Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Longsor Jadi Mata Pencarian Baru

Written By imran rusli on Friday, November 28, 2008 | 9:38 AM



Bagi warga Riau atau Sumbar yang sering pulang pergi dua provinsi, musim hujan kali ini bisa dikatakan musim apes. Masalahnya, intensitas longsor dan jalan terban meningkat drastis. Kalau tahun 2005 hanya terjadi satu kali jalan terban yang membuat hubungan darat kedua provinsi terputus selama beberapa hari, maka tahun 2006 dan awal tahun 2007 ini kejadian tersebut berlangsung beberapa kali. Tahun 2008 longsor malah terjadi di Rantau Berangin, Kabupaten Kampar, Riau.

Akhir tahun lalu saja (2007), dua kali terjadi jalan terban yang membuat Riau - Sumbar putus sampai lebih dari 2 X 24 jam. Dan Kamis pekan silam terjadi pula sekali jalan longsor yang membuat lalu lintas dua provinsi macet total selama 10 jam lebih.

Pantauan Riau Mandiri langsung dari lapangan, masih ada sekitar 6 titik lagi yang sangat berpotensi mengalami longsor atau jalan terban yang akan membuat jalur darat Riau - Sumbar putus lagi. Sehingga roda ekonomi terhenti sejenak atau kalau masih terus akan mengalami lonjakan cost production karena bahan mentah yang dibawa terlanjur busuk atau harus dibawa memutar ke jalur alternatif Kiliran Jao dengan konsekuensi tambahan waktu di perjalanan sekitar 8 jam dan BBM sekitar Rp400 ribu lagi. Setidaknya itu menurut para supir truk pembawa berbagai komoditas pertanian dan perikanan dari Sumbar yang terjebak di lokasi longsor atau jalan terban.

Namun inti ceritanya bukan di situ. Tapi, bagaimana masyarakat setempat menjadikan fenomena alam tersebut sebagai mata pencarian baru. Ketika jalan terban menimpa dua lokasi yang berdekatan di Tanjuang Pauah, Kabupaten 50 Kota, Sumbar masyarakat setempat sangat bergairah membuka jalan baru. Ratusan warga datang dengan cangkul dan parang dan meretas perbukitan. Saking semangatnya mereka minta buldozer kiriman Dinas PU tak usah bekerja dulu agar warga bisa berperan aktif agak lama.

Masalahnya, dengan turun tangan seperti itu mereka bisa pasang tarif untuk seluruh kendaraan yang mau lewat. Truk dan bus Rp500 ribu; sedan, jeep, van, bak terbuka, box, atau mobil kecil dan sedang lainnya Rp300 ribu; sepeda motor Rp50 ribu.

Longsor Kamis lalu juga begitu. Meski buldozer bisa cepat meratakan jalan yang tertimbun, masyarakat minta waktu agar mereka bisa berpartisipasi sedikit lebih lama. Untuk itu mobil-mobil kecil dan sedang diwajibkan membayar Rp50 ribu - Rp100 ribu. Sementara sepeda motor Rp25 ribu per unit. Petugas PU dan polisi tak berdaya, karena masyarakat berjumlah ratusan, lagipula masyarakat yang ditanya mengatakan polisi juga dibagi. Akibatnya pengguna jalan harus rela antri lebih lama dari yang seharusnya.

Celakanya, kebiasaan menjadikan bencana alam sebagai mata pencarian ini mulai jadi tren. Di Pangkalan Koto Baru, atau 14 kilometer menjelang perbatasan Sumbar - Riau, pas di depan jembatan timbang, ada badan jalan yang terban (sekarang sudah mulus--November 2008-imr). Meski tak sampai memutus jalan, sejumlah pemuda sudah mangkal di situ dan dengan seenaknya menyetop kendaraan yang lewat minta biaya jalan terban. Padahal mereka tak mengerjakan apa pun.

Nah, kalau tak segera diantisipasi oleh yang berwenang, bisa-bisa warga makin kreatif. Mereka bisa membuat agar longsor dan jalan terban makin sering terjadi, sehingga ada alasan untuk minta uang seenaknya kepada para pengguna jalan. Masalahnya ketika ditanya, kok malah senang jalan putus? Mereka menjawab "Inilah cara Tuhan memberi kami rezeki." Weleh..weleh!**

Ini salah satu berita saya di Riau Mandiri yang sempat saya jalani Februari 2005 - Juni 2008

1 komentar:

Anonymous said...

nggak punya otak tuh warga, manangguak di aia karuah ( menagguk diair keruh )yang arti luasnya mencari kesempatan dalam kesempitan, utk pihak berwenang jangan biarkan sifat buruk menjadi kebiasaan.

Post a Comment