Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Mencari Matahari di Maninjau

Written By imran rusli on Sunday, November 23, 2008 | 8:38 PM

Mencari Matahari di Danau Maninjau

Danau Maninjau selalu menarik minat saya, bukan cuma karena panorama danaunya yang tenang namun diselimuti misteri, seperti ada nuansa magis dan mistis yang dipancarkan air danau yang hijau kehitam-hitaman itu; bukan cuma karena Kelok 44 yang fantastis; bukan hanya karena jalan salingka danau dengan nagari-nagari yang sarat mitologi seperti Tanjuang, Sani, Sigiran, Koto Malintang, dan lain-lain; juga bukan karena legendanya yang fenomenal karena menyangkut pembuktian akan kebersihan diri dari sepasang kekasih Sani dan Giran; atau rumah Buya Hamka yang sangat tersohor sampai ke dan menjadi tujuan bagi para wisatawan dari Malaysia, Brunei Darussalam dan Timur Tengah; atau hanya karena rakik (peyek)dan palai (pepes) rinuak (ikan-ikan kecil yang hanya hidup di Danau Maninjau)yang khas Maninjau atau rebusan pensi yang bikin alergi saya kumat, atau Puncak Lawang yang membuat para penggila olahraga paralayang di seluruh dunia ngiler karena ketinggian dan kualitas anginnya yang yahud, tapi memang karena semua itu, bahkan sawah dan perbukitannya yang seperti berlomba masuk ke pelukan danau pun sangat memikat mata saya, sementara bebunyian tambua (gendang besar) serta gendang tassa para musisi tradisional di Paninjauan juga sangat indah kedengarannya di telinga.

Tapi, selalu ada sensasi baru di Maninjau. Bulan Mei lalu saya dan seorang teman fotografer profesional dari Jakarta, mencoba menelusuri sisi lain Maninjau. Kami mencari matahari! Karena menurut Eri dan Budi, dua kenalan kami dari Hotel Tandirih
Maninjau, mengatakan matahri sudah lama tak muncul di sekitar danau, dan bahwa kalau matahari bersinar pendarannya saat menyentuh permukaan danau sangatlah cantik, apalagi kalau dinikmati dari Sakura Hill.

Sakura Hill
Wah, ini tempat baru. Menurut Eri, guide top di kawasan Maninjau, Puncak Lawang, Matua dan sekitarnya, lokasi itu dinamai seorang turis Jepang yang seperti menemukan keindahan bukit sakura di kampungnya di sana. “Padahal mana ada bunga sakura di situ,” kata Eri.

Jadi berangkatlah kami dengan menyewa sepedamotor yang disewa Rp60 ribu per 12 jam. Dari Pakan Ahad motor dipacu mendaki jalan sempit yang berkelok-kelok. “Ini sih Kelok 44 sebelum dipoles,” kata teman saya. Saya setuju, tapi kayaknya jalan itu lebih menyeramkan, karena sempit, berstruktur sebagian tanah liat licin dan sebagian beton lunak yang tak diberi pengaman di sisi yang satu dan berparit dalam di sisi yang lain.

Dan jalan itu jahil bukan main. Sebentar-sebentar motor kami diseretnya, lain saat digelincirkannya ke arah jurang. Kali lain dibenturkannya ke tebing. Yang paling sering dipurukkannya ke parit di pinggir jalan. Sampai akhirnya motor kami menyerah. Ketinggian yangcuram itu menawarkan jurang menganga yang siap melumat tubuh siapa saja yang jatuh ke dalamnya. Jadi kami berhenti menantangnya dan menunggu ojek.

“Wah berani juga mengendarai motor sendiri sampai ke ketinggian ini,”kata tukang ojek yang kemudian memberi tahu bahwa orang-orang di desa-desa sekitar tempat itu saja jarang berani mengendarai motor sendiri. Mereka lebih mempercayakan keselamatannya pada tukang ojek yang tarifnya Rp2.500 sekali jalan. Ini tarif untuk warga Pakan Ahad, Data Monti, Data Kociak, Data Buayan dan sekitarnya. Untuk wisatawan lokal Rp5.000 dan turis mancanegara Rp10.000 sekali jalan.

Dari tempat kami berdiri menunggu ojek, entah kelokan ke berapa, permukaan Danau Maninjau sisi selatan tampak cantik dengan pulau kecilnya.

Setelah tukang ojek datang, yang kemudian kami bayar Rp100 ribu, karena akhirnya mengantar kami sampai ke Puncak Lawang, perjalanan ke Sakura Hill diteruskan. Saya kebagian membawa motor sendiri, teman saya naik ojek, sesuai sopan santun Minang, tamu harus lebih dipentingkan.

Di pinggang bukit ternyata ada desa, namanya Data Monti. Penduduknya tidak banyak dan bersarung semua karena suhu udara agak dingin.

Dari Data Monti, jalan menghilang. Maksud saya berubah menjadi jalan beton pecah, penuh perangkap lubang yang dalam di sana sini, yang tersembunyi rapat di balik ilalang tinggi.Jadi kami jalan meraba-raba, berpedoman pada bekas jalan setapak di bawah telapak kaki. “Dulu jalan ini bagus, dibeton, karena banyak turis ke Sakura Hill, tapi sekarang tidak tahu kenapa tak ada yang peduli lagi,” kata Rizal, tukang ojek itu.

Hampir sejam terantuk-antuk dalam belukar, akhirnya dataran terkenal itu kami capai juga. Selain pemandangan yang memang sedikit beda bila dipandang dari Ambun Pagi atau Kelok 44, tempat itu biasa saja. Hanya dataran rumput seluas 4 X 4 meter persegi dengan sebuah batu besar di tengahnya.

“Dulu ada gazebo serta orang jual makanan dan minuman di sini, sekarang tidak ada lagi, karena turis juga sudah jarang,” kata Rizal. Lagi-lagi dulu! Kami kesal karena matahari belum juga muncul. Kabut asap dari Riau menyembunyikannya entah di mana…

Tadinya kami mengira jalan buruk sudah berakhir, tapi turunan sesudah Sakura Hill membuat jantung terasa copot, karena sangat curam. Motor sampai harus diluncurkan lebih dulu sebelum kami sendiri memperosotkan diri. Mungkin kecuramannya mencapai 75 derajat. Yang jelas dengkul, pinggul dan punggung kami lecet-lecet dibaret batu-batu tajam di kecuraman yang tadinya badan jalan itu.

Selanjutnya kami masih harus berjuang sekitar satu setengah jam lagi melewati Data Kociak dan Data Buayan—yang pendakian dan penurunannya, serta tikungannya dan jurangnya tak kalah seram--sebelum akhirnya muncul di Puncak Lawang dan sampai sore menjelang matahari yang kami buru tak kunjung terlihat.

Tapi di situlah asyiknya wisata petualangan. Senangnya baru terasa setelah pulang dan mandi berendam air panas di bathtub hote. Rasanya sungguh segaaaaaar. (Imran Rusli).

0 komentar:

Post a Comment