Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Sekolah Hutan Sangong Tak Selalu Dibuka

Written By imran rusli on Wednesday, February 25, 2009 | 2:20 AM



Sekolah hutan adalah program Divisi Pendidikan YCM (Yayasan Citra Mandiri) yang banyak diapresiasi masyarakat adat Mentawai, karena telah membuka kesempatan bagi masyarakat Mentawai yang terpencil di pedalaman untuk tetap mendapatkan pendidikan. Tapi dibutuhkan tenaga pengajar yang berdedikasi tinggi untuk menjaga kesinambungannya, karena tantangannya memang sangat berat.

Oleh Imran Rusli

Letaknya sungguh jauh di pedalaman Sila’oinan, tepatnya di Sangong, Dusun Salappa’, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan. Dari pusat dusun Salappa’, Sekolah Hutan Sangong bisa dicapai dalam setengah jam dengan pompong. “Itu kalau air pasang, kalau air surut waktu tempuh baru bisa mencapai 1,5 jam, bahkan dua jam, karena banyaknya rintangan berupa tunggul kayu, batang pohon yang hanyut, pohon rebah, gosong pasir dan beragam sampah lainnya. Sungai yang dangkal semacam ini sangat tidak nyaman ditempuh.

“Kalau dengan sampan tanpa mesin bisa setengah hari,” kata Timatheus Salaisek, kooperator pompong Puailiggoubat dalam perjalanan ke Sangong Rabu (11/2).

Sesuai namanya, Sekolah Hutan Sangong tak seperti sekolah biasa. Tak ada kelas. “Murid hanya dipisahkan berdasarkan kemampuan pengenalan huruf dan angka, selebihnya disamakan saja,” kata Tarida Hernawati, Koordinator Divisi Pendidikan YCM saat ditemui di Sangong Rabu siang.

Muridnya berjumlah 19 orang. “Sebelumnya 23, tapi ada 4 yang tak datang-datang lagi,” ujar Suwendi Salaisek (23), guru sukarela tamatan SMA Negeri Muara Siberut yang digaji Rp600 ribu per bulan.

Mereka belajar di lantai kandang babi Sangong atas izin kepala suku Aman Sabaogok, tanpa fasilitas apapun. Tak ada kursi, tak ada meja, tak ada seragam. Sistemnya modern seperti sekolah-sekolah di Amerika: tak perlu seragam, tak harus duduk berpangku tangan di meja, bahkan tak perlu alas kaki, boleh bertanya dan bicara kapan saja, dan boleh belepotan lumpur ala gulat lumpur yang mahal itu, bedanya di Sangong, aroma ruang belajar didominasi bau kandang babi dan sagu makanannya yang rada masam.

Para siswa, terdiri dari 12 pria dan 7 wanita, duduk bersila di lantai kandang babi. Menyimak dengan serius pelajaran yang diberikan guru. Sesekali mereka bersujud sampai rata dengan lantai agar bisa menuliskan perkataan guru yang mereka anggap penting. Sesekali melap ingus yang keluar tanpa permisi. Kelompok ‘ekslusif’, yakni yang belum mengenal huruf dan angka dengan baik, dipersilakan menempati sudut tersendiri di bagian lain beranda untuk memelototi angka dan huruf yang dipajang di depan mereka.

Sarana belajar yang tersedia hanyalah meja untuk guru, bangku panjang uma sebagai kursinya, sebuah papan tulis di dinding beranda yang dikelilingi oleh poster-poster peraga pelajaran seperti angka, alfabet, simbol-simbol matematika tambah, kurang, bagi, kali, yang bercampur dengan poster-poster caleg yang ikut pemilu 208 dan stiker beberapa partai.

Minat Tinggi
Minat belajar anak-anak, menurut Tarida cukup tinggi. “Olelakeu, misalnya, siswi ini harus berjalan dua jam setiap hari dari rumahnya ke sekolah sambil menuntun ibunya yang buta,” ungkap Tarida.

Memang, tak semuanya bersemangat. “Kalau tiba-tiba diajak orang tuanya ke Muara Siberut atau ada punen (lia) atau pesta, anak-anak bisa libur sesukanya, tanpa merasa perlu memberi tahu gurunya,” kata Tarida lagi. Meski demikian buku absen tetap disediakan dan frekuensi kehadiran siswa dicatat.

Karena tingginya minat dan ada dukungan positif dari Paroki Muara Siberut, YCM bermaksud membuka lagi sekolah serupa di Tinambu, lokasi yang lebih jauh ke hulu. “Di sana ada sekitar 40 KK yang membutuhkan pendidikan,” kata Tarida.

