Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Paabad

Written By imran rusli on Monday, November 24, 2008 | 1:17 AM

KETEGANGAN sangat terasa di rumah itu. Al Sidek duduk merenung di sudut beranda. Rokok Gudang Garam kesukaannya sudah terbakar setengah tanpa diisap. Sesekali anak muda itu menggaruk keningnya, atau menghela napas. Di sudut lain, di seberangnya, Marius juga tercenung. Sesekali diliriknya Al Sidek. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi yang jelas Marius tak kalah gelisah. Apa pun yang menggundahkan perasaan Al Sidek, Marius pasti ikut bisa merasakan, karena Sidek adalah adik kesayangannya. Harapan keluarga yang sudah dipersiapkan sejak dilahirkan ina.

Di lantai uma duduk, dua puluh pria dewasa melingkari nyala api tungku. Mae, paman dan semua saudara sesuku mereka datang berkumpul ke uma, mematuhi panggilan tudukkat. Sekitar empat puluh pemuda sebaya Al Sidek memenuhi bangku panjang di sepanjang sisi beranda. Tak ada yang bersuara. Mereka menggenggam anak panah yang tadi dibagikan dengan diam. Tunung itu tampak berkilat menggidikkan diterpa kerlip cahaya api. Di bagian belakang uma puluhan wanita, remaja putri dan anak-anak duduk merapat. Malam terasa makin dingin dan bunyi burung hantu di luar sungguh mengundang berbagai ilusi yang buruk.

Seseorang datang tersaruk-saruk. Obornya hidup mati diterpa angin. Uma Sabulat yang dibangun di puncak bukit Matotonan ini memang repot didatangi, tetapi dari segi keamanan sangat bagus. Tak akan ada musuh yang bisa menyerbu naik dengan mudah tanpa terpanggang anak panah atau longsoran batu dan batangan kayu. Ditambah dengan jalan rahasia ke sumber air di bagian belakang, makin sempurnalah pertahanan mereka. "Kecuali kalau mereka berurusan dengan Yonif 133 yang punya M16 itu," kata Robertus, ketika dulu mengajakku berkunjung ke rumah asal suku tertua di Matotonan tersebut.

"Tenang. Itu Pius. Bukan orang-orang Tasiriregei," suara berat rimata memecah kewaspadaan yang tiba-tiba saja meningkat.

Pius masuk, meletakkan obornya di tancapan dekat ambang beranda. Wajahnya tegang.

"Bagaimana?" terdengar suara rimata.

Al Sidek, Marius, mae dan mata semua yang hadir menancap ke mulut Pius.

"Kata kerei dua jam lagi. Maria sudah merasakan sakitnya. Kamarnya sudah ditutup kain putih dan bulungan suci," Pius memaparkan apa yang dilihat dan didengarnya.

"Apakah ramalannya buruk?" Marius bertanya.

Pius menggigit bibirnya. Kemudian mengangguk. "Lukanya membesar, penuh nanah. Tubuhnya juga makin lemah, karena tak mau makan," katanya. Semua yang hadir menarik napas. Saling berpandangan.

"Saatnya bersiap. Pergilah ke pos kalian segera," rimata mengambil keputusan. Al Sidek mengeluh. Marius mengeluh. Semua mengemasi busur dan tabung panah masing-masing. Al Sidek menatap tunung di tangannya dengan perasaan tak keruan. "Haruskah, Maria?" dia berbisik. Marius menatapnya tanpa bicara.

MARIA, mengapa harus aku?" Al Sidek menggenggam jemari gadis itu. Maria menatapnya sejenak, lalu tersenyum genit. "Karena kamulah yang paling kusukai," katanya sambil memuntir-muntir kain kelambu di sampingnya. Meski di balik kelambu putih dari bahan yang tipis itu hanya menyala sebuah lampu teplok tanpa semprong, Al Sidek masih bisa melihat dan merasakan kesungguhan gadis itu.

"Tapi,"

"Tapi apa? Kamu lupa ucapanmu, bahwa akulah gadis yang paling kamu sukai di Siberut ini?" Maria mendesaknya,

"Tidak. Aku tak lupa. Itu tak perlu kamu ragukan."

