Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Naik Kereta Api Wisata ke Pariaman

Written By imran rusli on Friday, November 28, 2008 | 10:16 AM

Saya sering ke Pariaman (lha kampungnya emang di sana), tapi dengan kereta api wisata baru dua kali. Terakhir baru-baru ini, entah bulan apa, saya lupa dan malas mencari kepastiannya, yang jelas saat itu Saudagar Minang lagi hajatan di Pangeran Beach Hotel dan Padang siap-siap memasuki Pilkada Walikota. Jadi? Baru aja dong!

Karena diberitahu kereta berangkat pukul 06.00 pagi, saya sudah stand by di Stasiun Padang, Simpang Haru, jam 05.30, dan langsung mengumpat, karena ternyata kereta apinya berangkat pukul 09.00 WIB. “Yang jam 06.00 itu kereta biasa Pak, harian, kalau Minggu ya jam 09.00,” kata seorang petugas dari PT KAI (Kereta Api Indonesia), atau malah tukang sapu, mengomentari kebegoan saya.

Sekitar pukul 08.00 calon penumpang mulai ramai. Ternyata banyak juga peminatnya. Ketika saya mau beli tiket gerbong eksekutif yang tarifnya Rp80.000 pp, ternyata sudah dicarter orang sampai 6 minggu ke depan. Sayang cuma terdapat satu gerbong eksekutif. Hebat ya? Saya coba gerbong bisnis yang tarifnya Rp50.000 pp. Juga sudah diborong orang. “Tinggal gerbong ekonomi Pak, Rp10.000 pp,” kata petugas loket.

Ya sudah, mau gimana lagi? Saya beli tiket yang semuanya memang dijual pp (pulang pergi) itu. Bukan berarti tak boleh beli tiket sekali jalan, tapi karena penumpang KA Wisata Si Binuang--namanya kayak nama kerbaunya Cindua Mato, jagoan legendaris dari Kerajaan Minangkabau—biasanya memang memesan tiket dua arah. Tapi cocok, saya memang berasa naik kebo betulan, karena kereta apinya merayap, meski tidak mendengus-dengus.

Whui, hari itu ada 10 gerbong diberangkatkan, satu diantaranya gerbong mesin, mesin apa tak saya cari tahu. Gerbong makan (restorasi) tidak ada, karena perjalanan cuma akan memakan waktu sekitar 2 jam. Lagian, rata-rata penumpang kelihatannya membawa bekal sendiri-sendiri. Yang mencarter gerbong eksekutif malah membawa tape deck dan speaker besar segala. “Kami mau arisan Pak, sekalian karaoke,” kata salah satu dari ibu-ibu penyewa gerbong eksekutif itu. Wah kreatif juga tuh ibu-ibu. Dapat dibayangkan betapa hebohnya gerbong mereka, gerbong Yahudi yang mau digenocide nazi pasti kalah. Waduh oi, 6 juta Yahudi tu orang, bukan angka. Maap, maap.

Pas jam 09.00 WIB, KA Binuang diberangkatkan, dan saya tak kebagian tempat duduk, saking penuhnya. Setiap gerbong yang berkapasitas 72 orang itu penuh orang, terutama anak-anak (ya lah, masak penuh kebencian). Tapi penuhnya bukan seperti penuhnya kereta api di Jawa—yang untuk melangkah saja susah—karena saya masih leluasa berpindah dari satu gerbong ke gerbong lain. Saya akhirnya dapat tempat duduk juga, di tangga. Lumayan bisa kena angin, sekaligus bisa jatuh atau kepentok rangka jembatan.

Sayangnya, kereta wisata ini jorok, terutama karena ketidakpedulian penumpangnya. Sampah dibuang seenaknya ke lantai gerbong, anak-anak kencing di bangku dan di bawah bangku, ibu-ibu meludah di sembarang tempat, kaleng dan botol minuman bekas digeletakkan begitu saja di lantai, di tempat duduk, di mana-mana deh pokoknya. Keadaannya diperparah oleh toilet yang dikunci rapat, entah kenapa. Ketika penumpang bertambah di Stasiun Tabiang dan Lubuak Aluang kereta makin kumuh. Kereta Api Wisata apa ini? Hiiiiiy!

Sampai di Stasiun Pariaman sekitar pukul 11.00 WIB penumpang segera berhamburan ke Pantai Gandoriah, yang waktu itu tak dipungut bayaran sama sekali, karena Dinas Pariwisata lagi marah sama pemuda setempat yang katanya tak menyetorkan uang masuk (retribusi) dengan benar.

