Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Kerei, yang Makin Langka

Written By imran rusli on Monday, November 24, 2008 | 1:29 AM

Kerei atau dukun Mentawai saat ini makin sulit dijumpai, bukan hanya karena ritual adat yang membutuhkan jasa kerei makin berkurang, tetapi juga disebabkan oleh minat generasi muda yang sangat minim untuk menjadi kerei, meski memang tak sembarang orang bisa menjadi kerei. Ketika Yayasan Citra Mandiri (YCM), ornop yang bergerak dalam aksi pelestarian budaya Mentawai, merancang acara Pagelaran Budaya Mentawai 2008 di Tuapejat, Kecamatan Sipora, tanggal 11– 16 November lalu, mereka harus mendatangkan kerei dari Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, karena di Sipora, Sioban, Sikakap dan Pagai Utara Selatan kerei sudah tak ditemukan, bahkan sejak puluhan tahun silam.

Bisa dikatakan, kerei sekarang hanya ditemukan di Pulau Siberut, seperti di Rogdog, Madobag, Matotonan, Sakuddei, Salappa, Simatalu, Simalegi dan sekitarnya yang termasuk kawasan Sarareiket yakni sebagian Siberut Selatan, Siberut Utara, Siberut Barat Daya dan Siberut Tengah. Di sana masih banyak punen dan lia (ritual adat) yang membutuhkan peranan kerei. Orang sakit kadang-kadang juga masih dibawa ke kerei, meskipun Puskesmas dan Polindes makin lama makin diminati masyarakat, termasuk kerei sendiri.

”Saat ini memang lebih mudah menemukan kerei di kawasan Sarareiket, atau pedalaman Siberut Selatan, karena di sana masih banyak masyarakat yang membutuhkan mereka,” kata Sandang Paruhum, Direktur YCM.

Perantara Dua Dunia

Dalam persepsi banyak orang, kerei adalah dukun yang jasanya diperlukan untuk mengobati orang sakit atau untuk meramal nasib, kerei juga dianggap sebagai penghibur penyemarak pesta-pesta rakyat Mentawai, padahal sebenarnya semua itu hanyalah varian yang dihasilkan dari fungsi kerei yang sebenarnya yakni sebagai mediator (perantara) yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara manusia di alam nyata dengan makhluk halus di alam maya agar harmoni—yang akan menguntungkan manusia—bisa tetap terjaga.

Dalam penelitian tahun 1986 di Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, saya menemukan fakta bahwa kerei bukanlah profesi yang sengaja dicari-cari, melainkan semacam panggilan. Mereka yang menjadi kerei tidak jadi kerei karena mereka menginginkan, melainkan terpilih dan mereka tak bisa lari dari pilihan tersebut. Pilihan itu dijatuhkan lewat mimpi.

”Taikamanua yang memilih kami, bukan rimata atau sikebukkat uma,” kata sipaumat dari suku Tasiriotoi (saya lupa namanya). Taikamanua adalah penguasa tertinggi alam semesta yang terdiri dari tiga bagian, yakni dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas. Mungkin identik dengan Tuhan pada agama-agama samawi seperti Islam, Katolik atau Protestan.

Rimata adalah kepala suku sedangkan sikebukkat uma adalah pemilik uma atau kepala uma. Uma sendiri adalah sebutan untuk kelompok suku, rumah asal suku dan kampung, karena dulu di Mentawai biasa saja satu kampung hanya dihuni oleh satu suku, misalnya Sakuddei di Siberut Barat Daya.Sedangkan sipaumat adalah sebutan untuk kerei senior yang mengepalai seluruh kerei yang ada di satu uma atau laggai (kampung).

Nah, setelah terpilih kerei kemudian dibekali kemampuan memahami dan berbicara dalam bahasa roh dan jiwa-jiwa yang ada di dunia lain, dunia mahluk halus yang diyakini paralel dengan dunia nyata.

Namun kedua penghuni dunia yang berbeda ini bisa saja saling berbenturan tanpa salah satunya—biasanya manusia—menyadari bahwa dia telah berinteraksi dengan warga dunia yang lain itu. Dengan kemampuan tersebut kerei bisa berperan sebagai mediator yang menjaga harmoni hubungan kedua mahluk ini.