"Lalu kenapa?" Maria merajuk. Dipunggunginya Al Sidek. Anak muda itu menghela napas. Sejenak suasana menjadi senyap. Samar terdengar suara dengkuran di empat kelambu lain di ruangan itu. Ayah dan paman-paman Maria tidur nyenyak, begitu pun ibu dan bibi-bibinya.

"Kenapa Sidek?" gugat Maria lagi. Suaranya meninggi.

"Sssssst! Pelankan suaramu. Kalau ayahmu bangun, habis aku ditulounya nanti," Al Sidek berbisik.

"Biar kamu rasakan!" kata Maria ketus. "Toh dulu waktu mulaibo' di rumah Rosa dan Paulina, kamu pernah ditulou, tapi babimu, durianmu, kelapamu, ayam dan ladang sagumu masih saja banyak. Lagipula kamu kan harus menyiapkan alaktoga juga untukku. Apa salahnya ditulou oleh ayahku sekarang." Maria mencubit pantat Al Sidek yang telanjang.

"Ayolah Maria, jangan bercanda lagi. Mengapa kamu tak memilih Kunenmanai, Raukerei atau Tasiriotoi? Mereka kan juga lebih sering mulaibo' dengan kamu daripada dengan gadis lain di desa ini?" Al Sidek berusaha membujuk. Sudah hampir sepuluh kali bujukan ini disampaikannya, terutama setelah mengetahui kehamilan Maria. Kalau gagal, dan Maria tetap menyebutkan namanya dalam rapat suku sebagai pria pilihan untuk menjadi suami dan ayah calon bayi itu, maka habislah semuanya. Padang hanya akan menjadi obsesi yang tak pernah bisa diwujudkan, dan sekolah guru itu? Dia menggaruk alis.

"Karena mereka bukan kamu Sidek!" dengus Maria, mulai kesal lagi.

"Kamu tidak suka aku sekolah guru di Padang? Bukankah kamu bilang aku akan gagah sekali dengan seragam batik korpri warna biru itu? Kamu juga bilang betapa bagusnya kalau aku yang berdiri di depan anak-anak kampung kita dan bukannya Pak Syamsir, Pak Ibrahim atau Pak Hasan dan sasareu lain dari tanah tepi?"

Maria diam sejenak.

"Memang, aku akan suka kalau kamu yang jadi guru atau kepala sekolah di Matotonan ini, tapi kalau untuk mencapai itu aku harus berpisah beberapa tahun denganmu dan belum pasti bisa jadi istrimu, lebih baik tidak. Aku sangat mencintaimu Sidek. Aku sudah mencoba, merasa dan memilah-milah. Kamulah pilihan pertama dan terakhirku." Maria berkata mantap.

Sejak itu Al Sidek berusaha menghindari Maria. Dia menyibukkan diri di kandang babi atau mencari rotan dan manau ke hutan di tepi kampung. Kalau Maria mencoba mencari atau menghubunginya, Al Sidek tak melayani dan berdalih sedang disuruh ayahnya ke Muara Siberut, menjual rotan, manau, pisang, sagu, atap rumbia, karena tembakau, rokok, kopi, gula, sabun, teh, shampoo, susu, peluru senapan angin, dan sebagainya sudah habis.

Tapi tindakan itu ternyata membuat Maria sakit hati. Tanpa ragu sedikit pun dia menyebut nama Al Sidek sebagai calon suami dan ayah bayi dalam kandungannya pada rapat suku. Otomatis sejak saat itu Maria tak boleh lagi dikunjungi laki-laki lain. Dia sudah jadi milik Al Sidek. Siapa pun yang masih berani merangkak di dinihari atau subuh yang dingin untuk bercinta dalam kelambu gadis itu, akan membayar mahal sekali. Tapi Al Sidek tak pernah datang mulaibo' ke kelambu Maria lagi. Dia malah lebih sering ke kelambu Rosa atau Maristi. Dan beberapa kali hampir ketahuan ayah gadis-gadis tersebut karena ketiduran.

