menghubungkan mereka dengan ibukota kecamatan. Selain itu ada radio CB, fasilitas yang disediakan bupati untuk kepala desa. Hp, telepon, apalagi intenet, adalah barang langka, baik karena ketiadaan listrik atau pun sinyal dan jaringan.

Belum lagi biaya operasional liputannya. Speed boat, perahu, atau kapal semuanya adalah sarana transportasi mahal, tapi hanya itulah sarana yang dominan di Mentawai. Kalau di pusat-pusat kota kecamatan memang ada ojek, tapi mahalnya juga tak ketulungan. Rp2.000 per kilometer dan kalau hujan pasti becek… cek.. cek. Celakanya curah hujan di Mentawai itu tinggi, setiap dua jam sekali hujan akan turun tanpa permisi. Bisa dibayangkan sengsaranya wartawan kami.

Keunikan lain, karena keterbatasan alat-alat kerja, wartawan kami masih memanfaatkan dengan baik mesin tik manual, atau kalau tak punya dia akan menulis beritanya dengan tulisan tangan. Nah itu, kalau tulisan tangannya bagus atau mudah dibaca dan berita ditulisnya udah press clear amanlah, nyatanya tulisan mereka rata-rata memiliki gaya ceker ayam semua, dan beritanya panjang-panjang tak ketulungan.Apa yang dilihatnya, apa yang didengarnya, itulah yang ditulisnya.

Tak heran kalau rambut redakturnya sampai keriting semua dan kupingnya sering mengepulkan uap putih. Kita juga tak bisa mengajaknya bicara, karena moodnya benar-benar jelek. Semuanya error pokoknya. Kondisi kejiwaaan redaktur baru normal lagi setelah semua berita selesai di-layout dan dia bisa merokok, sebelum semua itu jangan coba-coba deh.

Hebatnya lagi, berita sering tergantung kapal, yang juga tak beraturan datangnya. Kalau angin agak kencang kapal pasti tak jalan, karena tak aman. Apalagi badai, tak ada kapal dari dan ke Mentawai. Kapal jadi pilihan karena itulah sarana yang paling murah untuk membuat berita dan foto sampai ke redaksi di Padang. Berita yang dikirim harus dititipkan pada orang yang dikenal baik oleh si wartawan dan bisa dia percayai.

Pernah beberapa kali, karena orang yang biasa dititipi berita lagi marah pada wartawan kami, beritanya tidak sampai-sampai ke Padang. Selidik punya selidik, ternyata berita titipan itu dibuangnya ke laut. Alamak, padahal untuk meliputnya wartawan kami sampai keluar masuk kandang babi.

Tapi, itulah, begitu dia bikin orang di kapal tidak senang beritanya pun dibuang ke laut untuk dibaca ikan-ikan. Jadi, saya putuskan tidak boleh lagi tergantung sama orang kapal, karena jelas akan sulit kalau kita ingin menyoroti kinerja sarana transportasi antar pulau seperti kapal-kapal itu, yang sering kelebihan muatan serta membahayakan penumpangnya.

Untuk selanjutnya kami akan belikan mereka komunikator, meski untuk mengirim berita mereka harus naik ke puncak bukit atau pohon, yang penting berita terkirim tanpa tergantung orang lain.

Berita dengan tulisan tangan juga tak boleh lagi. Saya lebih suka menelponnya dan membuat berita dari informasi yang dia sampaikan, daripada menyuruhnya menulis berita dengan tulisan tangan dan membuat rambut redaktur saya keriting tiba-tiba. Hiy serem!

0 komentar:

Post a Comment