Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Tuapeijat Nan Memikat

Written By imran rusli on Sunday, November 23, 2008 | 8:42 PM

Setelah turbulensi (guncangan) seram di pesawat SMAC (Sabang Merauke Air Charter) berpenumpang 21 orang, dengan lama penerbangan dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) sekitar 40 menit itu mereda, kami mendarat mulus di Bandara Rokot, Kecamatan Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Tapi Tuapeijat masih jauh, satu jam lagi naik boat. Karena boat SMAC yang tarifnya Rp40 ribu—langsung dibayar saat membeli tiket--tak bisa langsung berangkat, entah menunggu apa, kami menumpang boat 140 pk-nya Surfaid, setelah berjalan sekitar 100 meter ke dermaga yang penuh dengan bangkai kayu gelondongan, sisa-sisa penjarahan hutan beberapa tahun silam.
Waduh, hujan turun dan gelombang besar, sementara boat-nya tak boleh lambat, karena mesinnya bisa panas, maka perjalanan laut itupun tak jauh beda dengan pesawat. Bedanya, guncangan di boat lebih menyakitkan, karena langsung terasa ke dada dan pantat, serta dan bercampur air laut dan air hujan.
Jadi, mendaratlah kami—saya dan Direktur YCM, sekaligus Pemimpin Umum Tabloid dwimingguan Puailiggoubat, Sandang Paruhum--di Pelabuhan Tuapeijat, seperti dua ekor tikus habis kecebur got. Basah kuyup! Tapi, bagaimanapun kami harus berterima kasih pada Surfaid yang telah memberi tumpangan gratis.
Ini kedatangan saya yang kedua ke Tuapeijat, namun tetap saja kesannya hebat. Terutama setelah kami disambut oleh jalan yang compang-camping. Sebelah habis digerus air, sebelah lagi dibeton setengah hati. Belum lagi angkot goyangnya, yang benar-benar bergoyang, kata orang.
Tuapeijat, katanya berarti tempat persinggahan sebelum pergi ke tujuan yang sebenarnya dan nama itu tampaknya sesuai dengan fungsi Tuapeijat saat ini. Meski saya agak bingung, karena semua orang tampaknya lebih suka menuliskan Tuapejat atau Tua Pejat, saya akan tetap menggunakan nama Tuapeijat karena nama itu ada artinya. Saya tidak tahu apa artinya Tuapejat dan Tua Pejat. Bahkan ada yang iseng mempelesetkannya jadi Tua Bejat. Kurang ajar memang, tapi salah sendiri kan? Karena konotasinya memang dekat, alias agak mirip-mirip.
Sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tuapeijat bukanlah kota besar. Dengan luas 11 ribu hektar dan penduduk sebanyak 1.033 KK (3 ribuan jiwa) atau seperlima jumlah penduduk Sipora yang 14.063 orang, Tuapeijat tak lebih ramai dibanding Muara Siberut, Muara Sikabaluan, dan Sikakap, tapi karena statusnya sebagai pusat pemerintahan di Mentawai maka infrastrukturnya lebih lengkap.
Jalan raya yang pernah diaspal dan kini kondisinya remuk redam sepanjang 10 kilometer, jembatan permanen, pelabuhan, kantor-kantor pemerintahan, sarana telekomunikasi, pembangkit listrik, pasar, rumah sakit, puskesmas, kantor polisi, koramil, toko swalayan, juga sekolah, penginapan dan seterusnya lebih lengkap di sini.
Hal lain yang menyolok adalah jumlah turis yang berkunjung. Meski tak ada data tertulis, tapi setiap kali kapal datang dari dan berangkat ke Padang seperti KM Ambu-ambu, KM Sumber Rezeki Baru, KM Beriloga, KM Subbulat dan lain-lain, pasti ada saja kelompok turis yang lengkap dengan papan selancarnya terlihat menumpang. Hati mereka sudah tertambat ke Tuapeijat, karena daerah ini memiliki banyak pantai berombak besar yang menyenangkan untuk surfing (berselancar).
Menurut Andi, sumber saya di Anaileu’ita Resort yang berlokasi di Makakang, Sipora, turis suka karena barrel (lorong ombak seperti terowongan) ombak Tuapeijat itu panjang, sehingga kalangan surfer dunia memberikan peringkat nomor delapan untuk barrel Tuapeijat tersebut, jauh mengalahkan ombak-ombak di Bali seperti Uluwatu dan lain-lain. Puncak ombaknya juga tinggi, bisa lebih tinggi dari rumah bertingkat dua. Surfer bisa horny (‘sangat terangsang’) melihat puncak ombak seperti itu.

