Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Drs Edi Indrizal Msi, Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia, Popularitas dan Uang Saja Tidak Cukup

Written By imran rusli on Thursday, January 29, 2009 | 4:54 AM

Sosok ini termasuk yang paling dicari (most wanted) di empat provinsi: Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau. Media massa berebut menunggu komentarnya, partai-partai politik (parpol), calon legislatif (caleg) dan kandidat kepala daerah berlomba-lomba menunggu hasil kerjanya—tentu sambil harap-harap cemas juga. Maklum Drs Edi Indrizal MSi adalah Koordinator Wilayah III Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang mengomandoi kegiatan survei LSI di Provinsi Sumbar, Riau, Jambi dan Kepri. Awal Januari lalu Imran Rusli dari Puailiggoubat sempat berbincang dengan Edi di kantornya, tentang mekanisme suara terbanyak dan fenomena-fenomena politis lainnya yang sedang berkembang di Sumbar. Berikut petikan obrolan tersebut.

Sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan bahwa pemilihan wakil rakyat (anggota legislatif) harus menggunakan mekanisme suara terbanyak Desember tahun lalu, bagaimana Anda melihat situasi politik di Sumbar pascakeputusan tersebut?

Sepanjang pengamatan saya parpol dan caleg yang telah memutuskan maju ke Pemilu 2009 mau tidak mau harus mengganti strategi. Tidak bisa lagi mengandalkan pola-pola dan teknis pendekatan lama ketika caleg di nomor urut kecil—nomor jadi atau nomor peci--bisa tenang-tenang menunggu limpahan suara yang dikumpulkan caleg-caleg nomor sepatu. Sekarang mereka harus berusaha ekstra keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, memenangkan hati rakyat.

Bagaimana caranya?
Wah itu jangan ditanya, ada kuncinya, tapi saya akan mengatakan bahwa upaya keras tersebut tidak akan cukup dengan serangan udara saja, seperti melalui iklan di televisi, radio, media online, surat kabar. Juga tidak cukup lagi hanya dengan serangan darat, lewat baliho, spanduk, poster, kalender, arloji, pin dan lain-lain, bahkan dengan kunjungan langsung ke masyarakat pun belum cukup, juga popularitas, tak ada jaminan untuk mendapatkan elektabilitas yang cukup.

Apa itu elektabilitas?
Elektabilitas itu kedipilihan. Ingat kedipilihan, bukan keterpilihan. Orang masuk ke bilik suara bukan untuk termangu-mangu atau sembarang pilih saja, pasti sudah ada nama kandidat atau parpol dalam kantongnya.

Bukankah popularitas bisa membuat image tentang seseorang atau partai politik lebih mudah masuk ke memori masyarakat atau calon pemilih?
Betul, tapi tak ada korelasi positif antara popularitas dengan elektabilitas. Orang bisa sangat dikenal, tapi belum tentu mendapat tempat di harti masyarakat, apalagi untuk dipilih mewakili aspirasi mereka, masih sangat jauh itu.

Lalu bagaimana agar dijadikan prioritas oleh masyarakat pemilih?
Ha ha itu rahasia dapur lah ha ha.

Sebenarnya apa tantangan para caleg itu sekarang?
Ada beberapa hal, pertama proses rekrutmen para caleg oleh partai sejak awal umumnya belum memperhatikan mekanisme berdasarkan suara terbanyak, akibatnya sekarang mereka kerepotan mengubah strategi. Kedua, Jumlah partai jauh lebih besar, jumlah caleg juga sangat besar. Di Sumbar saja kita sekarang menemukan fenomena dari setiap 5 – 10 rumah terdapat 1 (satu) caleg. Ini luar biasa. Implikasinya perolehan rata-rata setiap caleg akan rendah atau kecil. Tak akan mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Kondisi seperti yang pernah dialami Saleh Djasit dan Hidayat Nurwahid pada Pemilu 2004, di mana perolehan suara mereka jauh melebihi BPP, tak akan kita temui lagi. Jadi Pemilu 2009 ini benar-benar berat. Ketiga, antara sesama caleg, eksternal atau internal, akan terjadi kompetisi yang sangat ketat. Kita sudah melihat gejalanya di beberapa daerah di Jawa, caleg dari partai sama yang saling jegal dan saling membunuh karakter saingannya. Dengan kompetitor dari partai lain, yang saling tebang bendera juga tak kurang. Belum lagi yang lain, bahkan sudah menjurus ke menghalalkan segala cara.

Wah ini kan nggak bagus untuk pendidikan demokrasi?
Begitulah. Tapi itulah kondisi faktual kita.

Lantas bagaimana pengaruhnya terhadap trend golput?
Mekanisme suara terbanyak mungkin disambut baik masyarakat, karena jauh lebih sesuai dengan aspirasi mereka selama ini, dan di satu pihak bisa mengurangi golput, tapi bila tidak diikuti dengan pengetahuan tentang cara memilih bisa mempengaruhi kualitas pemilu yang ujung-ujungnya golput juga, karena golput itu kan bukan sekedar sengaja tidak memilih, tetapi juga salah prosedur saat memilih, misalnya salah contreng, mencontreng dua kali pada dua kandidat dari partai berbeda dan sebagainya, sehingga suaranya dianggap tidak sah. Itu juga masuk kategori golput.

Kembali ke popularitas? Jadi belum jaminan ya pasang iklan di televsi, radio, surat kabar ataiu baliho sebesar rumah atau keselebritian seseorang akan mampu mengangkat elektabilitas.
Ya saya rasa begitu, karena masyarakat pemilih memiliki rasionalitas sendiri yang tak diketahui para kandidat.

Kunjungan langsung dan menyumbang juga tidak?
Tidak juga, apalagi kalau kunjungan tersebut dilakukan dan sumbangan tersebut diberikan menjelang pemilu saja, selama ini ke mana saja? Bisa-bisa kunjungannya disambut dan bantuannya diterima, tapi suara diberikan kepada kandidat lain yang sudah lebih lama bersemayam di hati rakyat. Lagipoula tak semua kandidat bisa melakukan kunjungan atau memberikan bantuan langsung, itu butuh alokasi dana, waktu dan tenaga yang besar. Sebaliknya banyak caleg yang masih percaya pola-pola konvensional. Mereka merasa sudah sangat punya nama, punya pengaruh di tengah masyarakat, jadi menganggap dirinya sudah sangat populer dan pasti dipilih. Sikap seperti ini tentu sah-sah saja, yang tidak boleh jangan justru karena kepopuleran tersebut memaksa orang orang memberikan suara.

Jadi percuma saja dong membayar iklan atau membuat baliho mahal-mahal, yang untung kan cuma media penerima order iklan saja? Apa yang memilih mereka juga nanti?
Wah kalau itu jangan tanya saya ha ha

2 komentar:

Anonymous said...

Mantap wawancaranyo.

imran rusli said...

mokasi bung al

Post a Comment