Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Sex Shop Moment

Written By imran rusli on Sunday, November 23, 2008 | 8:56 PM

Sex shop di Indonesia adalah barang tabu, orang ke situ malu-malu tapi kentara sekali mau, bapak-bapak dan ibu-ibu-ibu memilih pesan lewat telepon, tidak mau ada yang tahu

Ini cerita lama, tapi ok punya, sulit melupakannya

Namanya orang cari makan, saya bertahan hidup di Jakarta tahun 1989 – 2003--sambil menghidupi tiga anak dan satu istri—dengan menulis ke mana saja. Koran dan majalah, bahkan pesanan Pak RT atau khutbah Jumat pun saya sabet, asal ada honornya. Waktu itu Nova, Suasana, Travel Club, The Jakarta Post, Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Citra, Warta Pramuka, Bisnis Indonesia, Intisari, Warta Kota dan banyak lagi jadi ladang subur buat saya, honornya lumayan bisa buat bayar kontrak rumah dan makan sebulan (sebulan lagi melongo).

Nah, kalauThe Jakarta Post kan maunya yang unik-unik, maka saya carilah yang unik-unik itu, soale honor di TheJakarta Pos itu gede dan cepat, hari ini terbit, hari ini bisa diminta, tak ada utang-utang.

Sex shop waktu itu sedang jadi fenomena baru di Jakarta. Barangnya ada tapi tiada. Banyak yang cerita kalau dia baru beliin dildo untuk pasangannya, tapi ketika diminta memperlihatkan dia bilang janganlah, padahal saya cuma heran, dia kan punya dildo original, ngapaian beli dildo lagi? (cewek gua pengen variasi, gitu alasannya. Halah kenapa nggak nyoba sapi atau babi? Kan geolannya lebih sexi dan seru pasti!?)

Jadi saya harus nyari sendiri. Di Pos Kota ada yang pasang iklan, mau pesan apa saja ada, memperbesar, mempertebal, membulatkan, merimbunkan, menyempitkan, mau pake yang ada gelangnya, mau sedikit ukiran di ujungnya buat nambah sensasi, walah semua ada . Lokasinya satu di Jatinegara, satu lagi di sekitar Roxy, apa tuh namanya saya lupa.

Weleh-weleh, dasar mujur saya bisa juga ketemu kedua tempat itu. Tapi jangan harap ada tanda-tanda sex shop terbuka, tempat dia jualan tak ubahnya kedai obat di sebelahnya, yang ditanyai alamatnya juga takut-takut, mas polisi ya? Emang tampang saya polisi? Iya polisi cina, halah itu kan di Hongkong sana, nggak pak saya cuma konsumen, mau beli yang untuk memperbesar, size saya kecil nih, ntar istri keburu ngelirik tetangga..bla bala bla

Iya pak, tapi bener nih bukan polisi? kasihan nanti mpok saya, udah beberapa kali ditangkap, semua barangnya diambil, padahal belum balik modal..

Tunggu dulu, Mpok?

Iya Mpok saya, gimana? masih mau beli? Kalau ya saya antar.

Ya lah, ayuk

Maka dibawalah saya melewati deretan tenda-tenda, aneka toko obat tak berizin, kedai-kedai indomie, warung nasi goreng, tukang gigi, dan entah apa lagi di kampung melayu, dekat bioskop nusantara 21.

Jangan bayangkan sex shopnya kayak di luar nagri sana (kayak yang ditulis mbak La Rose di Koki), nggak ada mirip-miripnya. Bagian depan dikamuflase kayak ruang tamu biasa, tapi tanpa kursi tamu, hanya ada karpet rombeng dan sebuah bangku tua.

Ayo masuk, lalu sebuah pintu terbuka, ada lorong pendek yang terhubung ke sebuah toko sebenarnya. Ada etalase, rak, dan barang-barang yang dipajang rapi.

Siapa loe bawa Jang? Kok langsung masuk aja? Gimana sih loe? Ini kan jualan telarang?
Nggak apa Mpok, dia mau beli, bukan polisi, tampangnya aja kayak cina banci, masak polisi?

Hmmm, benar ko? (buset saya dipanggil koko, padahal ajo, uda piaman, ha ha).