Maria sangat marah dan kemarahan itu menusuk hatinya. Lalu berakar dan tumbuh menjadi kebencian. Dan ketika suatu hari gadis yang sudah hamil delapan bulan itu nekad menusuk perutnya sendiri dengan gunting kesayangannya, maka penduduk di Matotonan pun yakin, Maria ingin Al Sidek mati bersamanya, bersama putra mereka! Karena sukunya, Tasiriregei, akan menuntut balas kematian itu dalam perang suku yang penuh darah. "Tak ada maaf kalau sudah begitu," ujar Robertus menjelaskan.

Kini Kondisi Maria kritis. Lukanya membusuk dan janin di perutnya sudah siap untuk dilahirkan. Kedua suku terbesar di Matotonan itu makin menjaga jarak. Ketegangan terasa di sudut mana pun dalam kampung yang semula tenang ini. Penelitianku tentang kerei otomatis ikut terganggu, dan seperti kata Robertus, kalau saat ini tak hati-hati aku bisa berakhir dengan lusinan anak panah tertancap di badan...

Marius memilih posisi dekat kantung pertahanan adik-nya. "Akan kubunuh siapa pun yang berani menyentuh Sidek!" katanya sambil menyiapkan busur. Aku merutuk, tak tahu harus bagaimana. Sudah tahu suasana lagi panas aku malah nekat berkunjung ke uma Sabulat. Kini aku terperangkap dan sama sekali tak melihat tempat aman. Kalau Maria mati, atau anaknya mati, atau anaknya cacat, apakah aku bisa ikut melemparkan batu atau menghunjamkan parang ke perut suku Tasiriregei yang pasti akan datang menyerbu? Bukankah aku siripoknya Salomo dan Amaneti? Sama dengan Ariadi dan Pius dari Sabulat? Bagaimana kalau panah Salomo menembus jantungku di dinihari yang gelap ini? Hih... Mati aku!

TAK ada suara lagi sekarang. Semua sudah siap menunggu. Busur dan anak panah terentang siaga. Batu-batu dan kayu sebesar betis pria dewasa menumpuk dekat kaki masing-masing, kecuali di dekatku, yang sudah dilupakan orang. Siapa peduli sasareu?

Pukul 03.17 WIB - di jamku - terdengar tudukkat dipalu. Suaranya sungguh tajam dan bening. Aku sangat tegang. Itu suara tudukkat Tasiriregei. Sayang aku tak tahu maknanya. Harusnya kuikuti saran Schefold dulu untuk mempelajari alat komunikasi tradisional Mentawai itu, tapi dalam kondisi terancam mati seperti sekarang, apa sih yang tak kusesali?

Tudukkat masih dipalu. Begitu terus sampai besok. Aku menunggu. Memperhatikan sekitar dengan waspada. Paling tidak aku akan mengerti bunyi itu dengan melihat reaksi orang-orang di sampingku.

Satu persatu tubuh-tubuh kekar berotot dan tanpa baju, yang tadi berada dalam posisi jongkok dengan busur terentang, bangkit berdiri. Ketegangan serta merta mencair. Kulihat Marius memeluk Al Sidek, yang tertawa cerah.

"Maria selamat. Anaknya selamat. Laki-laki dan sangat sehat!" Ariadi berkata sambil menepuk bahuku. Aku tak tahu bagaimana dia tahu. Yang kutahu, nyawaku selamat malam ini.

"Jangan lupa besok ke sini. Ikuti paabad dengan kami." katanya. "Ya, Salomo juga akan hadir," timpal Al Sidek.

Setengah berlari kuturuni bukit itu. Hampir saja...

Keterangan:

* uma = rumah asal suatu suku (cian) di Mentawai.
* mae = ayah.
* tunung = anak panah bermata kuningan.
* rimata = kepala suku.
* tudukkat = sejenis kentongan, alat komunikasi tradisional Mentawai.
* ina = ibu.
* kerei = dukun.
* bulungan = daunan.
* tulou = denda adat.
* mulaibo' = pacaran dalam kelambu si gadis di rumah orangtua atau umanya, mulai dinihari sampai subuh.
* alak toga = mas kawin.
* sasareu = orang asing, orang yang datang dari jauh.
* tanah tepi = sebutan untuk kota Padang dan sekitarnya.
* siripok = saudara, kerabat.
* paabad = pesta adat perdamaian. Dimuat Kompas, Minggu, 22 Juni 1997

0 komentar:

Post a Comment