Orang Mentawai percaya seluruh mahluk dan benda di alam semesta ini memiliki jiwa (kina). Alam semesta juga dipenuhi roh (simagere). Meski kina dan simagere sama-sama mahluk halus, mereka berbeda. Simagere bisa berasal dari kina orang yang sudah mati atau memang sudah “dari sono”nya sebagai roh yang berdiri sendiri. Sementara kina ya kina saja, mereka sejak awal sudah berdiri sendiri. Jadi ada kina pada semua mahluk hidup dan semua benda mati. Manusia punya kina, pepohonan punya kina, sampan dan rumah juga punya kina.

Agar harmoni tercipta—juga rasa aman dan kenyamanan hidup—hubungan dengan semua roh dan jiwa ini harus dijaga baik-baik. Caranya dengan bantuan kerei yang menguasai bahasa mereka. Mereka harus dihibur, diberi makan, dihormati kalau manusia tidak ingin sakit, mengalami musibah atau bahkan mati, sebab roh dan jiwa yang tidak diperhatikan dengan baik bisa marah, bisa sedih, bisa cemburu, dan bentuk-bentuk emosional lainnya. Kalau jiwa bersedih dan pergi dari tubuh manusia, manusia akan jatuh sakit dan mati. Kalau roh yang marah manusia bisa celaka yang ujung-ujungnya mati juga.

Ketika seseorang sakit, berburu, mencari kayu bakar, berternak, membangun rumah, menangkap ikan, menikah, membuat sampan, membuka ladang, dan berbagai aktivitas lainnya, dia akan meminta bantuan kerei, untuk mengetahui keinginan jiwa dan roh yang berhubungan dengan kegiatannya itu, agar tidak menimbulkan kemarahan atau kesedihan. Kerei akan membantu dengan menanyakan, meminta keikhlasan, menyampaikan permintaan, menghibur jiwa-jiwa dan roh itu agar manusia bisa melaksanakan aktivitasnya dengan aman dan selamat, tanpa gangguan.

Makin Berkurang

Sekarang, ketika pengaruh agama-agama samawi, juga media massa seperti televisi yang sudah masuk ke pedalaman Mentawai, serta interaksi langsung dengan berbagai etnis lainnya masyarakat Mentawai menemukan pemahaman lain tentang alam semesta, akibatnya kepercayaan pada arat sabulungan yang erat dengan fungsi dan peranan kerei menyusut tajam.

”Tak banyak lagi yang butuh kerei sekarang,” kata Jacobus Salaisak (60), kerei dari Salappa yang saya temui di Mapaddegat, Tuapeijat Sabtu (15/11) lalu. “Tak banyak lagi orang yang terpilih jadi kerei,” tambah temannya Valentinus Salimu (56), juga dari Salappa. “Anak-anak sekarang lebih suka bersekolah ke tanah tepi dan pulang jadi pejabat, bisa punya banyak uang,” tambahnya sambil menjelaskan bahwa dalam setiap kegiatan yang menggunakan jasanya, kerei tidak boleh meminta imbalan uang. “Bayarannya hanya otcai, daging babi dan ayam pembagian,” katanya

Pdt Urlik Tatubeket, Ketua AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat-Peduli Mentawai) Kabupaten Mentawai mengatakan generasi muda sekarang sudah tak tertarik lagi menjadi kerei, tapi karena ada peluang sebagai obyek budaya, banyak juga yang menyaru jadi kerei. “Kerei gadungan ini mencari uang dari turis,” katanya. Jadi kerei benar-benar akan lenyap dari bumi Mentawai, kecuali sebagai komoditas pariwisata?

”Sepertinya belum”, kata Selester Saguruwjuw (55), anggota AMA-PM Kabupaten Mentawai. “Di kampung saya di Rogdog, kerei memang tersisa sekitar 10 orang, tapi di Madobag, Matotonan, Salappa dan Simatalu sepertinya masih banyak,” kata mantan Kepada Dusun Rogdog, Kecamatan Siberut Selatan ini. Tapi kita tahu, dia ragu. (*)

0 komentar:

Post a Comment