Iya mpok, tapi mau lihat-lihat dulu. Wah kalau gini gelagatnya ngak bisa ngaku wartawan dong, penulis juga nggak bisa, apalagi kalau bilang penulis lepas kan tambah bingung, penulis aja nggak jelas apa pekerjaannya, apalagi yang lepas? Emangnya yang di Ragunan?

Silakan silakan, tiba-tibo telepon berdering

Kayaknya ada pembeli tuh, karena dia menjawab dengan antusias

Wah kalau yang X size nggak ada Mbak, habis, gimana kalau yang ekstra larje (maksudnya ekstra large kali?), agak-agak bengkok dikit, nikmaaat lho mbak saya udah nyobain… wah waah apa-apaan. Iyalah nanti saya kirim ke tempat biasa, ya ya ntar di Tuti nganterin. Nggak, nggak bakal nyasar lagi deh, janji, tapi mbak tunggu di luar ya..iya mbak makasiiii

Telepon diletakkan, wajahnya sumringah. Pelanggan, baik deh, sukanya macam-macam, tapi kok ya cepat sekali rusak, beli lagi beli lagi, saya sih senang aja, tapi polisi tuh reseh amat, dia nyerocos sambil menemani saya keliling.

Buset apa nih? Macam-macam punya. Ada yang panjang kurus, panjang gemuk, pendek kurus, pendek gemuk, penuh urat, dilingkari cincin penyedap, panjang besar bengkok, panjang kurus bengkok, pendek melingkar-lingkar, kemudian ada yang uih tebel banget, katanya ada yang bisa keluar cairan, ada yang botak, polos, ada yang rimbun ketutup rapat, ada belahan panjang, ada belahan pendek, ada belahan nyerong (eeh yang ini siapa punya ya, katanya cina huu asal bunyi, yang pasti tu ya yang cacat, ini produk cacat kali mpok, kok dijual juga, halah biar aja ada aja yang mau kok, jadi beli nggak nih, ini nih korea punya, super legit..whui kacau

Ya deh ya deh, nan mpok, gimana bilangnya ini untuk tulisan ya? Trus boleh difoto nggak ya? Dari lokasinya yang tersembunyi saya sudah tahu jawabnya, tapi masalahnya bagaimana keluar dari tempat itu tanpa membeli? Wong di luar Ujang dan beberapa temannya udah berdiri bergelombol persis kucing garong, sempat nggak beli aja benjut gua!

Harganya berapa mpok? Yang mane? Ini nih yang agak tebal berbelah panjang dan rimbun. Oo itu ekstra lezat, Madura punya, mahal nih, Rp500 ribu. Bisa dipasangkan, ada perangkat tambahannya, gratis. Mau yang ini? Wuaduh, honor cuma Rp300 ribu. E eh ada yang agak murahan nggak mpok. Ada, ini yang model Jepang, cepat berkuah, Rp100 ribu. Masih kemahalan, bisa buat makan 3 hari sekeluarga. Yang lebih murah lagi?

Mulai kesal dia. Situ mau beli nggak ya? Iya, eh nggak, maksudnya nggak yang mahal. Saya kira tadi bangsa Rp10 ribuan. Sepuluh rebu? Sepuluh rebu pale lu! Itu cuma harga kotaknya tau!

Maaf mpok, saya nggak tahu. Dia misuh-misuh sebentar. Lalu, baiklah, gua juga belum ada penglaris hari ini, lu beli kondom aja, ada tuh yang sepak sepuluh rebu, ntar kalau balik ke sini lagi bawa uang yang cukup, nggak niat beli kali nih (emang nggak he he).

Jadilah saya bisa keluar dengan selamat dari tempat itu setelah beli kondom. Keluarnya diantar Ujang lagi. Ntar kalau mau beli lagi pake telepon aja, ntar saya yang anterin. Kalau beli ke sini tu riskan, banyak penyakit. Penyakit? Ya polisi! Halah, polisi kok penyakit? Yang suka bikin sakit kale!

3 komentar:

La Rose said...

Hahaha..luuucuuuu...sampe ngakak-ngakak..seru juga,kalau saya buka bisnis itu laku kale ya..Hahaha...:D

imran rusli said...

belum seseru mbak la rose tuh he he

imran rusli said...

iya buka aja mbak, kan pengalamannya udah buanyak, tapi harus produk lokal, kan ok punya tuh, madura, bali, ambon, papua, wew

Post a Comment