Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  #  |  need help ?

Enam Tahun Jalan Di Tempat

Written By imran rusli on Wednesday, November 26, 2008 | 1:38 AM

Agar Bumen kembali menjadi bagian yang melekat pada kehidupan keseharian masyarakat Mentawai, perlu dilakukan tindakan intensif, terutama untuk memperkenalkannya kepada generasi muda Mentawai yang kini seperti hidup di habitat orang lain.

Sarana paling efektif, menurut Kortanius Sabelekake’, Ketua DPRD Mentawai, adalah keluarga karena sosialisasi dan enkulturasinya bisa berlangsung secara wajar tanpa dipaksakan, dan terus-menerus. Anak-anak akan menerima proses transformasi nilai-nilai budaya tersebut tanpa terasa.

Setelah itu sekolah, karena sekolah bisa melakukan penetrasi Bumen secara sistematis dan terukur, sehingga anak-anak bisa menerima transfer nilai-nilai budaya tersebut secara sadar dan pemahaman mereka terhadap item budaya yang diajarkan bisa tepat dan terarah, karena sekolah punya metode pengajaran dan pengujian.

“Masalahnya belum ada keseriusan eksekutif sampai sekarang untuk menjadikan Bumen itu sebagai mulok (muatan lokal) yang diajarkan di sekolah-sekolah. Kita belum tahu alasan sebenarnya mengapa rencana ini sampai tersendat-sendat, karena dulu—tahun 2007—sudah pernah dianggarkan dan kita di dewan sudah merekomendasikan,” katanya sat menjadi narasumber dalam ‘Seminar Muatan Lokal Budaya Mentawai, Peluang danTantangan Penerapan Muatan Lokal Budaya Mentawai’ yang digelar Panitia Pagelaran Budaya Mentawai 2008 dari YCM, di Dusun Mapaddegat, Jumat (14/11).

Karena itu Korta (panggilan akrab Kortanius Sabelekake’) melontarkan pertanyaan khusus, terutama untuk semua pihak yang berkepentingan dengan eksistensi kebudayaan Mentawai. “Bijakkah kita kalau mendorong anak-anak mempelajari budaya-budaya lain, sementara budaya Mentawai sendiri dijauhkan dari mereka. Bijakkah kita?” gugat Korta.

Faktanya, sekolah-sekolah di Mentawai, saat ini mayoritas mengajarkan BAM (Budaya Alam Minangkabau) sebagai muatan lokal, padahal kedua budaya ini sangat bertolak belakang dan tak bisa saling memakai.

Menurut Korta, masalah budaya ini sangat penting karena menyangkut identitas etnik, harga diri etnik dan kearifan lokal. “Mau ke mana pun, mau di mana pun, mau kapan pun, orang Mentawai itu akan tetap dikenal sebagai orang Mentawai, kita tidak bisa menjadi orang lain, sekuat apapun kita ingin melupakan jati diri sebagai orang Mentawai,” katanya.

Bahkan Korta menilai agama pun takkan bisa menghapuskan jati diri orang Mentawai, setaat apapun orang itu beribadah, karena budaya sudah mengakar lama sedangkan agama baru saja.

“Adat dan budaya sudah lama menjadi bagian diri kita, sementara agama baru saja, kita bisa saja taat menjalankan ajaran agama, tapi itu takkan menghilangkan kementawaian kita, karena identitas etnik itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita melalui proses pembudayaan (sosialisasi, enkulturasi) yang telah berlangsung turun-temurun sejak lama,” tegasnya.

YCM sendiri, selaku penggagas iven ini, menyadari hal itu sejak semula. Tarida Hernawati, staf YCM dari Divisi Pendidikan mengungkapkan bahwa mereka sudah menggandeng tenaga profesional pendidikan dari UNP (Universitas Negeri Padang), juga Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional serta Pusat Kurikulum Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat agar bisa menyusun sebuah model kurikulum yang akan disumbangkan kepada Dinas Pendidikan Mentawai. Tujuannya membantu agar Bumen sebagai muatan lokal itu segera terwujud, karena bila makin lama dibiarkan maka generasi muda Mentawai akan semakin jauh dari budayanya sendiri.

“Tahun 2005 model kurikulum itu sudah diterima Kepala Dinas Pendidikan Ranting Siberut Utara, waktu itu dijabat Sermon Sakerebau—sekarang Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Mentawai—dan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Siberut Utara dengan fasilitasi YCM. Tahun 2007 diserahkan lagi ke Dinas Pendidikan di Tuapeijat dan disambut positif di tingkat Kepala Seksi, bahkan mereka berjanji membentuk Tim Rekayasa Kurikulum Muatan Lokal Bumen ini, tapi kemudian tak ada tindak lanjutnya. Baru hari ini ada kesempatan lagi,” ungkap Tarida usai acara penyerahan kurikulum yang disusun YCM pada pihak Disdik Mentawai.

Ditolak
Upaya keras YCM dalam mewujudkan Bumen sebagai mulok ini tergolong penuh liku, karena bukan hanya pihak pemerintah yang terkesan enggan kembali menghidupkan Bumen. Penolakan masyarakat tak kalah kerasnya, terutama yang sudah nyaman dengan ‘budaya dan agama baru’ seperti penganut agama Islam, Kristen Protestan, Katolik dan anggota masyarakat yang merasa sudah modern.

Penolakan itu dialami tim penyusun materi pelajaran Bumen saat sosialisasi awal di beberapa tempat, antara lain Saumanganya’ (Kecamatan Pagai Utara Selatan, kini masuk wilayah administratif Kecamatan Pagai Utara), Saureinu’ (Kecamatan Sipora, kini Kecamatan Sipora Selatan), Salappa’ (Kecamatan Siberut Selatan) dan Monganpoula (Kecamatan Siberut Utara).

“Masyarakat terkesan menghindar. Tak ingin lagi kembali ke kebudayaan lama yang sudah mereka anggap ketinggalan,” kata Aldes Fitriadi, mantan Kepala Divisi Pendidikan YCM.

0 komentar:

Post a Comment