Kota Pariwisata
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah memproklamirkan Tuapeijat sebagai kota pariwisata, dan keputusan itu tampaknya tepat, karena potensi wisata Tuapeijat memang lebih dari cukup. Meski hanya memiliki pantai, tapi pantai Tuapeijat bukan sembarang pantai, tapi pantai yang benar-benar menawan, bahkan pantai di belakang pasarnya saja sudah memikat, meski warga tampaknya tak peduli dan tetap membuang sampah sesukanya di situ.
Tak diketahui berapa panjangnya pantai Tuapeijat, tapi dari 147 kilometer panjang garis pantai Sipora, Tuapeijat mungkin punya 40 kilometer garis pantai dan hampir semuanya indah. Belum termasuk yang di pulau-pulau. Pasirnya bervariasi, ada yang halus dan sedikit kasar, dengan warna yang juga beragam: kuning gading, coklat susu, dan putih. Kadang-kadang ditemukan tumpukan potongan bunga karang terdampar di pantai, serta hewan-hewan khas laut yang mencari udara ke bibir pantai.
Saya sempat menikmati pantai di Mapaddegat. Mapaddegat adalah satu dari tujuh dusun di Tuapeijat. Enam dusun lainnya Tuapeijat, Kem, Kampung, Jati, Bakkat, dan Bularian. Karena jalan ke sana lumayan parah, dalam arti aspalnya sudah hancur dan banyak lubang menganga, Mapaddegat yang cuma berjarak 6 kilometer dari pelabuhan Tuapeijat harus ditempuh dalam 30 menit dengan sepeda motor. Itupun dengan bonus pantat dan punggung sakit karena terhentak-hentak masuk lubang. Mungkin dengan angkot goyang lebih lumayan, atau dengan Mitsubishi Kuda dan Kijang Innovanya para pejabat, pastilah lebih nikmat.
Di kilo empat--begitu penduduk setempat menyebut lokasi suatu tempat—tepat di depan kantor Bawasda, kita berbelok ke kanan, menuruni jalan beton sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer sampai ke Mapadeggat. Dari situ, terus ke pantai melewati jalan tanah yang dibangun tahun 2006. Jalan seharga Rp300 juta itu kini sudah tak terlihat, tertutup rumput tebal sampai ke parit di kiri kanan jalan, sehingga yang tersisa hanya jalan setapak untuk dilewati satu orang. Tak sampai 100 meter, ada jembatan sepanjang kurang lebih 60 meter. Jembatan itu juga dibangun tahun 2006, dengan biaya Rp600 juta, tapi kini tak bisa lagi dilalui karena sudah runtuh di sana sini. Bahan baku dasarnya yang ternyata batang kelapa, berpatahan di beberapa bagian.
Setelah menjelajahi jalan setapak dan rumput tebal sepanjang 300 meter-an, kita sampai di homestay, bangunan khusus yang sengaja dibangun Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk melayani kebutuhan akomodasi para turis. Tapi sayang, bangunan yang menelan biaya hampir Rp6 miliar rupiah itu tak bisa dipakai lagi.
Kelima bangunan utamanya tak satupun yang utuh. Pintu, jendela, atap, lantai, loteng, semua hancur berantakan. Salah satu gedung, malah mengalami patah fondasi, sehingga menjadi miring, tak sanggup lagi menyangga berat bangunan di atasnya.
Jangan ditanya meubelernya, yang dulu konon lengkap di setiap kamar. Ada lampu kandelar, spring bed, lemari, meja rias, bathtub, shower, sofa, kitchen set, kipas angin, lampu-lampu, bahkan home theater, semuanya lenyap tak berbekas. Bak di kamar mandi dan wastafel di lorong, juga dipatahkan orang dengan sengaja. Bekas-bekasnya terlihat sangat menyedihkan.
Yang lebih terpuruk keadaannya adalah lapangan tenis. Pagar kawatnya roboh dan lapangannya tak bisa dipakai lagi, karena telah ditumbuhi rumput tebal serta belukar lebat. Hanya sapi dan kambing terlihat di situ. Mungkin namanya Martina Sapimeringis atau Monica Kambing Males. Entahlah.
Namun, semua pemandangan yang menyesakkan dada tersebut, terhapus oleh keindahan pantai Mapaddegat, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya pernah ke beberapa pantai seperti Kuta, Lovina (Bali), Sengingi (Lombok), Losari (Makassar), Taplau, Aie Manih, Pasie Jambak, Bunguih, Muaro Panjalinan (Padang), Bangka Belitung (Babel), Batam (Kepulauan Riau), Kuching (Sarawak), Pattaya (Thailand), Pantai Mutiara (Tiku, Agam), Puti Gandoriah (Pariaman), Panjang (Bengkulu), Pasir Putih (Lampung), Kasih, Tapak Gajah (Sabang, Aceh) juga Katurai, Taileleu (Siberut Selatan) dan sebagainya, tapi Pantai Mapaddegat sungguh tak kalah. Airnya jernih, memantulkan kebeningan yang hijau. Permukaan air di saat tenang terlihat seperti kaca.

Ke mana pun mata memandang hanya pasir, air dan jejeran kelapa yang terlihat. Sayang tak ada perahu warna warni atau layar terkembang di teluk itu. Lagunanya nan cantik juga dicemari sampah, dan tak ada bule berjemur, mungkin mereka sedang istirahat di kapal atau di salah satu pulau yang ada di lepas pantai. Tapi semua itu tak bisa menafikan fakta bahwa pantai Mapaddegat itu cantik dan dia membuat wajah bopeng Tuapeijat jadi ikut cantik. Konon sunset-nya juga indah.
Dengan pesonanya yang begitu memikat, sudah saatnya Anda berpikir menikmati akhir pecan atau liburan panjang di Tuapeijat. Bila Anda ingin ke sini ada kapal setiap Selasa (Ambu-ambu), Rabu (Sumber Rezeki Baru), Kamis (Beriloga) dan Jumat (Sumber Rezeki Baru) dengan tarif Rp125 ribu (kamar) dan Rp105 ribu (dek). Pesawat SMAC tiga kali seminggu, salah satunya hari Kamis dengan ongkos Rp375 ribu. Berangkat pukul 10.30 WIB dari BIM.
Jangan kuatir soal tempat menginap. Ada empat penginapan di Tuapeijat. Tiga di dekat pelabuhan, yakni (Bintang, Kristine, Getsemani), satu di kilo enam (Bundo). Tarifnya berkisar Rp50 ribu – Rp100 ribu. Kalau ingin lebih nikmat, silakan ke resort. Misalnya Anaileu’ita Resort, di Makakang, 15 menit naik boat dari Tuapeijat. Cuma tarifnya agak mahal. Rp300 ribu – Rp800 ribu semalam. Tapi enak, banyak turisnya lagi!

0 komentar:

Post a Comment