Mereka sama dengan warga di Sangong, yang sebelumnya ikut program PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) Depsos ke Saliguma. Tapi karena ladang dan ternak mereka berada di Tinambu, yang jaraknya setengah hari jalan kaki dari Saliguma, orang-orang ini kembali ke Tinambu dan meninggalkan segala fasilitas yang diberikan Depsos--antara lain rumah dan lahan kebun masing-masing seluas 2 hektar—begitu saja.

“Rumah saya di Saliguma sudah hancur, terpaksa saya tinggalkan karena babi, ayam dan sagu saya di sini, anak-anak juga tak mungkin tinggal dan bersekolah di situ tanpa orang tua, kalau harus berangkat dari sini jauhnya 5 jam jalan kaki, tak mungkinlah,” kata Aman Sabaogok.

Tak Selalu Jalan
Sebaliknya ada keluhan terhadap kinerja guru Suendi. “Kalau tak ada Bu Ida, Suendi sering tak datang mengajar, dan berdiam diri saja di Salappa’. Masyarakat sering membincangkan masalah ini karena sangat erat kaitannya dengan masa depan sekolah dan anak-anak tersebut, saya sebagai orang yang sesuku dengan Suwendi sering dicela suku-suku lainnya, meskipun menurut saya itu tanggungjawab pribadi Suendi,” kata Joel Salaisek, Ketua Dewan adat Dusun Salappa’.

Kalau bicara hambatan, jelas banyak sekali hambatannya. Di Sangong sama sekali tak ada fasilitas hiburan. “Dulu ada genset tapi sekarang sudah rusak,” kata Tarida. Jadi tak ada televisi, radio, bahkan surat kabarpun langka. “Yang bisa dibaca di sini hanya bungkus rokok dan bungkus cabe dari Muara,” kata operator pompong Puailiggoubat, Legen Satoinong, bercanda.

Jadi kalau guru harus bermalam di Sangong mungkin agak berat. Hiburan yang tersedia hanya bermain sepak bola dengan anak-anak di halaman samping kandang babi, menghirup aroma kandang babi, lumpur bercampur kotoran dan makanan babi serta ayam, gigitan nyamuk dan agas (singitngit), atau paling mewah mandi berenang di ‘kolam arus’ yang jauh lebih panjang daripada kolam arus Minang Fantasy Padangpanjang atau Dunia Fantasy Taman Impian Jaya Ancol Jakarta.

Tapi warga di Salappa’ mengatakan hal itu sudah menjadi risiko Suwendi dan tentunya sudah dipertimbangkan saat menerima tawaran pekerjaan itu. “Kalau harus menyewa pompong setiap hari ke Sangong tentu berat, tapi dia kan bisa pulang sekali seminggu dengan sampan sendiri, kalau tidak jangan jadi gurulah, banyak yang bersedia menggantikan posisinya di Sangong itu, soalnya kan kasihan anak-anak kalau gurunya hanya mengajar ketika orang YCM datang,” kata warga Salappa’ lainnya.

Sekolah Kedua
Menurut Tarida, sekolah hutan di Sangong merupakan sekolah hutan yang kedua di Siberut Selatan. “Yang pertama di Beikeluk—masih bagian Salappa’ meski warganya dari Madobag--kita buka tahun 2006. Setahun berjalan kita serahkan ke Paroki Muara Siberut, yang lebih punya kompetisi di bidang pendidikan,” kata Tarida.

Untuk kelancaran proses belajar mengajar YCM masih memfasilitasi kelengkapan sekolah, seperti alat-alat tulis, buku tulis, buku-buku paket, kapur dan lain-lain.

Sekolah Hutan Sangong, kata Tarida mulai disosialisasikan tahun 2007. “Agustus 2008 baru dimulai, sekarang sudah ada pula perhatian dari Paroki Muara Siberut, mungkin tahun ini sudah bisa pula kita lepas, terutama kalau jumlah muridnya memadai,” imbuh Tarida yang sarjana antropologi tamatan USU Medan.

Tahun 2009, YCM berencana membuka sekolah hutan ketiga, ya di Tinambu tadi. “Kurang lebih 3 jam dari Sangong,” jelas Tarida.

Bagaimana dengan kelanjutan pendidikan anak-anak tersebut. Menurut Tarida, kalau mengikuti contoh di Beikeluk takkan ada masalah, karena paroki akan memberikan semacam sertifikat pengakuan, sehingga kalau memang mau anak-anak tersebut bisa melanjutkan sekolah di sekolah-sekolah milik Paroki di Muara Siberut di kelas yang disesuaikan dengan kemampuan kognitif mereka.

4 komentar:

Anonymous said...

Saya terharu melihat kemauan dan semangat anak itu untuk belajar. Olelakeu, semoga engkau diberi kekuatan....

go0ut said...

salam kenal

pernikahan adat said...

Inspiratif sekali, orang yang tidak mudah menyerah merupakan generasi yang akan menguatkan bangsa ini.

KASKUS said...

apa kabar pak?

Post a Comment