Nasi Sek

Pantai Gandoriah tak seluas Taplau (Tapi Lauik, Pantai Padang) tapi pengunjungnya beberapa kali lebih banyak, karena di pantai ini banyak sekali wahana bermain, ada buayan kaliang (bianglala), ada perosotan, ada layangan, ada kolam kecil untuk anak-anak yang ingin berenang, ada menara peninjauan, dan banyak sekali pedagang. Persis Taman Impian Jaya Ancol deh (dalam mimpinya orang Pariaman).

Segala macam dijual di pantai itu, mulai dari rakik udang (peyek udang) yang baunya enak tapi rasanya pas-pasan, karena digoreng pakai minyak goreng sisa gorengan tahun lalu, sala lauak (khas Pariaman) lengkap dengan samba ladonya, lontong sayur dan katupek gulai paku (ketupat gulai pakis), sate Pariaman, nasi ramas, manggis muda yang sudah dibuka kulitnya, es rumput laut, aneka pakaian (dari pakaian montir sampai pakaian monyet), balon (beneran, bukan kondom), aksesoris, dan cemilan biasa (produk Indofood dan Siantar Top, yakni segala jenis chiki-chikian dan minuman kaleng Coca Cola cs).

Namun dari keseluruhannya nasi sek lah yang paling menarik perhatian. Banyak sekali penduduk Pasie Pariaman yang berubah profesi dari nelayan menjadi pengusaha rumah makan, gara-gara nasi sek ini.

Menurut teman saya Drs M Ardan Jamil, pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Padang Pariaman, nasi sek mulai muncul sekitar tahun 1990-an. “Sek itu seribu kenyang,” katanya. Waktu itu harga nasinya memang Rp1.000 dan nasinya dibungkus kecil-kecil, persis seperti nasi kucing yang lagi top di Jakarta dan Pekanbaru. Saya dulu pernah langganan di Otista. Benar-benar pas untuk kucing, nasi sejumput lalu disiramin sama kuah doang ha ha.

Sekarang konotasinya lain lagi, karena tak ada lagi nasi sek Rp1.000, kecuali di dapur ibumu, sekali makan di salah satu kedai nasi sek sekarang minimal Rp15.000 satu orang. Masih murah juga kan? Dan kalau ditemani air kelapa muda, yang langsung diambil dari batangnya, seharga Rp5.000, maka makin lengkaplah kenikmatan nasi sek itu.

Kekhasan nasi sek adalah laukpauknya yang didominasi ikan laut segala jenis segala ukuran. Mulai dari maco dan bada (anggap aja teri karena saya nggak tau apa Bahasa Indonesia atau Latinnya) yang kecil-kecil tipis, sampai ikan tuna ada di menu nasi sek. Ikan hiu dan paus memang tak ada, kecuali kalau ada yang menangkap dan menjualnya ke pedagang nasi sek, mungkin akan dimasak juga.

Rata-rata ikan itu diolah menjadi asam padeh (asam pedas), gulai masin (itu yang ijo kekuning-kuningan, walah jangan mikirin yang lain ah, ini lagi cerita makanan), gulai kuning, bakar, sala (benar sala, jadi sala tak hanya bulat, tapi juga panjang-panjang dan lebar-lebar, karena satu ikan gambolo (nah ikan apalagi nih, masa saya harus Indonesiakan jadi gembala?) itu dijadikan sala, artinya dibaluri tepung sala dan digoreng utuh), toco (tauco), dibakar, digoreng balado (digoreng dan dibaluri cabe goreng), dipalai (pepes) dan sebagainya, pokoknya semua menu yang sangat menggugah selera.

Sudah begitu, tempat makannya juga asyik, yakni di pondok-pondok kecil yang bisa memuat maksimal 6 orang (1 keluarga), lengkap dengan tikar pandannya (persis saung di rumah-rumah makan Sunda di Jawa Barat).

Pantai Gandoriah sendiri cukup asyik. Pantainya ditanami pohon pinus (cemara) dan di antara pinus-pinus itu ada lorong jalan aspal sepanjang kira-kira 2 kilometer. Pantainya landai dan berpasir warna coklat muda. Ada juga yang putih, hitam, kelabu dan kuning, tapi dominan coklat muda. Kalau dulu—tahun 1970-an—kuning campur hitam, karena banyaknya orang buang hajat di sana, sampai-sampai terkenal sebagai WC terpanjang di dunia.

