Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Geliat Salappa

Written By imran rusli on Wednesday, February 25, 2009 | 1:50 AM

Dusun Salappa’, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan adalah dusun bentukan Departemen Sosial yang dibangun tahun 1979 dan mulai dihuni tahun 1981. Tapi sejak dibangun sampai tahun 2008 mereka tidak pernah merasakan program pemerintah, sampai akhirnya program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri masuk. Maka mata masyarakatpun terbuka. Salappa’ bukannya tak bisa diapa-apakan, dan sangat berhak mendapat sentuhan pembangunan.


Oleh Imran Rusli

“Sebelum tahun 2008 kami betul-betul buta akan hak kami, jadi dusun kami dilewati saja, tak pernah mendapat sentuhan pembangunan, ada saja alasannya , biaya mahal lah, material susahlah, tapi setelah PNPM Mandiri masuk terbukti semua itu omong kosong saja, infrastruktur di dusun kami bisa dibangun sama mudahnya dengan di tempat lain,” ujar Markus Sabailati, Kepala Dusun Salappa’ Selasa (10/1) malam.

Perbincangan dalam gelap itu—benar-benar gelap, Puailiggoubat tidak bisa mengenali wajahnya—benar-benar mengesankan karena meski sangat membutuhkan penerangan, kepala dusun mengatakan penerangan belum menjadi prioritas di Salappa’. “Kami lebih butuh jalan, jembatan, air bersih, gedung TK, sekolah negeri, rumah ibadah, tenaga medis Pustu dan MCK, kalau itu semua sudah ada baru kami berpikir tentang penerangan,” kata Markus. Soalnya, tambah Markus, kalau penerangan didahulukan jalan dan lain-lain bisa terabaikan karena masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan lain yang kurang produktif. Misalnya nonton sinetron di televisi.

“Lagipula penerangan itu pasti kita dapatkan, karena pemerintah kabupaten tidak mungkin membiarkan kami selamanya dalam kegelapan,” katanya. “Apalagi kami tahu sudah ada dusun yang mendapatkannya, yakni Rogdog dan Madobag, serta Ugai yang kebagian limpahannya,” ujar Markus lebih jauh.

Dusun berpenduduk 79 KK atau sekitar 400 jiwa yang terdiri dari 9 suku besar dengan luas sekitar 360 hektar ini memang tergolong malang. Meski termasuk dalam wilayah administratif Desa Muntei, selama 27 tahun mereka seperti dianggap tidak ada. “Setelah PNPM Mandiri masuk, baru kami dapat jatah Pustu (Puskesmas Pembantu), dan pejabat dari Bappeda sudah dua kali ke sini. Tahun depan kami dengar jatah P2D (Pembangunan Prasarana Desa) akan masuk ke sini, padahal dulu banyak sekali alasannya,” kata Markus pula.

Dulu, imbuh Markus, kalau masyarakat sakit mereka sangat kesulitan karena harus ke Muara Siberut yang kalau pakai sampan dayung bisa makan waktu seharian. “Paling tidak untuk berobat kami harus sedia Rp500 ribu. Untuk bekal di jalan, untuk biaya menginap di Muara, dan untuk biaya dokter, jadi kalau sakit kami sering membiarkan saja sampai sembuh sendiri, atau paling jauh minta bantuan kerei, saya sendiri sampai minggu lalu masih menggunakan jasa kerei, karena Pustu—meski telah selesai dibangun tahun lalu--belum diserahterimakan dan petugas medisnya belum ada,” ungkapnya.

Sebenarnya, imbuh Tulutogok Tasiripoula, kepala desa yang baru terpilih, Pustu itu jatah desa, tapi Kepala Desa Muntei lama—yang sampai sekarang masih berfungsi karena kepala desa yang baru belum dilantik—Viktor Sagari menyarankan agar dibangun di Salappa’ saja, mengingat Salappa’ masih belum punya sarana tersebut. “Kita berterima kasih pada Pak Viktor untuk kebijakannya itu,” kata Tulud.

Musrenbang Desa
Kesadaran untuk meminta hak itu makin menguat ketika salah satu warga Salappa’, Tulutogok Tasiripoula tadi, memenangkan pemilihan kepala desa 3 November tahun lalu. “Ini membuat semangat kami bertambah untuk memunculkan lebih banyak kebutuhan dalam Musrenbang tingkat desa besok di Muntei,” kata Joel Salaisek, Ketua Dewan Adat Salappa’, pada malam yang sama.

Sebelumnya, kata Joel, masyarakat tidak tahu bahwa banyak sekali pos anggaran di APBD yang merupakan hak masyarakat, seperti dana ormas, bantuan untuk rumah ibadah, jalan, jembatan, sarana air bersih, listrik, sekolah. “Kita tidak tahu bahwa semua itu memang hak kita, bukan belas kasihan pemerintah kabupaten,” ujar Joel.

Rabu tanggal 11 Februari dari Salappa’ berangkat 6 orang yakni kepala desa terpilih, kepala dusun, 2 anggota BPD (Badan Perwakilan Desa) dan 2 orang tokoh masyarakat, salah satunya Joel. “Kami berangkat pagi-pagi sekali agar bisa pulang sebelum malam,” kata Joel.

Hasilnya pada Musrenbang yang dihadiri 19 orang itu, antara lain 6 dari Salappa’, 12 dari Dusun Muntei dan 1 orang dari Puro II, utusan Salappa’ mengusulkan item-tem yang telah disebutkan di atas tadi. “Kalau misalnya P2D jadi masuk, itu pasti jalan, nah kita bisa usulkan yang lain untuk PNPM, mungkin air bersih, atau yang lain, yang penting kita sekarang lebih tahu prosedurnya,” kata Markus.

Menurut Kepala Desa Muntei terpilih yang juga warga Salappa’, Tulutogok Tasiripoula, hasil Musrenbang tingkat desa itu sudah diawali dengan Musrenbang tingkat dusun, lalu akan dilanjutkan dengan Musrenbang tingkat kecamatan dan seterusnya Musrenbang tingkat kabupaten. “Di situ akan dilihat prioritasnya, kita harapkan permohonan Salappa’ diprioritaskan mengingat sekian lama dia diabaikan,” katanya.

Tulut menambahkan masyarakat Salappa’ memang lebih memprioritaskan pembangunan gedung-gedung, seperti gedung TK,sekolah negeri, rumah ibadah dan kantor dusun. “Soalnya gedung-gedung itu bisa multifungsi, tidak berdiri sendiri,” jelasnya. Dia sepakat dengan Markus. “Penerangan bisa menyusul.”

0 komentar:

Post a Comment