Tapi Bupati Anas Malik kemudian menggampari orang-orang yang suka mencemari keindahan pantai dan bikin polusi udara itu. Mereka dianggap ke truk dan dibawa ke pos hansip. Terpaksa, kalau nggak kayak gitu nggak bisa dibikin kapok, ini Pariaman lho, masyarakat terngeyel di dunia.

Pernah suatu kali Bupati Anas Malik yang suka ngontrol (jangan diedit ya) kota pagi-pagi menemukan seorang pemuda yang enak-enakan duduk di tangga sambil baca majalah, sementara halaman rumahnya kotor, dipenuhi daun melinjo. Segera bupati turun dari mobilnya dan mendekati pemuda itu, diiringi ajudan dan beberapa bawahan.

“Hei kamu, kenapa halaman rumah dibiarkan kotor, sapu kenapa?”
Eh si pemuda ogah-ogahan melirik bupati
“Emangnya kenapa, apa urusan situ?”
Wah bupati naik spanning
“Kebersihan kota ini urusanku anak muda, aku bupati, mana orang tua kamu?”
Eh malah ngelirik lagi, males-malesan, lalu dia teriak ke belakang’
“Maaaaaaaaaaak ada orang reseh.”
“Siapa?” terdengar suara maknya.
“Tau, katanya bupati,”
Ampyuuuuuuuuuuun orang Pariaman tuh.

Baru sebentar di Pantai Gandoriah, yang lebih cocok disebut obyek wisata rakyat murah meriah ini, datang lagi kereta api wisata. Kali ini membawa lima gerbong baru yang harganya Rp14 milyar dan dinamai Dang Tuangku—putra Bundo Kanduang, Ibusuri Minangkabau jaman doeloe--bantuan Dinas Perhubungan RI untuk menghidupkan lagi dunia perkeretaapian Sumbar. Gerbong baru itu lumayan bersih, maklum baru, entah bagaimana kondisinya tahun depan, tapi saya pesimis kalau perilaku penumpang yang jorok tak berubah.

Kalau dibandingkan gerbong itu sekarang dan setahun lagi mungkin kira-kira begini:

Sekarang: cat mulus; tempat duduk masih diplastikin; toilet bersih, airnya lancar; kipas angin berputar semua; jendela bisa dibuka tutup dengan mudah; lantai bisa diduduki, dst

Setahun lagi: cat belang bonteng penuh graffity, bekas torehan (mama love papa, andi love ria dan semacam itu), ada juga bekas ingus dan ludah yang salah sasaran; tempat duduk sudah compang-camping, ada bekas pisau dan gunting di mana-mana, sebagian busanya berhamburan ke luar, ada bekas kencing anak-anak, bekas muntahan nenek, bekas kotoran kucing, dan kecoak mati; toilet dikunci rapat, jangankan air bersih, kencingpun dilarang di situ; kipas angin hilang semua, tinggal tampuknya aja; jendela bisa dibuka pakai martil atau batu kali, lantai tak bisa diduduki karena banyak bekas ludah, kencing dan muntah, warnanya juga udah hitam bulukan, penuh dengan tanda-tanda kesengsaraan.

“Peminat wisata ke Pariaman ini banyak, meski rata-rata dari kelas bawah, mereka cukup menghidupkan ekonomi masyarakat di sini,” kata Ardan. Itu terlihat dari banyaknya pedagang di Pantai Gandoriah, yang untuk setiap lapaknya membayar Rp100.000 – Rp250.000 per hari. Ya iyalah, tukang balon aja idup di sana, padahal modalnya cuma sejumlah balon (benar balon, bukan kondom oom) dan bau mulut.

Sekitar pukul 14.00 terdengar pengumuman dari stasiun. “Kereta api wisata akan kembali ke Padang pukul 14.30, penumpang diharap siap-siap.” Dan tepat pukul 14.30, KA Wisata Si Binuang kembali beringsut ke Padang dengan kecepatan tertinggi 30 kilometer per jam. Pukul 17.00, kereta masuk lagi di Stasiun Padang. Saya bisa pulang dengan tenang dan memastikan diri takkan naik KA Si Binuang atau Dang Tuanku lagi tahun depan atau tahun-tahun berikutnya dan tahun-tahun berikutnya lagi, soalnya kebayang yang tadi. Hiy

1 komentar:

Anonymous said...

sepertinya gambaranmu mengenai gerbong yg malang itu bakal kejadian atau terwujud dimasa depan nanti....... hihi usahlah bimbang ataupun ragu .... karena "jorok" is our middle name ~wz

Post a Comment